Jumat, 21 Oktober 2011

Nyanyi Sunyi Sang Elang

Oleh: Ietje Sri Umiyati Guntur

Dear Allz….
 
 
Awal bulan baru…awal semangat baru….Sebelum saya senyum-senyum lagi sendirian, saya mau menyapa dulu yaaa….Apakabar teman dan sahabatku semua ? Hmmh…biasanya tanggal muda seperti ini pasti senyumnya lebih lebar, ya…dan semoga semua sehat-sehat…… Alhamdulillah, kita masih diberi nikmat sehat…sehingga masih bisa tersenyum-senyum ….
 
Iya, lho…senyum itu pada dasarnya gratis. Tapi karena kadang kita masih berpikir-pikir, mau senyum atau mau memasang wajah dingin, yaaaa…jadinya senyum itu menjadi mahal…hehehe…
 
Nhaaa…daripada kita memikirkan senyum atau tidak, mendingan kita ngobrol saja, ya. Banyak hal di sekitar kita, yang bisa menjadi bahan obrolan yang bermanfaat. Lingkungan kita begitu kaya dengan berbagai makna, asalkan kita mau mencari dan menggalinya. Kita bisa terjun langsung di dalamnya, atau kita mau menjadi pengamat dari jauh. Keduanya dapat kita lakukan. Seperti ayam yang lebih suka melihat dari jarak dekat, atau elang yang dapat mengamati dan melihat dari jarak yang sangat jauh.
 
Sssttt…mumpung kita sedang ngobrol  tentang elang, saya pun mau berbagi cerita mengenai elang. Barangkali ia merupakan satwa yang tak lazim bagi sebagian kita. Namun, lihat saja ….bagaimana elang menjadi bagian dari keseharian hidup kita…
 
Oya…bagi teman dan sahabat yang sedang menikmati akhir pekan saat ini, selamat menikmati liburan bersama keluarga…Dan bagi yang belum berlibur, selamat beraktivitas…semoga semua aktivitas dan langkah kita bermanfaat….
 
Selamat menikmati…semoga berkenan….
 
Jakarta, 7 Oktober 2011
 
Salam hangat,
 
 
Ietje S. Guntur
 
♥♥♥
 
 
NYANYI   SUNYI   SANG  ELANG
 
 
Saya sedang berlibur. Tidak. Sebetulnya sedang ada waktu luang di tengah jadwal yang lumayan teratur…hehehehe…Biasalah…Ilmu jaman dulu, sambil menyelam minum air, itu wajib dijalankan. Terutama bila airnya memang enak untuk diminum…hihi…
 
Saat ini saya sedang melewati kawasan perkebunan teh di daerah Puncak. Sebetulnya ini di lereng-lereng perbukitannya, di antara gunung Gede, gunung Pangrango….dan di kejauhan gunung Salak, yang masih cukup sejuk segar hawanya. Tidak heran bila berpuluh tahun lalu orang Belanda membuat perkebunan teh di sini. Yang hasilnya masih dapat kita nikmati hingga saat ini.
 
Sambil menikmati pemandangan yang hijau royo-royo, menghirup udara yang-semoga-bebas polusi…mata saya dimanjakan oleh aneka pemandangan yang menyegarkan.  Hijau di sana sini. Dan warna-warni pemetik teh yang bersiap untuk pulang dari tugasnya, setelah memetik pucuk teh sepanjang pagi.
 
Tiba-tiba mata saya terusik oleh pemandangan yang langka. Seekor elang tampak terbang tinggi di angkasa biru, dan sesekali berputar di dekat hamparan kebun teh yang menghijau. Elang itu kadang menukik, kadang mengepak sayap menyongsong angin. Sungguh indah. Seorang diri ia menguasai langit yang terbuka. Tanpa kuatir ada tangan iseng yang mengusik keasyikannya.
 
Saya terpana. Menikmati tarian elang yang indah. Menikmati kepakan sayapnya yang lembut. Memandang penuh kagum akan kemampuannya menguasai lingkungan sekitarnya.
 
Lama saya terpesona. Hingga akhirnya Si Elang perkasa terbang jauh. Dan menghilang di antara hutan lindung yang masih tersisa di puncak-puncak pegunungan sekitar kawasan Puncak. Hati saya pun seperti terbawa pergi. Entah kapan saya masih dapat melihat si Elang menari lagi…aachh…
 
 
Sepanjang sisa perjalanan berikutnya, saya masih terkenang akan si Elang.
 
Entah berapa banyak lagi elang gunung yang tersisa di kawasan itu. Mungkin suatu masa dulu, para elang ini sangat bahagia dan merdeka hidup di kawasan pegunungan di sekitar Puncak, Cisarua, dan Bogor. Namun belakangan, dengan semakin banyaknya pemukiman dan menjamurnya kawasan wisata, elang-elang ini pun semakin jarang menunjukkan pamornya di tengah kehijauan alam lingkungannya.
 
Saya jadi ingat masa kecil dahulu.
 
Ayah saya sering mengajak saya untuk melihat-lihat elang yang terbang di angkasa. Ayah saya selalu mengingatkan, untuk tidak pernah menangkap elang dengan cara apa pun. Karena elang adalah burung merdeka dan hanya bisa hidup di alam bebas. Hanya di alam luas, di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi burung elang dapat bermanfaat bagi lingkungan.
 
Ketika ayah saya ditugaskan di kota-kota kecil di tengah rimba belantara Sumatra, kami masih bertempat tinggal tidak jauh dari hutan dan alam yang liar. Saat itu burung elang merupakan pemandangan sehari-hari. Di siang hari bolong, elang-elang ini dengan berani akan memasuki wilayah pemukiman. Bahkan tidak jarang, di depan mata kami ia turun dengan cepat, menukik di lapangan terbuka, dan menyambar anak ayam atau tikus yang lengah.
 
Saya dan teman-teman semasa kecil dulu, akan segera memasukkan induk ayam dan anak-anaknya ke kandang bila melihat elang berkeliling mencari mangsa. Kami akan saling mengingatkan, dan mengejar anak-anak ayam yang masih berkeliaran tanpa menyadari bahaya yang mengintai.
 
“ Cepat…cepaaaat..ada elang ! Masukkan ayam ke kandang !” begitu teriakan kami sambil buru-buru menghitung jumlah anak ayam yang berkeliaran di halaman . Teman yang tidak memiliki peliharaan ayam tetap saja ikut beramai-ramai…ikut berteriak-teriak…dan kadang ikut membunyikan segala perabotan seperti kaleng agar elang menjadi takut dan tidak jadi turun ke tanah…Waaah…seru juga.
 
Saya pernah berpikir, bagaimana elang yang terbang tinggi di langit sana, dapat memilih anak ayam yang akan menjadi santapannya. Pasti ia memiliki mata yang sangat tajam sehingga dapat melihat dari kejauahan. Tidak heran kalau kemudian ada ungkapan yang mengatakan, bahwa matanya tajam seperti mata elang…hehe…Dan memang, kalau kebetulan tidak dijaga, ada juga satu atau dua ekor anak ayam yang disambar dan menjadi mangsa elang. Yah…kalau sudah begitu mau diapakan lagi. Sudah nasib ayam menjadi santapan elang.
 
Ternyata elang tidak hanya doyan makan anak ayam. Ia pun gemar menyantap tupai dan tikus, terutama tikus berukuran jumbo yang agak besar. Itu sebabnya di areal persawahan yang luas pun kadang kita melihat burung elang berkeliling seperti sedang berpatroli. Dan kalau dilihat kecepatannya menukik, menyambar, dan membawa mangsanya, kita tidak akan menduga bahwa ia bisa secepat itu. Sungguh luar biasa.
 
Bagi petani, kedatangan elang untuk membersihkan tikus yang menjadi hama di sawah tentu menguntungkan. Memang, dibandingkan dengan menyantap anak ayam, kelihatannya elang lebih suka memangsa tikus. Entah dagingnya lebih gurih, entah karena perlawanan tikus terhadap elang tidak seperti perlawanan ayam. Betul, kadang-kadang induk ayam atau bapak ayam tidak rela kalau anaknya disambar begitu saja. Mereka masih akan berjuang dan mematuk kaki elang untuk mempertahankan anak-anaknya. Biasanya kalau sudah begitu, elang memilih untuk mengalah,  karena dia lebih suka di angkasa daripada berjalan-jalan di tanah…Rupanya elang pun paham, kalau itu bukan teritorinya…!!
 
 
Ngomong-ngomong soal elang.
 
Barangkali di masa sekarang kita tidak terlalu peduli dengan kehadirannya. Mau ada, mau  tidak ada , hidup sudah bergulir tanpa kehadiran elang. Tapi lihatlah, apa yang sudah diberikan elang kepada kehidupan kita dan lingkungan sekitar kita.
Kalau boleh membongkar harta karun kita nih…Indonesia memiliki beberapa jenis elang. Yang telah dikenal luas dan memiliki nama tersendiri adalah Elang Hitam, Elang Brontok, Elang Merah dan Elang Jawa. Urusan per-elang-an ini memang bukan sekedar urusan burung-burungan. Bagi peminat dan ahli burung atau disebut ornithologist, urusan keberadaan satu jenis burung seperti elang ini membutuhkan penelitian yang lama dan referensi dari berbagai jenis yang mirip. Dan satu hal lagi, harus didaftarkan dengan jenis dan nama tersendiri agar diakui oleh dunia. Naaah, urusan nama saja pun ternyata ada lika-likunya. Simak saja !
Salah satu jenis elang yang cukup legendaris dan membutuhkan perjalanan sangat panjang untuk diakui dunia adalah Elang Jawa. Elang Jawa ini termasuk elang gunung, dan tidak begitu saja diakui keberadaannya. Semula elang ini dianggap sebagai keluarga elang brontok. Tapi setelah diteliti sejak tahun 1820, yang melibatkan dua ahli burung bangsa Belanda yaitu Van Hasselt dan Kuhl, kemudian seorang ahli burung bangsa Jerman yaitu O.Fissh dan seorang kolektor dan ahli burung Max Bartels maka akhirnya pada tahun 1924 Prof. Stresemann memberi nama mereka  sebagai Spizaetus nipalensis bartelsi. Bayangkan, hampir seratus tahun untuk mendapatkan sebuah nama !
Tapi ternyata urusan nama tidak segampang itu, karena pada saat itu ia masih dianggap sebagai keluarga nipalensis. Masih ikut keluarga elang lain. Dan akhirnya….* ini betul-betul terakhir * pada tahun 1953 atas usulan D. Amadon untuk menaikkan peringkatnya dan mendudukkannya ke dalam jenis yang tersendiri, maka si Elang Jawa yang digolongkan sebagai elang gunung mendapat nama sendiri, yaitu Spizaetus bartelsi. Nama akhir bartelsi itu adalah salah satu penghormatan kepada Max Bartels .
Begitulah …betapa panjangnya urusan nama untuk seekor elang…!!!
Cerita elang tidak berhenti sampai di situ.
Konon si Elang  ini pun menginspirasi para cerdik cendekia dan para petinggi di berbagai belahan dunia . Keanggunannya di angkasa. Keberaniannya, kejeliannya, kecepatan dan kecekatannya tidak sekedar mempesona, tetapi juga menjadi semacam lambang keberanian dan kekuatan. Ungkapan seperti gagah seperti elang, menjadikan elang  sebagai ikon kepemimpinan. Bahkan sejak lama kita ketahui, bahwa elang sering dijadikan simbol kekuatan dan kekuasaan. Raja-raja jaman dahulu banyak yang memelihara elang, tidak sekedar sebagai hiasan, namun sebagai petunjuk jalan bila mereka mengadakan perlawatan.
Walaupun elang bukan termasuk burung migrasi, tetapi kemampuannya untuk menguasai teritori yang luas membuatnya menjadi semacam indikator mengenai suatu wilayah tertentu. Ia juga termasuk golongan ‘pejabat tinggi’, karena selalu tinggal di puncak-puncak pohon yang tinggi di atas gunung – yang kalau bisa paling tinggi pula. Mereka memang termasuk kelompok eksklusif dan penyendiri, mirip pertapa yang mengamati situasi dari kejauhan. Namun di sisi lain, ia pun merupakan petarung yang hebat. Elang akan mempertahankan teritorinya bila ada musuh yang menyerang. Bahkan pada jaman dahulu, elang yang telah dilatih oleh kerajaan akan membela tuannya hingga titik darah penghabisan bila ia melihat tuannya terancam.
Barangkali, karena alasan-alasan fisik maupun filosofis itulah  burung garuda yang menjadi simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia diambil dari perwujudan burung elang gunung atau elang jawa.
Memang benar. Burung garuda, yang selama ini menjadi simbol kemerdekaan dan kekuatan bangsa Indonesia adalah elang Jawa. Ia tidak sekedar menjadi mitos, tetapi telah menjadi lambang persatuan Negara dan bangsa Indonesia. Dan sekarang, karena kelangkaan elang yang tergusur habitatnya, maka sejak tahun 1992 elang jawa dimasukkan ke dalam kelompok satwa langka. Artinya elang jawa ini dilindungi oleh undang-undang, dan tidak diijinkan untuk dipelihara secara pribadi, kecuali untuk tujuan penelitian.
Mengenang elang yang terbang di kawasan Puncak , membuat saya termenung.
Hanya seekor elang . Tapi kehadirannya mampu mempersatukan sebuah bangsa dalam satu Negara. Dalam kesunyiannya, seekor elang jawa yang gagah telah menjadi garuda. Dan ia mampu menjadi sebuah simbol Negara yang merdeka, yang berdaulat dan diakui keberadaannya oleh dunia.
Seandainya kita dapat belajar dari seekor elang. Yang tidak hanya berani terbang melayang dan menyambar tikus serta anak ayam, tetapi juga mengusung angin dan menjaga lingkungan agar tetap terjaga eksistensinya…
Semoga….!!
 
Jakarta, 7 Oktober 2011
Salam hangat,
 
Ietje S. Guntur
 
Special note :
Terima kasih untuk Pa tersayang, yang telah mengajarkan kehidupan elang kepadaku…dan untuk teman-teman masa kecil yang telah bersama-sama menikmati hidup bersama elang…Terima kasih juga kepada my Pangeran Remote Control yang telah membawa aku dalam perjalanan menelusuri jejak elang…I love U allz…

Jum'at,  7 Oktober 2011  19:49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar