Oleh : Andre Vincent Wenas
“…it is precisely through the evaluating process of the human mind that human 
behavior is distinguished from animal behavior, and that man, with his 
consciousness, enters an atmosphere of greater freedom.”– Sutan Takdir 
Alisjahbana. 
  Begitulah yang diyakini St. Takdir Alisjahbana dalam disertasinya yang 
akhirnya diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1960 dengan judul: Values as 
Integrating Forces in Personality, Society, and Culture.  Ia seorang pemikir 
strategis Indonesia yang otentik.
***
  Terlebih dalam arus besar globalisasi saat ini, membangun daya kritis telah 
menjadi suatu imperatif, bahkan conditio sine qua non dalam upaya survival di 
tata  dunia baru yang kaotik (memang terdengar rada oxymoron) karena tanpanya  kita akan sangat disilaukan oleh komodifikasi pelbagai hal yang –  dengan kekuatan daya hipnotis massa (advertising, integrated marketing  communications, public relations) – telah menimbulkan keterpanaan,  kemabukan, bahkan ekstasi.  
  Caveat yang dilansir Yasraf Amir Piliang (Dunia yang Dilipat, 1998, 2004) 
patut dicermati: “Begitu banyak yang ditawarkan oleh dunia baru ini, sehingga 
seakan-akan ia dapat menyalurkan segala dorongan hasrat dan segala desakan 
energi libido manusia. Akan tetapi, begitu banyak pula yang direnggutnya dari 
manusia, yang meninggalkan berbagai bercak luka, rasa kehilangan, dan duka 
kepedihan pada diri manusia. Begitu banyak yang dibangunnya, sehingga 
seakan-akan tidak ada lagi ruang kehidupan yang tersisa, sudut dunia yang tak 
terjamah, dan bagian dunia yang tak tersentuh. Akan tetapi, begitu banyak pula 
yang dihancurkannya, yang meninggalkan puing-puing dunia tak berbentuk, 
sisa-sisa alam yang merana, dan rongsokan jiwa yang kerontang.” 
  Kita, akibat program pemasaran global kontemporer sekarang, seakan terus 
diajak bertamasya ke dalam dunia fantasi (…Anda akan jadi seperti bintang film; 
…anak  Anda akan jadi seperti Einstein, …”alumni” play-group pun “diwisuda”  pakai toga di hotel berbintang, dll). Repotnya, dalam dunia semacam itu  segala 
sesuatunya hanyalah alam seolah-olah (tidak asli, tidak otentik, tidak genuine), 
simulasi semata-mata, bahkan khayalan. Kita digiring masuk dalam  simulakrum 
(dunia seolah-olah, tiruan). Diri Anda menjadi bukan diri Anda sendiri, 
melainkan:  Anda adalah apa yang Anda kendarai (atau: …baju yang Anda kenakan;  …model yang Anda ikuti; …Anda ditentukan oleh apartemen di mana Anda  tinggal, dst.)
  
***
  Dulu kita sering men-dikotomi-kan antara budaya Timur dan budaya Barat. 
Sesungguhnya hal ini pun juga menyesatkan, sebab jika ditelusuri jauh ke 
belakang, sejarah umat manusia adalah terus bergerak (tidak terlalu jelas dari 
arah mana: entah timur atau barat, entah selatan atau utara!) sehingga banyak 
unsur-unsurnya yang bercampur baur. Walau akhirnya, dalam studi sejarah 
pemikiran, pada jaman Yunani kuno kira-kira 2600 tahun yang lalu (sejak 
munculnya  para intelektual seperti Thales, Pythagoras, Xenophanes, Herakleitos,  Parmenides, sampai ke jaman Sokrates, Platon dan Aristoteles) barulah  umat manusia mulai dianggap memasuki jaman rasional dan meninggalkan  alam tahayul dewa-dewi. Jaman di mana daya kritis, kemampuan  transendensi manusia mulai terang konturnya. 
  Karenanya – dalam  provokasinya yang terkenal dengan ‘polemik kebudayaan’ – St. Takdir  Alisjahbana tanpa tedeng aling-aling berseru: “Demikian saya 
berkeyakinan,  bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan  terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal  itu bukan suatu kehinaan bagi suatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru  sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan  sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” 
  Daya kritis, kemampuan transendensi, mengambil jarak terhadap dirinya sendiri, telah menjadi ciri kemanusiaan seorang manusia.
***
  Kalau saat ini kita sering mengeluh tentang etos kerja para professional, 
termasuk para wakil rakyat kita (akhir-akhir ini banyak beredar di pelbagai 
milis perihal pendapatan para wakil rakyat yang dilampirkan foto mereka yang 
sedang  nyenyak di ruang sidang!), sampai ekses para pelajar yang ingin  segalanya serba instan tanpa mau bersusah payah meniti proses dengan  tabah dan cermat (kedua kata ini: ketabahan dan kecermatan, telah  menjadi kata asing dalam arus kehidupan yang serba instan), maka dunia  korporasi ikut bertanggung jawab. Karena lewat programa sistematis yang  telah menggiring massa ke dalam simulakrum ini sesungguhnya banya  korporasi telah ikut memenjarakan kebebasan masyarakat untuk menjadi  dirinya sendiri yang otentik. Komodifikasi di hampir segala hal adalah  akibat ideologi pasar yang telah menentukan – apa yang disebut sebagai –  kriteria kesuksesan.
  Demikianlah kita hanya bisa membebaskan diri dari penjara simulakrum lewat 
pintu pembangunan daya kritis. Para pebisnis tetap dituntut disposisi etisnya 
terhadap program pembebasan (road to freedom) ini. Veritas vos liberat, 
kebenaran itu akan memerdekakan.
(follow twitter: @andrewenas)
-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Minggu, 16 Oktober 2011 13:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar