Oleh: Andre Vincent Wenas
“Sapere aude! (beranilah berpikir mandiri!)” – semboyan abad pencerahan Eropa.
***
    Disaat sukubunga simpanan rata-rata di kawasan Eropa ada di kisaran titik 
nadir  (sekitar 1%, bahkan kurang), maka – diduga – banyak “uang nganggur”  dari para trilyuner Indonesia (juga pemodal asing) yang (kembali)  diparkir di 
Indonesia yang nota bene masih menawarkan suku bunga  deposito yang jauh lebih menawan (sekitar 5%-6%). Likuiditas yang tinggi  ini seyogianya segera 
dimanfaatkan – terutama oleh pemerintah – lewat pelbagai instrumennya agar bisa disalurkan ke sektor riil.
    Derasnya capital-inflow ini mestilah segera “dijaga” dari bahaya pembalikan 
modal  (capital-outflow). Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan bahwa  capital-outflow ini, “… bisa ditangani dengan penyerapan dana ke  pembangunan infrastruktur, misalnya pembangunan jalan tol, pembangkit  listrik, dan lain-lain.” Rencana ini bisa direalisasi lewat instrumen  SUN (surat utang negara) imbuhnya, yang kemudian bisa dimediasi untuk  pembangunan proyek infrastruktur. Juga, dunia usaha perlu terus didorong  agar mau mencari dana ekspansi usahanya lewat pasar modal (initial  public offering). Sehingga, dengan maraknya obligasi pemerintah serta  ramainya event IPO di pasar modal maka kapasitas penawaran instrumen  investasi bakal meningkat, dan ini pada gilirannya akan meminimalkan  gejala penggelembungan (bubble) aset. Dampak multiplikasinya akan sangat  kondusif untuk kesempatan kerja, naiknya produktivitas dan pengendalian  inflasi.
***
    Dikabarkan (Koran Jakarta, 23 Oktober 2010) bahwa Menkeu Agus DW 
Martowardojo  bakal tidak menghadiri pertemuan kelompok G20 di Seoul Korsel 11-12  November 2010 ini. Tentang ini dikatakan bahwa Menkeu telah menunjukkan  sikapnya yang tegas dan berani. Apa pasal? Rupanya dalam pertemuan itu  IMF diprediksi akan mendikte (lagi) negara-negara Asia agar membiarkan  kurs mata uangnya terapresiasi. Kebijakan ini berpotensi merugikan pihak  Indonesia lantaran nilai tukar rupiah bakal dibiarkan menguat secara  semu tanpa support yang jelas dari perbaikan perekonomian yang adekuat.  Gesture Menkeu ini disinyalir mengisyaratkan tekad yang kuat untuk  membuat kebijakan ekonomi yang mandiri.
    Berkata Menkeu Agus, “Kita dapat memahami apabila beberapa negara maju 
merasa  bahwa mata uang China yang terlalu lemah memang mempersulit. Namun,  China juga tidak bisa begitu saja menaikkan mata uang mereka.”  Menguatnya rupiah beberapa waktu belakangan ini telah dirasa berdampak  kontraproduktif, di antaranya melonjaknya impor (terutama barang  konsumsi!) yang diiringi dengan melemahnya ekspor.
***
    Kita tahu bahwa konsumsi (belanja) – di samping produksi – adalah daya 
pendorong  pertumbuhan ekonomi. Dan pos belanja yang cukup signifikan adalah  belanja negara. Namun apa yang terjadi? Akibat gurita birokrasi yang  menjerat leher sendiri, pertumbuhan ekonomi bakal sulit mengandalkan  konsumsi negara. 
Disinyalir bahwa salah satu masalah utama  kelambanan belanja negara adalah soal pengadaan lahan. M.Chatib Basri  (22 Oktober lalu) mengatakan bahwa per 15 Oktober, realisasi belanja  negara tercatat Rp 681,69 trilyun atau baru 60,5% 
dari pagu 2010.
    Selain kendala pembebasan lahan, isu realisasi penyerapan anggaran masih 
juga  seret. Kualitas kepemimpinan di daerah yang memprihatinkan telah  membuat daerahnya sendiri kesulitan membangun infrastruktur, lantaran  sebagian besar dananya ditempatkan di SBI (serfikat Bank Indonesia),  padahal – dengan desentralisasi fiskal – daerah adalah ujung tombak  pembangunan. Akibat dipilih langsung, maka pemerintah daerah tidak bisa  begitu saja diatur oleh pemerintah pusat. Diduga, cara main aman (simpan  dana di SBI) adalah akibat dari  rasa ketakutan yang eksesif terhadap  KPK dan BPK, sehingga akhirnya malah memacetkan programnya sendiri.
    Peliknya gurita birokrasi ini juga membuat Prof.Bambang PS Brodjonegoro 
pesimis, dikatakannya bahwa, “Pola belanja anggaran sulit berubah untuk 
menyesuaikan diri dengan kondisi krisis. Prosedur birokrasi masih terlalu rigid, 
cukup rumit… Perlu terobosan seputar pencairan dan penyerapan anggaran agar lebih optimal berfungsi sebagai stimulus fiskal.” 
***
    Di tengah tekanan IMF yang mendesak agar kurs mata uang kita dibiarkan 
menguat  (yang konsekuensinya bakal melemahkan ekspor) serta derasnya aliran  modal yang masuk ke Indonesia (yang seyogianya segera disiasati agar  tersalur ke sektor riil) maka kita seolah sedang berpacu melawan waktu. 
     Seberapa besar magnitude konspirasi IMF untuk “menekan” kita serta  seberapa cepat kita bisa segera – secara kompak – memecut seluruh tenaga  kuda perekonomian Indonesia Inc. untuk berpacu dalam sirkuit global,  inilah yang seyogianya menjadi agenda utama dalam diskursus para  pemikir/pelaku pembangunan. 
Dalam situasi krisis, seperti telah dipicu oleh Menkeu Agus, beranikah kita 
menentukan sikap mandiri. Seperti dulu saat Eropa memasuki abad pencerahannya, sapere aude! Selamat hari pahlawan.
-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting
Catatan:  Artikel ini sebelumnyapernah dikontribusikan di salah satu media.  Segala yang yang timbul berkenaan dengan sengketa hak cipta menjadi  tanggung jawab kontributor
Rabu, 28 September 2011  15:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar