Senin, 17 Oktober 2011

Caveat bagi Indonesia Inc.!

Oleh: Andre Vincent Wenas


“Sapere aude! (beranilah berpikir mandiri!)” – semboyan abad pencerahan Eropa.

***

    Disaat sukubunga simpanan rata-rata di kawasan Eropa ada di kisaran titik
nadir (sekitar 1%, bahkan kurang), maka – diduga – banyak “uang nganggur” dari para trilyuner Indonesia (juga pemodal asing) yang (kembali) diparkir di
Indonesia yang nota bene masih menawarkan suku bunga deposito yang jauh lebih menawan (sekitar 5%-6%). Likuiditas yang tinggi ini seyogianya segera
dimanfaatkan – terutama oleh pemerintah – lewat pelbagai instrumennya agar bisa disalurkan ke sektor riil.

    Derasnya capital-inflow ini mestilah segera “dijaga” dari bahaya pembalikan
modal (capital-outflow). Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan bahwa capital-outflow ini, “… bisa ditangani dengan penyerapan dana ke pembangunan infrastruktur, misalnya pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan lain-lain.” Rencana ini bisa direalisasi lewat instrumen SUN (surat utang negara) imbuhnya, yang kemudian bisa dimediasi untuk pembangunan proyek infrastruktur. Juga, dunia usaha perlu terus didorong agar mau mencari dana ekspansi usahanya lewat pasar modal (initial public offering). Sehingga, dengan maraknya obligasi pemerintah serta ramainya event IPO di pasar modal maka kapasitas penawaran instrumen investasi bakal meningkat, dan ini pada gilirannya akan meminimalkan gejala penggelembungan (bubble) aset. Dampak multiplikasinya akan sangat kondusif untuk kesempatan kerja, naiknya produktivitas dan pengendalian inflasi.

***

    Dikabarkan (Koran Jakarta, 23 Oktober 2010) bahwa Menkeu Agus DW
Martowardojo bakal tidak menghadiri pertemuan kelompok G20 di Seoul Korsel 11-12 November 2010 ini. Tentang ini dikatakan bahwa Menkeu telah menunjukkan sikapnya yang tegas dan berani. Apa pasal? Rupanya dalam pertemuan itu IMF diprediksi akan mendikte (lagi) negara-negara Asia agar membiarkan kurs mata uangnya terapresiasi. Kebijakan ini berpotensi merugikan pihak Indonesia lantaran nilai tukar rupiah bakal dibiarkan menguat secara semu tanpa support yang jelas dari perbaikan perekonomian yang adekuat. Gesture Menkeu ini disinyalir mengisyaratkan tekad yang kuat untuk membuat kebijakan ekonomi yang mandiri.

    Berkata Menkeu Agus, “Kita dapat memahami apabila beberapa negara maju
merasa bahwa mata uang China yang terlalu lemah memang mempersulit. Namun, China juga tidak bisa begitu saja menaikkan mata uang mereka.” Menguatnya rupiah beberapa waktu belakangan ini telah dirasa berdampak kontraproduktif, di antaranya melonjaknya impor (terutama barang konsumsi!) yang diiringi dengan melemahnya ekspor.

***

    Kita tahu bahwa konsumsi (belanja) – di samping produksi – adalah daya
pendorong pertumbuhan ekonomi. Dan pos belanja yang cukup signifikan adalah belanja negara. Namun apa yang terjadi? Akibat gurita birokrasi yang menjerat leher sendiri, pertumbuhan ekonomi bakal sulit mengandalkan konsumsi negara.
Disinyalir bahwa salah satu masalah utama kelambanan belanja negara adalah soal pengadaan lahan. M.Chatib Basri (22 Oktober lalu) mengatakan bahwa per 15 Oktober, realisasi belanja negara tercatat Rp 681,69 trilyun atau baru 60,5%
dari pagu 2010.

    Selain kendala pembebasan lahan, isu realisasi penyerapan anggaran masih
juga seret. Kualitas kepemimpinan di daerah yang memprihatinkan telah membuat daerahnya sendiri kesulitan membangun infrastruktur, lantaran sebagian besar dananya ditempatkan di SBI (serfikat Bank Indonesia), padahal – dengan desentralisasi fiskal – daerah adalah ujung tombak pembangunan. Akibat dipilih langsung, maka pemerintah daerah tidak bisa begitu saja diatur oleh pemerintah pusat. Diduga, cara main aman (simpan dana di SBI) adalah akibat dari  rasa ketakutan yang eksesif terhadap KPK dan BPK, sehingga akhirnya malah memacetkan programnya sendiri.

    Peliknya gurita birokrasi ini juga membuat Prof.Bambang PS Brodjonegoro
pesimis, dikatakannya bahwa, “Pola belanja anggaran sulit berubah untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi krisis. Prosedur birokrasi masih terlalu rigid,
cukup rumit… Perlu terobosan seputar pencairan dan penyerapan anggaran agar lebih optimal berfungsi sebagai stimulus fiskal.”

***

    Di tengah tekanan IMF yang mendesak agar kurs mata uang kita dibiarkan
menguat (yang konsekuensinya bakal melemahkan ekspor) serta derasnya aliran modal yang masuk ke Indonesia (yang seyogianya segera disiasati agar tersalur ke sektor riil) maka kita seolah sedang berpacu melawan waktu.

    Seberapa besar magnitude konspirasi IMF untuk “menekan” kita serta seberapa cepat kita bisa segera – secara kompak – memecut seluruh tenaga kuda perekonomian Indonesia Inc. untuk berpacu dalam sirkuit global, inilah yang seyogianya menjadi agenda utama dalam diskursus para pemikir/pelaku pembangunan.
Dalam situasi krisis, seperti telah dipicu oleh Menkeu Agus, beranikah kita
menentukan sikap mandiri. Seperti dulu saat Eropa memasuki abad pencerahannya, sapere aude! Selamat hari pahlawan.

-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting

Catatan: Artikel ini sebelumnyapernah dikontribusikan di salah satu media. Segala yang yang timbul berkenaan dengan sengketa hak cipta menjadi tanggung jawab kontributor
Rabu, 28 September 2011  15:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar