Oleh: Dadang Kadarusman
Telinga Opri  masih  terasa panas. Setelah sekitar tiga puluh lima menit lamanya diomeli  pelanggan habis-habisan. Padahal sumber kemarahan pelanggan itu nggak  secara langsung ditimbulkan  oleh apa yang sudah Opri lakukan. Tapi mau gimana lagi? Pelangggan kan  tahunya hanya orang yang bertugas menerima telepon aja. Mereka langsung  komplen, tanpa peduli pada apapun.
Makanya.  Biarpun pelanggan marah gara-gara salah urus orang sales atau orang  marketing. Yang kena marah ya orang front liner di help desk seperti  Opri. Begitu juga kalau produk yang diterima pelanggan cacat. Atau nggak  sesuai dengan spek yang dijanjikan. Mestinya orang produksi atau  quality control dong yang bertanggungjawab. Cuman yaitulah. Pelanggan  tahunya kan orang yang mengangkat telepon. Ya kepada merekalah semua  kemarahan tertumpah.
Mau gimana lagi?
Soalnya  kalau teleponnya di sambungin ke departemen terkait juga malah bisa  membuat mereka semakin marah. Nggak ketulungan deh marahnya. Sampai uang  bayar pulsa aja dipermasalahkan. Ngomongnya juga udah sampai  teriak-teriak segala; “Kamu tahu berapa pulsa yang harus saya bayar  karena kamu oper sana, oper sini, eh?!” katanya.
“Jangan mentang-mentang kamu itu operator ya. Maen oper-operan aja. Mau lari dari tanggungjawab, eh?” Cape, deh pokoknya.
Nggak  jarang loh pelanggan yang sok banget. Sampai dia bilang; ‘Kamu tahu  siapa saya, eh?” Ngomongnya songong gitu. “Jangan macam-macam ya! Saya  ini blablablablabla… tahu, kamu!!?” Emang gue pikirin siapa elo?
Ngakunya  aja orang terhormat. Tapi kelakuannya sama sekali nggak menunjukkan  kalau beliau itu orang yang pantes dihormati. Ya… mau gimana kita  menghormati orang yang nggak mau menghormati orang lain. Iya, kan?  Tapi  ya sudahlah. Sabar aja. Percuma melawan orang-orang yang kayak gitu.  Orang setres dilawan. Kita bisa jadi ikutan setres juga.
Biarpun  udah sabar dan ikhlas, tapi ya tetep aja suka ada yang menusuk kedalam  hati. Udah dikasih tahu sih sama trainernya waktu kita ditraining soal  service excellence. Kalau ngadepin pelanggan ya mesti sabar. Jangan  diambil hati kalau mereka mengatakan sesuatu yang tidak patut. Tapi,  kalau sudah kesel. Ya kita juga kan manusia dong. Susah banget  ngelupainnya.
Jangankan  cewek-cewek normal. Cewek macho kayak Opri aja kadang-kadang sampai  merah padam mukanya, tahu nggak seeeh… Antara mau marah dengan mau  nangis gitu deh. Seperti yang terjadi hari ini.
Keadaan  sunyi karena semua orang sedang konsentrasi pada pekerjaannya  masing-masing. Paling-paling hanya terdengar suara-suara kecil seperti  bunyi printer dan sesekali ada yang bicara dengan temannya. Tapi nggak  sampai bikin keributan gitu. Pokoknya, tenteram dan damai deh. Sampai  ada suara bernada tinggi seperti ini: “Iyya Pak nanti akan saya catatkan  dulu keluhan Bapak, lalu saya teruskan kepada departemen marketing……”
Sesaat kemudian. Hening lagi. Lalu terdengar lagi suara itu. 
“Maaf Pak,  saat ini pimpinan sedang tidak dapat menerima telepon Bapak. Izinkan  saya untuk membantu Bapak mendapatkan apa yang…….” Kelihatannya  penelepon itu memotong kata-katanya. 
Opri nggak  bisa berbuat lain selain mengurut dada sambil mendengarkan ocehan dari  seberang telepon itu. Hanya sesekali saja dia berkata ‘baik Pak…’, atau  ‘kalau begitu…” dan kalimat pendek lainnya yang nggak sempat dia  selesaikan. Kayaknya. Kali ini Opri berhadapan dengan orang yang nggak  bisa dilawan. Bukan karena dia nggak sanggup. Tapi karena etika  pekerjaannya mengharuskan dia demikian.
Lebih dari  setengah jam dia dicecar. Sampai akhirnya telepon itu terputus secara  tiba-tiba. Mungkin penelepon itu sudah puas menumpahkan unek-uneknya.  Mungkin juga dia sudah dibaikin lagi sama istrinya. Mungkin juga dia  sudah kehabisa pulsa buat ngoceh dengan handphone-nya.
“Anj…!”  Opri berteriak sambil setengah membanting gagang teleponnya. Dia  berusaha untuk menahan diri supaya bunyi terakhir dari kosa kata  kasarnya itu tidak jadi keluar. “HAH!!!!” katanya. Dia berhasil  mengeluarkan tekanan itu dengan lontaran nafas yang leluasa menyembur. 
Semua teman-teman di kubikal maklum kalau dia barusan mendapatkan telepon dari pelanggan yang menyebalkan. 
“Elo baik-baik aja, Pri?” tanya Jeanice. Dia berdiri di kubikalnya sambil nongolin kepalanya diatas dinding pembatas. 
“Enggak!” jawab Opri ketus.
“Tarik nafas panjang non, kalo gitu….” Kata Jeanice lagi.
“Nafas gue sudah lebih panjang dari jarak bumi ke langit, Jean, “ balas Opri. “Mesti sepanjang apa lagi?”
Sebagai  cewek tangguh. Biasanya Opri tidak bisa dipengaruhi semudah itu. Pasti  deh yang nelepon tadi itu sudah sangat keterlaluan. Sampai Opri bisa  sekesal itu. Emang sih. Opri itu kan bukan tipe orang yang sabar. Tapi  kalau soal menjalankan pekerjaannya, dia itu jagonya. Profesional  banget. Makanya kalau dia sampai sekesal itu tuch pasti orang itu sudah  sangat kelewatan.
Biasanya  sih, orang yang suka kelewatan kayak gitu itu orangnya sok kuasa. Sok  punya jabatan gitu deh. Makanya suka bawa-bawa jabatan segala. Atau yang  punya saudara pejabat juga. Padahal yang pejabat itu iparnya doang,  bukan dia sendiri. Eh dibawa-bawa juga. Atau kemungkinan juga orang lagi  pada seteres. Jadinya mereka numpahin kekesalan sama orang-orang yang  pas kebagian tugas mengangkat telepon.
“Ya udah… kita makan aja dulu yuk…” ajak Jeanice. 
“Baru juga jam dua belas kurang seperempat, Jean…” kilah Opri.
“Ya udah, kalau gitu, elo tinggal bilang gue aja kapan pun elo mau istirahat makan siang, oke….?” Balas Jeanice.
“Tapi….” Opri mengerutkan dahi sambil mengacung-acungkan telunjuknya. “Kita keluar sekarang aja deh yuk…” lanjutnya.
Jeanice  mengangguk, lalu buru-buru mematikan komputer dan radio kecilnya.  Bersiap-siap untuk menemani sahabatnya. Masih kurang lima belas menit  lagi sih ke jam makan siang. Tapi. Kayaknya sih nggak apa-apa juga kalau  sekali itu mereka pergi keluar lebih awal. Toh nggak tiap hari. Lagian  juga emang perlu untuk menghirup udara segar kalau kondisinya lagi nggak  bagus kayak gitu.
“Gue ikut dong…” teriak Sekris.
“Woooi… tungguin gue juga dong, “ Aiti nggak kalah gesit.
“Elo pade sabar aja dulu sampai jam istirahat, Galz…,” teriak Jeanice. “Ntar kita ketemuan di taman deh ya….”
“Lah, elo sendiri udah istirahat sebelum waktunya….” Protes Aiti.
Jeanice  nggak menjawab lagi. Dia hanya berbalik menghadap kearah Aiti. Lalu  tanganya memberi isyarat khusus supaya Opri nggak tahu apa yang  dikatakannya. Intinya. Jeanice menjelaskan kalau dia hanya ingin bantu  Opri biar dia nggak terlalu kesal gara-gara omelan pelanggan sedeng itu.  
Kalau  diomongin juga, mungkin nggak sampai kedengeran Opri, kali. Soalnya dia  sudah dari tadi pergi. Nggak memperdulikan siapapun lagi. Sampai-sampai  Jeanice harus mengejarnya sambil memanggil-manggil.
Taman itu  terletak di halaman samping kantor. Lumayan sih. Ada ruang terbuka yang  nyaman buat orang-orang yang butuh melepaskan kepenatan. Ada banyak  bunga-bungaan. Tanaman perdu yang ditata rapi. Dan beberapa pohon besar  yang rindang. Kursi taman juga tersedia meskipun nggak pernah cukup buat  menampung semuanya. Biasanya, orang-orang duduk di hamparan rumput  hijau tanpa alas apapun. Kalau pas nggak ada yang merokok, taman itu  benar-benar memberikan suasana yang menyegarkan setelah duduk seharian  di ruang kerja.
Lima belas  menit kemudian. Semua orang sudah berkumpul di taman itu. Kayaknya pada  ogah rugi gitu deh. Langsung cabut begitu jam istirahat tiba. Bagaimana  pun juga mereka jauh lebih baik daripada orang-orang yang sudah pada  berhamburan keluar kantor jam setengah dua belas. Nggak tahu aturan dari  mana deh. Banyak banget yang kelakuannya kayak gitu. Entah karena  mereka udah pada kelaparan. Entah karena emang orangnya aja doyan  ninggalin kerjaan.
“Ayo, kita cegat taksi didepan aja,” kata Jeanice.
“Hah? Emang kita mau makan dimana Jean?” tanya Fiancy. Dia nggak nyangka kalau sampai mesti pake taksi segala.
“Ke  seberang aja kali Fi,” balasnya. Yang dia maksud adalah mall diseberang  jalan yang banyak tempat makannya. Kayaknya emang perlu mengajak Opri  yang lagi bête itu untuk menikmati suasana yang berbeda. 
Emang sih,  letak mall itu persis berseberangan dengan gedung kantor mereka. Tapi.  Jangan kira gampang dicapai. Harus muter dulu supaya bisa naik ke  jembatan penyeberangan.  Nah urusan jembatan penyeberangan  itu wajib. Kalau nyeberang langsung di jalan, bisa ditangkep polisi.  Lagian juga jalannya kan ada jalur cepat. Bahaya banget kalau maksa  nyeberang disitu. 
Bukannya  nggak mau sehat sih. Tapi, jembatan penyeberangan itu kayaknya nggak  bikin sehat juga kok. Lantainya kotor. Banyak orang jualan ngampar gitu.  Terus, pijakan lantainya banyak yang udah bolong-bolong. Udah  berbulan-bulan dicuekin aja tuch sama Pemda. Belum lagi debunya.  Ditambah sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari siang bolong  khas ibu kota. Bisa rusak deh bedak kita. Jadinya, ya mendingan pake  taksi aja. Paling argonya cuman lima belas ribuan.
Nggak terlalu mahal, kan? 
Kan  berlima naik satu taksi. Biar uyel-uyelan juga tapi kan seru. Dan  ekonomis, lagi. Asal bisa ngerayu sopir taksinya aja dong. Pasti bisa  deh. Ditambahin sedikit doa biar nggak ada polisi yang mergokin kita…  hihi… kan jalannya deket. Cuman mau nyeberang. Cari puteran. Sampai deh.
Mereka  langsung memesan makanan dan minumannya masing-masing, ketika pelayan  restoran itu datang. “Jangan pake lama ya, Mbak…” Aiti berseloroh kepada  sang pelayan.Namanya pelayan. Ya pastinya nge-iya-in dong.
Setelah beberapa saat menunggu, pesanan minuman datang. Semuanya sudah lengkap. 
“Makanannya mana, Mas?” Sekris nggak bisa lagi nahan rasa lapar.
“Ditunggu sebentar ya Mbak, sedang disiapkan…” jawab pengantar makanan itu.
“Perasaan, elo punya persediaan makanan yang banyak deh, Kris…” goda Fiancy.
“Nggak gue bawa, Fi…” jawab Sekris dengan polosnya. “Kirain nggak pergi kesini..” tambahnya.
“Lah, itu yang ada dipipi sama paha elo…?” Opri sudah bisa bercanda lagi. 
“Emangnya…..” Sekris sedikit cemberut. “Badan gue, udah segitunya ya…..” dia menambahkan dengan nada yang sedih.
“Nggak kok Kris, elo tetep cantik kok…,” hibur Fiancy. Dia menyesal karena tadi dialah yang memulai melemparkan bola panas itu. 
“Udahlah  Kris, ngapain sih elo pusing dengan body elo,” Timpal Opri. “Hepi aja  lagi. Lihat nih gue.” Sambil berkata begitu Opri memamerkan otot  bisepnya yang menonjol.
“Ih, gila  lo ya Pri…. Ini restoran tauk,” Jeanice yang sedari tadi diam aja  tergoda untuk bicara. Kemudian mereka semua tertawa bersama.
Satu demi satu makanan yang mereka pesan datang. Tersaji diatas meja dengan pasrahnya. Untuk mereka santap dengan lahap.
“Punya gue mana?” Begitu Opri bilang ketika pelayan mengatakan ‘sudah semua ya Mbak’.
Ada  sedikit keributan disitu. Apalagi pas menimpa Opri. Kena damprat habis  deh pelayan itu. “Saya hanya mengantar sesuai pesanan, Mbak…” katanya.
“Mana tadi temen elo yang nerima orderannya?” hardik Opri. 
Tak lama  kemudian, pelayan perempuan yang tadi menerima order itu datang. Ada  ketidak cocokan antara jumlah pesanan yang dicatatnya, dengan yang di  klaim oleh orang-orang kubikal itu.
“Ya elo  pake dong otak elo itu!” kali ini Opri sudah benar-benar marah. Campur  aduk antara lapar. Kesal. Dan sisa-sisa gondok dia ketika menerima  telepon dari pelanggan yang marah tadi. “Gue kan datang berlima, masak  sih pesan makanannya cuman 4? Mikir nggak sih lu?!”
Pelayan itu tergopoh sambil berulang kali minta maaf. Lalu berjanji untuk segera menyajikan pesanan Opri.
“Awwas kalau pake lama lagi lu, ya!?!” Teriak Opri sekali lagi. 
Teman-temannya  nggak ada yang bisa menghalangi Opri. Soalnya mereka juga yakin kalau  tadi pesan 5 porsi. Wajar sekali kalau Opri ngambek berat. Untungnya  mereka masih bisa berbagi makanan. Sehingga Opri tidak harus sampai  kelaparan.
Biarpun  begitu. Semua orang terus menunggu menu ke-5 itu. Perasaan sudah lebih  dari lima belas menit nggak juga datang. Sampai akhirnya Opri berteriak;  “Woooi, mana pesanan gue?” 
Seorang  pelayan lari tergopoh. Kali ini bukan pelayan yang tadi datang.  Cewek-cewek itu sudah ngerasa kalau itu taktik ngeles jadul yang gampang  ditebak. “M-maaf, Mbak….” Kata pelayan itu. Kelihatan sekali kalau dia  ketakutan. “M-Menu…. menu yang Mbak pesan sudah keburu habis…”
Pernyataannya  membuat darah di sekujur tubuh Opri naik hingga ke ubun-ubun. Dia  berdiri sambil menggebrak meja…”KENAPA ELO NGGAK NGOMONG DARI  TADIIIIIIII!!!!!!!” 
Kontan  saja semua pengunjung restoran ikut kaget dengan keributan yang terjadi.  “Mana Manager elo? Suruh dia kesini!!!” teriak Opri lagi.
Pelayan  itu semakin menggigil. Bukannya pergi memanggil bossnya. Dia malah  berjongkok sambil berulang kali meminta maaf. Kasihan sekali dia….
Disaat  situasi sedang genting itu. Datanglah seorang lelaki kira-kira umur dua  lima-an. Dia mengenakan dasi dan jas perlente. Lalu mendekati mereka  yang sedang ribut itu dengan jalannya yang tenang dan berwibawa.
“Permisi  Mbak,” katanya. Sopan sekali. Kelima cewek itu langsung terpana.  Terutama Jeanice. Fiancy. Aiti. Dan Sekris. Wajah mereka menyembunyikan  bisik hati dan debar jantung masing-masing yang nggak karuan.
Cuman Opri yang bisa segera menguasai diri. Lalu katanya; “Jadi elo manager restoran ini, eh?” 
“O. Bukan, bukan.” Jawab lelaki itu. “Saya bukan manager disini…” katanya. 
Opri  langsung berhenti tak berkata apa-apa lagi. Kali ini dia sudah salah  sasaran. Disaat kritis itu dia juga menyadari. Kenapa ke-4 temannya  seperti sedang terkena setrum tegangan tinggi.
“Y-Ya,  terus ngapain elo datang kesini kalo gitu?” Opri berusaha untuk segera  menguasai diri. Sekalian menutup tengsinnya dengan pertanyaan yang nggak  kalah agresif.
“Ah, ya.  Saya lagi makan di meja sebelah sana,” kata lelaki itu sambil  menunjukkan meja tempat makannya. “Barusan ada orang yang datang dan  minta tolong saya untuk menyerahkan kotak ini kepada Mbak-mbak yang  cantik-cantik ini…” lanjutnya.
Perasaan  ke-4 cewek itu melayang seperti diawang-awang. Jarang banget deh ada  orang yang ngomong gitu. Selama ini mereka terlalu sibuk dengan urusan  pekerjaan. Sampai lupa jika di dunia ini ada hal-hal yang indah seperti  itu.
Opri menyambar bungkusan itu. Lalu mengucapkan terimakasih dengan mukanya yang tetap ketus.
Ketika  lelaki itu pergi. Ke-4 cewek lainnya masih mematung melihatnya berjalan  keluar dari restoran. Mereka baru tersadar kembali setelah Opri  beteriak;”Wooi, nyadar elo pade!”
“Iiiih… cute baanggeeet….” Jeanice menggenggam kedua tangannya didadanya sambil menginjak-injakkan kakinya di lantai.
“Siapa namanya tadi ya….?” Aiti nggak kalah gemesnya.
“Lah, elo itu ya. Nggak boleh liat cowok dikit,” hardik Opri sambil bergegas membuka bungkusan yang diserahkan oleh lelaki itu.
Ketika di buka. Ternyata didalamnya ada sepotong kue keberuntungan.
“Sejak kapan restoran pasta nyediain kue keberuntungan,” celetuk Opri. 
“Loooh,  itu kan dari cowok keren tadi Pri….” Kilah Fiancy. Matanya masih  berkeliling sambil berharap masih bisa melihat cowok tadi. 
“Heh, elo  jangan pergi dulu ya!” bentak Opri kepada pelayan yang sudah gemeteran  sejak tadi. Kayaknya dia sudah pasrah pada apapun yang akan diterimanya.  Demi melayani pelanggan yang galak ini.
Opri  langsung mengambil kue keberuntungan itu. Penasaran juga sama isinya.  Siapa tahu dia bisa mendapatkan hadiah istimewa untuk menebus semua  kesialannya seharian ini. Sudah sial diomelin pelanggan seteres.  Dikerjain pelayan restoran pula. Jadi sebaiknya kue keberuntungan itu  memberikan penghiburan yang bermakna. Kalau nggak, bakal…
“KRAAAAKKK!!!”  begitu bunyi yang terdengar ketika tangan Opri memecahkannya. Ketika  kue keberuntungan itu pecah. Sehelai kertas kecil nongol dari dalamnya.  Opri langsung mengambilnya. Lalu membaca tulisan yang ada di dalamnya:
KITA ADALAH PELANGGAN BAGI ORANG LAIN
DAN KITA JUGA PELAYAN BAGI MEREKA
Ketika  selesai membacanya. Mereka langsung teringat kepada Natin. Rupanya tadi  Natin kesini. Dan menitipkan kue keberuntungan itu kepada lelaki keren  itu.
Opri  merenung. Wajahnya yang sedari tadi sangar itu perlahan-lahan melembut.  Dan akhirnya menorehkan seulas senyum yang indah. Lalu dia berkata;  “Tahu aja ya Natin kalau kita lagi butuh nasihatnya….”
Ke-4 gadis  itu segera menjawabnya. Kedengarannya sih agak nggak nyambung. Tapi,  lumayan nyambung juga sih, kalau disambung-sambungin. Seperti kompakan.  Mereka mengatakannya bersama-sama; ”Tahu aja ya Natin, kalau kita butuh  tukang pos keren…..”  Dasar cewek-cewek galau….
Selagi mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terdengar seseorang berkata.
“Pelayan,  tolong dong cepet kesini. Saya mau pesan makanan nih…” seorang pelanggan  yang baru datang masuk ke restoran itu. Dan langsung beteriak-teriak  memanggil pelayan.
Para  pelayan restoran yang masih syok dengan kejadian tadi tidak langsung  menghampirinya. Sampai orang yang baru datang itu kesal dan menjadi  marah-marah juga.
“Coba panggil pelayannya dengan sopan, deh Pak…” kata Opri.
Pelanggan  yang baru datang itu terperanjat. Lalu katanya; “Lho, kok kamu pada  disini sih?” Rupanya mereka sudah saling mengenal dengan sangat baik.
“Lah, Bapak sendiri ngapain disini?” balas Opri.
“Ngggh… anu… saya… saya ingin tahu aja apakah pelayanan di restoran ini bagus apa nggaakkkk…” katanya.
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba  saja semua orang di kubikal menyadari bahwa kita semua adalah pelanggan.  Sekaligus pelayan bagi orang lain. Kejadian yang menimpa Opri hari ini,  membuat ke-5 gadis cantik itu bisa dengan mudah mencerna pelajaran itu.  Sejak saat itu, mereka bertekad untuk melayani pelanggan-pelanggan  mereka dengan baik. Seperti halnya mereka ingin dilayani oleh orang  lain. Dengan sebaik-baiknya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DeKa – Dadang Kadarusman – 31 Mei 2012
Catatan Kaki:
Melayani  dan dilayani itu seperti keping mata uang yang tak terpisahkan. Jika  ingin dilayani dengan baik, kita perlu belajar untuk melayani dengan  lebih baik.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
DEKA - Dadang Kadarusman

Tidak ada komentar:
Posting Komentar