Oleh: Andre Vincent Wenas
"Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. 
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." (WS Rendra, Megatruh, 1997)
***
  Omong sih gampang, tapi omong yang berbobot (mengungkap realitas) dan 
sekaligus melaksanakan kata-kata (sebagai konsekuensi disposisi etis) barulah 
disebut perjuangan. Di tengah musim kampanye pilkada dan sebentar lagi masuk 
masa pemilu, bakal ada banyak kata (juga yang omong kosong) berseliweran di 
jalan raya forum publicum. Ironisnya, kata-kata ini – seperti di jalan raya kota 
metropolitan – meski disampaikan dengan nada terburu-buru (katanya jaman modern 
butuh kecepatan!) namun ya kenyataannya ia selalu dalam keadaan macet dan 
semrawut (saking banyaknya kata-kata namun infrastruktur mentalnya masih sangat 
kurus). Kejernihan berpikir banyak habis dilindas implementasi ideologi pasar 
yang sofistik.
  Adalah Nigel Thrift (The Rise of Soft Capitalism, 1998) yang menyodorkan 
konsep menarik yang disebutnya: “Sirkuit Kultural Kapital”. Konsep ini mencoba 
menerangkan proses produksi dan konsumsi gagasan-gagasan manajemen dan bisnis 
kontemporer yang banyak mendominasi kapitalisme. Promotornya tentu sekolah 
bisnis, media-massa yang jadi anggota grup bisnis, para tokoh dunia usaha sampai 
pemimpin politik. Merekalah partisipan aktif dalam sirkuit kultural kapital ini. 
Inti soalnya: semakin intensifnya suatu gagasan – terlepas dari benar tidaknya 
isi gagasan itu – berputar dalam sirkuit kultural kapital semakin kuatlah posisi 
gagasan. Di sini, gagasan “Globalisasi” termasuk jargon yang “kuat” (intensif 
diomongkan), karena sirkulasinya begitu kencang dan meluas ke pelbagai sektor 
serta kenyataan sosial.
  Sehingga kata ‘Globalisasi” seolah menjadi semacam mantra dalam akhir abad 
ke-20 dan awal abad ke-21 ini. “Bahkan, dapat dikatakan bahwa ‘globalisasi’ 
sudah menjadi klise pada tataran wacana popular. Sebagai suatu klise, kendati 
jargon ini menangkap banyak dari semangat zaman baru ini, ‘globalisasi’ tidak 
beredar sebagai suatu konsep yang jelas dan tunggal artinya. Sebaliknya, 
‘globalisasi’ kian banyak mengisi dunia simbolik dan wacana popular persis 
karena lentur dan longgarnya pengertian yang terkait dengan istilah ini.” 
(Robert H. Imam, Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual, 
2006). Menurut kata-kata Kim Kihwan, Chairman of Korea National Committee for 
Pacific Economic Cooperation, “Although globalization has been taking place for 
quite some time, and has been discussed extensively in academic literature, it 
has not been defined as clearly and as simply as one might desire.” (Kim 
Kihwan,  Globalization and Its Limits, CSIS, 2001).
  Kelenturan arti ini akhirnya melonggarkan disiplin perilaku penerapannya. 
Jargon globalisasi, bagi penguasa saat ini seolah jadi mantra pamungkas pemberi 
pembenaran tatkala meluncurkan program-program yang proliberalisasi, neoliberal, 
propasar dan probisnis. Sekaligus juga, ironisnya kerap dipakai untuk 
menjustifikasi program yang antipasar dan antiliberalisasi. Ketika BBM mesti 
dinaikkan, alasan yang paling pas adalah: tuntutan globalisasi. Sehingga jika 
harga BBM tidak naik, katanya pemerintah harus men-”subsidi” (yang maknanya 
lebih ‘membenarkan’ kenaikan ketimbang sekedar istilah: loss-opportunity). 
Pokoknya mana yang bisa menjustifikasi kepentingannya maka pengertian itulah 
yang dianut. Seakan – setelah mantra jargon ‘tuntutan globalisasi’ diucapkan – 
kita harus “mengerti dengan sendirinya”. Padalah oleh penguasa, “kejelasan 
dengan sendirinya” itu dipaksa dengan mereifikasi hubungan antara national 
economic survival dengan globalisasi. Walahualam!
***
  Mengapa seolah antara “dunia kata” dan “dunia kenyataan” sepertinya lepas satu 
sama lain? Mengapa kata-kata tidak mewakili kenyataaan? Dan mengapa kenyataan 
tidak ter-kata-kan (kenyataan tidak terungkap/tercermin dari kata-kata dan 
omongan yang berseliweran tadi) ?
  Barangkali muasalnya dari akumulasi apa yang coba direnungkan Sutardji Calzoum 
Bachri (Puisi “Jembatan”), “Sedalam-dalamnya sajak takkan mampu menampung 
airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi, dalam 
teduh-pakewuh, dalam isyarat dan kilah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap 
wajah orang berjuta. Wajah orang tergusur. Wajah orang ditilang malang. Wajah 
legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya 
menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam 
menjerit melengking, melolong dan mengucap: tanah air kita satu, bangsa kita 
satu, bahasa kita satu, bendera kita satu! Tapi wahai saudara satu bendera, 
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?”
***
  Terinspirasi Rendra (Megatruh) kita pun bereaksi: “O, akal sehat zaman ini! 
Bagaimana mesti kusebut kamu? …Aku menahan airmata, punggungku dingin, tetapi 
aku mesti melawan, karena aku menolak bersekutu dengan kamu! …O, akal sehat 
zaman ini, kerna menolak menjadi edan, aku melawan kamu!” 
  Di jaman “globalisasi” ini, hidup adalah “perlawanan” merebut (kembali) makna 
kata dan sekaligus memberi (kembali) makna kata di tengah sirkuit kultural 
kapital. Selamat Idul Fitri dan merenung-ulang kata-kata Soempah Pemoeda!
-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Senin, 17 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar