Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Kita mengenal  istilah ini; ’setinggi-tingginya bangau terbang, pasti kembali ke  sarang.’ Makna pepatah itu bukanlah soal fisik belaka, melainkan soal  tata nilai. Kita selalu percaya bahwa setiap orang yang pergi tentu akan  ingat pulang. Kita juga pecaya bahwa setiap orang yang melakukan  langkah yang salah selalu memiliki kesempatan untuk berubah dan kembali  memperbaiki diri. Termasuk orang-orang yang terpenjara dalam kebiasaan  yang buruk. Kita percaya bahwa mereka, mempunyai kesempatan untuk insyaf  dan bertaubat. Lalu kembali mengadopsi kebiasaan baik. Tetapi kita juga  punya istilah ini; ’sudah terlanjur basah, ya nyebur saja sekalian’.  Mereka yang suka istilah asing menyebutnya ’the point of no return’  yaitu titik, dimana kita tidak bisa kembali. Dengan idiom itu, kita  diingatkan untuk segera memperbaiki diri selagi masih ada kesempatan  untuk melakukannya.
Langit terik tiba-tiba berubah  menjadi gelap. Hujan lebat disertai angin dan guntur turun tak lama  kemudian. Ketika hujan reda, kami pun kembali meneruskan perjalanan. Di  jalur utama terlihat deretan panjang kendaraan. Untungnya saya tahu  ’jalur rahasia’ untuk memotong jalan. Maka saya pun membelokkan  kendaraan melintasi jalan yang tidak banyak diketahui orang. Sungguh  nyaman ada di jalur itu. Hanya sedikit kendaraan, sama sekali tidak ada  kemacetan. Namun perlahan tapi pasti, permukaan jalan yang kami lintasi  mulai ditutupi oleh air. Saat istri saya mengingatkan untuk kembali,  saya bilang; tenang saja, semuanya masih dalam kendali. Tapi semakin  melaju kedepan, genangan air ternyata semakin dalam. Saya masih tidak  juga peduli. Menjelang jembatan, barulah saya sadar jika sungai meluap  dan airnya membanjir hingga tidak bisa dilintasi. Sekarang, kendaraan  kami terjebak diantara genangan air yang dalam di depan dan mobil lain  yang sama-sama bandel di belakang. Saya berada pada the point of no  return. Maka seperti itulah juga jadinya jika kita ngotot untuk terus  melakukan kebiasaan buruk. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar  berbalik arah sebelum terlambat, saya ajak memulainya dengan  mempraktekkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn) berikut ini:
1.      Sadar diri. 
Belum  ada kekuatan yang bisa mendorong seseorang melakukan sesuatu secara  suka rela dan suka cita selain kesadaran yang datang dari diri sendiri.  Dengan kesadaran diri, dia tidak perlu dipaksa oleh siapapun atau  apapun. Sebaliknya, sangat sulit mengharapkan perubahan perilaku dari  orang-orang yang tidak memiliki kesadaran diri. Jika Anda ingin memaksa  seseorang untuk meninggalkan kebiasaan buruk bisa saja. Tetapi, apakah  orang itu senang atas paksaan Anda atau tidak? Bisa jadi dihadapan Anda  orang itu tidak melakukannya. Tapi dibelakang? Itu tidak hanya berlaku  bagi orang lain, karena kita pun akan bersikap demikian jika tidak  memiliki kesadaran yang datang dari dalam diri kita sendiri. Anda tidak  akan bisa menikmati proses  meninggalkan kebiasaan buruk dibawah paksaan  atasan, orang tua, suami atau istri atau siapapun. Karena sekujur tubuh  Anda hanya tunduk patuh kepada perintah diri Anda sendiri. Jika Anda  tidak dengan sukarela melakukannya, maka tubuh Anda akan menolaknya.  Segala sesuatunya hanya akan dilakukan dalam keterpaksaan. Hal ini  berlaku di kantor, di rumah, dan di lingkungan manapun yang Anda  tinggali. So, milikilah kesadaran diri. Karena hanya dengan kesadaran  itulah Anda akan bisa menikmati prosesnya.
2.      Kontrol diri. 
Setiap  perilaku dan perbuatan buruk yang sudah memberikan kenikmatan memiliki  efek adiktif. Kita terdorong untuk melakukannya lagi dan lagi. Tentu  kita masih ingat efeknya jika seseorang sudah mengalami ketagihan. Dia  bisa mengabaikan segala-galanya hanya untuk mendapatkan kenikmatan yang  sama. Kita sudah merasa enak, nyaman dan kerasan dengan segala  kenikmatannya. Kalau sudah begitu, kita tidak lagi peduli jika hal itu  melanggar norma, merugikan orang lain, bahkan mengabaikan kesusilaan.  Kita menyebutnya sebagai keadaan ‘lepas kontrol’. Dalam keadaan lepas  kontrol, dia tidak lagi memiliki kendali atas hidupnya. Tidak lagi  tertarik untuk mengindahkan aturan. Bahkan mengabaikan keyakinan yang  pernah dipegang teguhnya. Hanya dengan kontrol diri itu kita bisa  mengatasinya. Kontrol diri itu teori. Kongkritnya bagaimana? Sederhana.  Satu kata saja, yaitu BERHENTI. Sama seperti saat Anda sedang  berkendara. Untuk bisa berbalik arah, Anda harus terlebih dahulu  berhenti, meski hanya dalam hitungan sepersekian detik. Dengan  ‘berhenti’ itu Anda memiliki momentum untuk mengganti gigi, memutar  setir, maju dan mundur, lalu melaju lagi dengan arah yang 180 derajat  berbeda dari sebelumnya.
3.      Komitmen diri. 
Ketika  hendak menghentikan suatu kebiasaan buruk, sisi baik dan sisi buruk  didalam diri kita saling berebut pengaruh. Sebenarnya sisi baik dan sisi  buruk itu memiliki kekuatan yang sama. Tetapi, setiap kebiasaan  menghasilkan pengalaman fisikal dan emosional yang membekas didalam diri  kita. Jika kita hendak menghentikan kebiasaan buruk, maka pengalaman  fisik dan emosi itu menjadi referensi penting bagi sisi buruk untuk  mengalahkan sisi baik. “Seperti biasanya, dengan melakukan itu kita  mendapatkan kenikmatan,”  begitu kata sisi buruk. Sekujur tubuh kita  akan mengamini karena memiliki pengalaman nyata atas apa yang dikatakan  sang sisi buruk. Sedangkan argumentasi normatif sisi baik sering  digoyahkah oleh resistensi kita terhadap perubahan. “Kalau tidak begitu  lagi, nanti kerja kita lebih berat. Nanti uang kita berkurang. Nanti  kenikmatan kita hilang.….” Makanya, untuk bisa membuat sisi baik menang,  kita perlu mendukungnya dengan komitmen. Hanya orang-orang yang  memiliki komitmen tinggi saja yang sanggup melawan bisikan dan rayuan  sisi buruk. Lalu mendengarkan nasihat sang sisi baik. Bersedia  mengorbankan kenikmatan sementara, dan bersungguh-sungguh memperbaiki  diri.
4.      Konsistensi diri. 
Orang  bilang, menjadi orang baik di zaman ini bukan perkara gampang.  Kelihatannya ada benarnya juga memang. Khususnya, jika lingkungan  pergaulan kita terdiri dari orang-orang yang memiliki kebiasaan buruk  yang hendak kita tinggalkan itu. Mereka tidak membiarkan kita berhenti  begitu saja sehingga  rayuan untuk balik lagi tidak akan pernah surut  menggoda kita. Makanya, kita sering melihat orang-orang insyaf sebentar  lalu kembali lagi kepada kebiasaan lamanya yang buruk. Kita pun tidak  akan pernah kehilangan alasan untuk melakukan itu lagi. “Tahu rasa lu  susah sendiri tuh. Makanya, elu jangan coba-coba sok suci….” Merasakan  betapa perihnya usaha untuk keluar dari kebiasaan buruk itu, sering  ingin membuat kita berhenti lalu menyerah saja. Hey, ingatlah; mengganti  kebiasaan buruk dengan kebiasaan baik itu mungkin berat. Tapi kesulitan  itu timbul karena kita belum menjadikan perilaku baik itu menjadi  sebuah kebiasaan. Alah bisa karena biasa. Kalau kita sudah biasa  melakukannya, maka pasti kita juga tidak akan merasakan pedih perihnya  lagi. Nanti, kita juga akan terbiasa berperilaku baik. Tanpa paksaan.  Dan kita, hanya akan bisa membangun kebiasaan baru yang lebih baik itu  jika kita melakukannya secara konsisten. Karena dengan konsistensi, kita  melakukannya secara terus menerus hingga sekujur tubuh kita  mengadopsinya menjadi sebuah kebiasaan yang baru.  
5.      Mawas diri. 
Kita  ini siapa sih? Kita ini mahluk yang lebih mulia dari binatang. Jika  binatang mati, maka selesailah semua urusannya. Tapi jika kita mati,  apakah urusannya bisa menghilang begitu saja? Untuk urusan duniawi,  memang bisa hilang dengan kematian. Vonis hakim di pengadilan pun tidak  bisa menjangkau orang mati. Semua urusan dunia dianggap sudah selesai.  Tetapi, hati-hati. Saat kita mati. Apakah nanti. Kita bisa lari. Dan  sembunyi. Dari tatapan mata Ilahi? Apakah Anda berani untuk berhadapan  dengan Sang Maha Adil. Lalu berdiri tegak mempertanggungjawabkan semua  perbuatan buruk yang semasa hidup Anda lakukan? Kelihaian kita dalam  bersilat lidah. Kekuatan pengaruh uang dan jabatan yang kita sandang.  Kekompakan koneksi  dan pengacara yang membela kita. Apakah cukup untuk  memutarbalikkan dakwaan yang dicatat oleh malaikat dalam buku kehidupan  pribadi setiap insan? Terlalu beresiko jika kita menyombongkan diri  dihadapanNya. Sekarang mungkin kita bisa sombong. Tetapi nanti,  kesombongan itu sama sekali tidak memiliki arti. Makanya, kita perlu  mawas diri. Bahwa hidup kita tidaklah abadi. Dan mawas diri itu hanya  akan berarti jika kita memilikinya sebelum mati.
Banyak  orang yang sudah sejak lama ingin menghentikan kebiasaan buruknya.  Namun, tidak pernah memulainya dengan tindakan nyata. Mereka terus saja  melakukannya, sampai akhirnya ‘tertangkap basah’. Tangis dan sesal tidak  lagi memiliki makna apa-apa jika terlanjur ‘ketahuan’. Apalagi kalau  sudah sampai diperkarakan. Semuanya sudah serba terlambat. Jika kita  hanya bersedia berhenti kalau sudah ketahuan, maka ketahuilah bahwa;  Tuhan sudah sejak lama mengetahui semua perilaku buruk yang kita  lakukan. Jadi, ini adalah saat yang tepat untuk memutar arah. Mumpung  masih ada kesempatan.
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman - Deka –  3 Oktober 2011
Trainer “Natural Intelligence Leadership Training” 
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (jadwal terbit Oktober 2011)
Catatan Kaki:
Selama  memiliki kesungguhan hati untuk bertaubat, maka pintu maaf selalu  terbuka lebar untuk kita.  Tetapi, akan ada saatnya pintu itu terkunci  dan tidak bisa dibuka lagi.
Silakan di-share jika  naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak  usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda  sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
Senin, 3 Oktober 2011   10:41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar