Oleh: Andre Vincent Wenas
“…it is now almost impossible to know where one ends and one begins.  Food makes fuel and fuel makes food. They are like identical twins,  separated at birth. Without
either one, our society literally grinds to a halt.”– Andrew Heintzman  & Evan Solomon (Food and Fuel: Solutions for the Future, 2009).
***
     Begini latar belakang ceritanya. Tatkala lebih dari seratus tahun  lampau, tepatnya 4 Juni 1896, saat itu seorang insinyur muda berusia  meluncurkan invensinya, banyak orang belum bisa secara definitif  menentukan jenisnya, apakah benda itu termasuk energi atau bahan pangan?  Insinyur muda itu menggunakan bahan temuannya untuk menggerakkan  ciptaannya yang lain lagi, yaitu Ford model-T yang legendaris itu. 
     Sejak saat itu ditengarai bahwa bahan itu telah menentukan nasib  milyaran orang, juga kerap jadi penyebab perang maupun kemakmuran. Benda  itu bukan berfungsi cuma sebagai energi atau cuma sebagai pangan,  hebatnya benda itu adalah keduanya: pangan dan energi. Ya betul, bahan  bakar (fuel) yang diinvensi oleh Henry Ford demi menggerakkan mobil  model-T-nya terbuat dari bahan pangan (food) yaitu jagung (corn). Ford  saat itu menggerakan combustion engine-nya dengan bahan bakar ethanol  berbasis jagung.
     Dengan kata lain, sudah sejak awal produksi massal kendaraan  bermotor dan produksi massal bahan pangan keduanya saling terjalin erat.  Kelindan ini terus berlangsung sampai detik ini. Namun dalam  perjalannya, bahan bakar energi bersumber fosil tak terbaharukan ini  mulai tidak digali lagi dalam format pertambangan
(lantaran di beberapa tempat juga sudah habis), dan berangsur-angsur  bergeser kearah pemanenan sumber energi dalam format perkebunan.
     Pemerintah di seantero bumi saat ini sangat agresif dengan target  ambisius untuk meningkatkan persentase ethanol sebagai campuran bahan  bakar otomotif berbasis fosil. Di Brazil contohnya, 30% dari kendaraan  yang ada disana saat ini digerakan ethanol berbasis tebu.
***
     Implikasinya jelas dan mudah diprediksi. Tatkala produk pertanian  pangan (mis: tebu, jagung, sawit dan ketela) bisa dikonversi jadi bahan  bakar (energi), maka demand-nya juga semakin besar. Akibatnya terjadi  scarcity (kelangkaan) yang ujungnya mendongkrak harga.
     Andrew Heintzman & Evan Solomon mencatat, “…the impact of the  biofuel industry is felt most dramatically at the grocery store, not at  the gas station. When the appetite for biofuel grows, so does the price  of staple foods.” Dibuktikannya dengan kejadian di tahun 2008, “…when  the price of oil approached $150 a barrel and the price of natural gas  shot up to record highs, the price of food also skyrocketed. The amount  of grain it takes to make enough ethanol to fill the tank of single car  could feed a person for a year.” Maka dampaknya sosialnya jadi sangat  serius, “In a world where over 800 million people are starving, the  relationship between food and fuel is
not an abstract economic issue.”
     Kita ingat, tatkala kerusuhan di pelbagai sudut bumi terjadi,  kebanyakan dipicu oleh kelangkaan pangan atau meroketnya harga pangan.  Kerusuhan di Meksiko
(melonjaknya harga gandum yang merupakan bahan baku tortilla), protes  rakyat Italia dan Perancis tatkala harga pasta dan roti naik tak  terkendali. Juga rusuh di Pakistan, Kamerun, Haiti, Mesir dan Libya  baru-baru ini disinyalir dipicu kelangkaan bahan pangan. Heintzman &  Solomon kembali melaporkan, “In the last year alone, the cost of making  bread around the world has doubled. When food prices rise, the one  billion people in the world who spend 90 percent of their income on food  suffer.”
***
     Dulu di era 1930an Indonesia punya kebun tebu dan industri gula  yang hebat lantaran kita jadi salah satu pemasok gula terbesar di dunia.  Saat itu produksi gula hampir 3 juta ton (bandingkan dengan prediksi  tahun 2011 yang cuma 2,1 juta ton). Karenanya Indonesia patut  me-reshuffle kebijakan pangan nasionalnya! 
     Saat ini tingkat konsumsi gula di Indonesia sebesar 5,1 juta ton,  karena produksi local kurang maka kita mesti mengimpor sekitar 3 juta  ton dari Brazil, Thailand,
Australia, dll. Nilai impor gula kita ditengarai setara dengan devisa  sebesar lebih dari Rp.20 trilyun setiap tahun! Uang sebesar ini  sebetulnya cukup untuk membangun 10 unit pabrik gula baru masing-masing  berkapasitas 10 ribu TCD (tone cane per day) yang nantinya mampu  menambah pasokan gula nasional sebesar 1,3 – 1,6 juta ton gula per  tahun!
     Kasus keterpurukan industri gula di Indonesia juga dialami beberapa  sektor komoditi pangan lainnya, seperti misalnya: beras, jagung, garam  dan kedele. Padahal tak satupun dari komoditi tersebut yang tidak bisa  ditanam di tanah Nusantara. Bayangkan nilai importasi yang sesungguhnya  bisa dihemat dan direinvestasikan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kita sungguh berharap  seluruh komponen Indonesia Incorporated bisa bahu-membahu bekerja keras,  jujur, cerdas dan disiplin.
***
     Kembali ke jalinan bahan bakar dan bahan pangan. Mobilitas manusia  abad 21 semakin tinggi, alat transportasi menjadi kubutuhan mutlak. Di  sini kita ingat kembali caveat dari Bill Paul (Future Energy: How The  New Oil Industry Will Change People, Politics and Portfolios, 2007),  dikatakannya, “Who is to blame for all these additional vehicles that  will continue making it harder to keep up with the demand for oil?  Nobody, unless you want to blame the rapidly emerging middle-classes in
India and China for wanting to share in the prototypical American dream,  a dream just starting to come into focus in these and other budding  economic powers thanks to the global economy’s ever-expanding  interdependency.”
     Food & Fuel, komoditas kembar identik terpenting di dunia saat  ini dan di masa depan. Dan Indonesia sesungguhnya punya potensi besar  untuk jadi pemain utamanya! Quo vadis?
------------------------------------------------------
(Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Oktober 2011)
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Selasa, 4 Oktober 2011  09:06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar