Sabtu, 22 Oktober 2011

Sirkuit Kultural Kapital

Oleh: Andre Vincent Wenas


"Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." (WS Rendra, Megatruh, 1997)

***

  Omong sih gampang, tapi omong yang berbobot (mengungkap realitas) dan
sekaligus melaksanakan kata-kata (sebagai konsekuensi disposisi etis) barulah
disebut perjuangan. Di tengah musim kampanye pilkada dan sebentar lagi masuk
masa pemilu, bakal ada banyak kata (juga yang omong kosong) berseliweran di
jalan raya forum publicum. Ironisnya, kata-kata ini – seperti di jalan raya kota
metropolitan – meski disampaikan dengan nada terburu-buru (katanya jaman modern
butuh kecepatan!) namun ya kenyataannya ia selalu dalam keadaan macet dan
semrawut (saking banyaknya kata-kata namun infrastruktur mentalnya masih sangat
kurus). Kejernihan berpikir banyak habis dilindas implementasi ideologi pasar
yang sofistik.

  Adalah Nigel Thrift (The Rise of Soft Capitalism, 1998) yang menyodorkan
konsep menarik yang disebutnya: “Sirkuit Kultural Kapital”. Konsep ini mencoba
menerangkan proses produksi dan konsumsi gagasan-gagasan manajemen dan bisnis
kontemporer yang banyak mendominasi kapitalisme. Promotornya tentu sekolah
bisnis, media-massa yang jadi anggota grup bisnis, para tokoh dunia usaha sampai
pemimpin politik. Merekalah partisipan aktif dalam sirkuit kultural kapital ini.
Inti soalnya: semakin intensifnya suatu gagasan – terlepas dari benar tidaknya
isi gagasan itu – berputar dalam sirkuit kultural kapital semakin kuatlah posisi
gagasan. Di sini, gagasan “Globalisasi” termasuk jargon yang “kuat” (intensif
diomongkan), karena sirkulasinya begitu kencang dan meluas ke pelbagai sektor
serta kenyataan sosial.

  Sehingga kata ‘Globalisasi” seolah menjadi semacam mantra dalam akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21 ini. “Bahkan, dapat dikatakan bahwa ‘globalisasi’
sudah menjadi klise pada tataran wacana popular. Sebagai suatu klise, kendati
jargon ini menangkap banyak dari semangat zaman baru ini, ‘globalisasi’ tidak
beredar sebagai suatu konsep yang jelas dan tunggal artinya. Sebaliknya,
‘globalisasi’ kian banyak mengisi dunia simbolik dan wacana popular persis
karena lentur dan longgarnya pengertian yang terkait dengan istilah ini.”
(Robert H. Imam, Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual,
2006). Menurut kata-kata Kim Kihwan, Chairman of Korea National Committee for
Pacific Economic Cooperation, “Although globalization has been taking place for
quite some time, and has been discussed extensively in academic literature, it
has not been defined as clearly and as simply as one might desire.” (Kim
Kihwan,  Globalization and Its Limits, CSIS, 2001).

  Kelenturan arti ini akhirnya melonggarkan disiplin perilaku penerapannya.
Jargon globalisasi, bagi penguasa saat ini seolah jadi mantra pamungkas pemberi
pembenaran tatkala meluncurkan program-program yang proliberalisasi, neoliberal,
propasar dan probisnis. Sekaligus juga, ironisnya kerap dipakai untuk
menjustifikasi program yang antipasar dan antiliberalisasi. Ketika BBM mesti
dinaikkan, alasan yang paling pas adalah: tuntutan globalisasi. Sehingga jika
harga BBM tidak naik, katanya pemerintah harus men-”subsidi” (yang maknanya
lebih ‘membenarkan’ kenaikan ketimbang sekedar istilah: loss-opportunity).
Pokoknya mana yang bisa menjustifikasi kepentingannya maka pengertian itulah
yang dianut. Seakan – setelah mantra jargon ‘tuntutan globalisasi’ diucapkan –
kita harus “mengerti dengan sendirinya”. Padalah oleh penguasa, “kejelasan
dengan sendirinya” itu dipaksa dengan mereifikasi hubungan antara national
economic survival dengan globalisasi. Walahualam!

***

  Mengapa seolah antara “dunia kata” dan “dunia kenyataan” sepertinya lepas satu
sama lain? Mengapa kata-kata tidak mewakili kenyataaan? Dan mengapa kenyataan
tidak ter-kata-kan (kenyataan tidak terungkap/tercermin dari kata-kata dan
omongan yang berseliweran tadi) ?

  Barangkali muasalnya dari akumulasi apa yang coba direnungkan Sutardji Calzoum
Bachri (Puisi “Jembatan”), “Sedalam-dalamnya sajak takkan mampu menampung
airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi, dalam
teduh-pakewuh, dalam isyarat dan kilah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap
wajah orang berjuta. Wajah orang tergusur. Wajah orang ditilang malang. Wajah
legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya
menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam
menjerit melengking, melolong dan mengucap: tanah air kita satu, bangsa kita
satu, bahasa kita satu, bendera kita satu! Tapi wahai saudara satu bendera,
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?”

***

  Terinspirasi Rendra (Megatruh) kita pun bereaksi: “O, akal sehat zaman ini!
Bagaimana mesti kusebut kamu? …Aku menahan airmata, punggungku dingin, tetapi
aku mesti melawan, karena aku menolak bersekutu dengan kamu! …O, akal sehat
zaman ini, kerna menolak menjadi edan, aku melawan kamu!”

  Di jaman “globalisasi” ini, hidup adalah “perlawanan” merebut (kembali) makna
kata dan sekaligus memberi (kembali) makna kata di tengah sirkuit kultural
kapital. Selamat Idul Fitri dan merenung-ulang kata-kata Soempah Pemoeda!

-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES

Senin, 17 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar