Jumat, 21 Oktober 2011

Food & Fuel: Kembar Identik Komoditas Global

Oleh: Andre Vincent Wenas

“…it is now almost impossible to know where one ends and one begins. Food makes fuel and fuel makes food. They are like identical twins, separated at birth. Without
either one, our society literally grinds to a halt.”– Andrew Heintzman & Evan Solomon (Food and Fuel: Solutions for the Future, 2009).

***

     Begini latar belakang ceritanya. Tatkala lebih dari seratus tahun lampau, tepatnya 4 Juni 1896, saat itu seorang insinyur muda berusia meluncurkan invensinya, banyak orang belum bisa secara definitif menentukan jenisnya, apakah benda itu termasuk energi atau bahan pangan? Insinyur muda itu menggunakan bahan temuannya untuk menggerakkan ciptaannya yang lain lagi, yaitu Ford model-T yang legendaris itu.

     Sejak saat itu ditengarai bahwa bahan itu telah menentukan nasib milyaran orang, juga kerap jadi penyebab perang maupun kemakmuran. Benda itu bukan berfungsi cuma sebagai energi atau cuma sebagai pangan, hebatnya benda itu adalah keduanya: pangan dan energi. Ya betul, bahan bakar (fuel) yang diinvensi oleh Henry Ford demi menggerakkan mobil model-T-nya terbuat dari bahan pangan (food) yaitu jagung (corn). Ford saat itu menggerakan combustion engine-nya dengan bahan bakar ethanol berbasis jagung.

     Dengan kata lain, sudah sejak awal produksi massal kendaraan bermotor dan produksi massal bahan pangan keduanya saling terjalin erat. Kelindan ini terus berlangsung sampai detik ini. Namun dalam perjalannya, bahan bakar energi bersumber fosil tak terbaharukan ini mulai tidak digali lagi dalam format pertambangan
(lantaran di beberapa tempat juga sudah habis), dan berangsur-angsur bergeser kearah pemanenan sumber energi dalam format perkebunan.

     Pemerintah di seantero bumi saat ini sangat agresif dengan target ambisius untuk meningkatkan persentase ethanol sebagai campuran bahan bakar otomotif berbasis fosil. Di Brazil contohnya, 30% dari kendaraan yang ada disana saat ini digerakan ethanol berbasis tebu.

***

     Implikasinya jelas dan mudah diprediksi. Tatkala produk pertanian pangan (mis: tebu, jagung, sawit dan ketela) bisa dikonversi jadi bahan bakar (energi), maka demand-nya juga semakin besar. Akibatnya terjadi scarcity (kelangkaan) yang ujungnya mendongkrak harga.

     Andrew Heintzman & Evan Solomon mencatat, “…the impact of the biofuel industry is felt most dramatically at the grocery store, not at the gas station. When the appetite for biofuel grows, so does the price of staple foods.” Dibuktikannya dengan kejadian di tahun 2008, “…when the price of oil approached $150 a barrel and the price of natural gas shot up to record highs, the price of food also skyrocketed. The amount of grain it takes to make enough ethanol to fill the tank of single car could feed a person for a year.” Maka dampaknya sosialnya jadi sangat serius, “In a world where over 800 million people are starving, the relationship between food and fuel is
not an abstract economic issue.”

     Kita ingat, tatkala kerusuhan di pelbagai sudut bumi terjadi, kebanyakan dipicu oleh kelangkaan pangan atau meroketnya harga pangan. Kerusuhan di Meksiko
(melonjaknya harga gandum yang merupakan bahan baku tortilla), protes rakyat Italia dan Perancis tatkala harga pasta dan roti naik tak terkendali. Juga rusuh di Pakistan, Kamerun, Haiti, Mesir dan Libya baru-baru ini disinyalir dipicu kelangkaan bahan pangan. Heintzman & Solomon kembali melaporkan, “In the last year alone, the cost of making bread around the world has doubled. When food prices rise, the one billion people in the world who spend 90 percent of their income on food suffer.”

***

     Dulu di era 1930an Indonesia punya kebun tebu dan industri gula yang hebat lantaran kita jadi salah satu pemasok gula terbesar di dunia. Saat itu produksi gula hampir 3 juta ton (bandingkan dengan prediksi tahun 2011 yang cuma 2,1 juta ton). Karenanya Indonesia patut me-reshuffle kebijakan pangan nasionalnya!

     Saat ini tingkat konsumsi gula di Indonesia sebesar 5,1 juta ton, karena produksi local kurang maka kita mesti mengimpor sekitar 3 juta ton dari Brazil, Thailand,
Australia, dll. Nilai impor gula kita ditengarai setara dengan devisa sebesar lebih dari Rp.20 trilyun setiap tahun! Uang sebesar ini sebetulnya cukup untuk membangun 10 unit pabrik gula baru masing-masing berkapasitas 10 ribu TCD (tone cane per day) yang nantinya mampu menambah pasokan gula nasional sebesar 1,3 – 1,6 juta ton gula per tahun!

     Kasus keterpurukan industri gula di Indonesia juga dialami beberapa sektor komoditi pangan lainnya, seperti misalnya: beras, jagung, garam dan kedele. Padahal tak satupun dari komoditi tersebut yang tidak bisa ditanam di tanah Nusantara. Bayangkan nilai importasi yang sesungguhnya bisa dihemat dan direinvestasikan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kita sungguh berharap seluruh komponen Indonesia Incorporated bisa bahu-membahu bekerja keras, jujur, cerdas dan disiplin.

***

     Kembali ke jalinan bahan bakar dan bahan pangan. Mobilitas manusia abad 21 semakin tinggi, alat transportasi menjadi kubutuhan mutlak. Di sini kita ingat kembali caveat dari Bill Paul (Future Energy: How The New Oil Industry Will Change People, Politics and Portfolios, 2007), dikatakannya, “Who is to blame for all these additional vehicles that will continue making it harder to keep up with the demand for oil? Nobody, unless you want to blame the rapidly emerging middle-classes in
India and China for wanting to share in the prototypical American dream, a dream just starting to come into focus in these and other budding economic powers thanks to the global economy’s ever-expanding interdependency.”

     Food & Fuel, komoditas kembar identik terpenting di dunia saat ini dan di masa depan. Dan Indonesia sesungguhnya punya potensi besar untuk jadi pemain utamanya! Quo vadis?

------------------------------------------------------
(Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Oktober 2011)

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES

Selasa, 4 Oktober 2011  09:06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar