Sabtu, 22 Oktober 2011

Mencari Uang atau Prestasi

Oleh:  William Wiguna

Sering kali kalau saya meng-interview seseorang karyawan baru khusus untuk departemen kami, senantiasa terlontar sebuah pertanyaan sangat menentukan sikap. Saya menanyakan, apa alasan ybs mau bekerja di perusahaan/departemen kami.
 
Jawaban sangat bervariasi dan sebagian besar menjawab dengan klise seperti "untuk menambah pengalaman", "menambah ilmu" dsb. Mereka biasanya setelah diberikan kesempatan untuk memperjelas alasan yang tepat, akhirnya ujung-ujungnya mengatakan "mencari uang".
Nah, disini saya selalu terkenang akan masa lalu dimana setelah lulus S1, saya tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan S2 karena memang kebutuhan akan uang tidak tercukupi bila harus memaksakan diri "mencari ilmu". Tetapi saya berhasil "menghibur diri" dengan menggunakan alasan logika, bahwa dimana tempat saya bekerja dan berkarir adalah S2 saya dan begitu seterusnya karena keinginan saya untuk mau terus belajar entah sampai kapan...
Kembali dengan interview, mereka biasanya mencoba merenungkan ide saya sbb: Bagaimana bila Anda merefleksikan sikap "mencari uang" itu kedepan. Mereka saya ijinkan memperkirakan apa yang dijawab seorang maling yang diinterogasi oleh polisi. Ya mungkin dengan cara yang lebih keras supaya sang tawanan tsb menjawab "mengapa mencuri". Tentu saja mereka dan Anda juga bisa menjawabnya dengan mudah bukan? Mereka "butuh/mencari uang" untuk hidup...
 
Saya selalu mencoba mengingatkan, bahwa tentu saja ucapan "mencari uang" tidak salah, tetapi akan menjadi bumerang bila mereka ucapkan dengan penuh motivasi yang serius atau menjadi keinginan! Otak kita sangat pintar, sehingga bila ada instruksi/motivasi yang masuk dengan sadar dan tidak sadar otak kita akan bekerja dengan keras mengejar target tersebut, misalnya "mencari uang". Maka amat sangat mungkin tahap-tahap yang terjadi bisa saja sbb: mulai menghitung-hitung untung-rugi antara gaji dan jam kerja, meng-korupsi waktu dan akhirnya materi. Hal ini biasanya akan menimbulkan stress yang tidak sehat. Otak kita akhirnya me"rekomendasi"kan atau "tidak bisa lagi membedakan" mana uang pribadi dan uang perusahaan.
 
Dan biasanya Boss/Owner Perusahaan pastilah bukanlah orang bodoh, dia justeru akan main lebih sadis dengan perhitungan untung-rugi dengan karyawan. Bisa ditebak juga bukan bila hal ini terjadi siapa yang bakal lebih "pintar" yang bakal mendapatkan keuntungan? Bila pun didapat, bukankah itu dari hasil yang tidak FAIR? Dan bila sang karyawan dan pimpinan jadi "adu ulet" maka bisa dibayangkan sirkuit lingkaran setan yang dibentuk.
 
Biasanya, sang karyawan baru akan tercenung, dan disinilah saya membagikan tips agar sang karyawan bisa lebih berdaya guna:
 
Saya menceritakan kasus saya ketika ingin belajar lebih lanjut tapi nggak punya uang seperti diatas, lalu bertekad belajar dimanapun saya mendapat kesempatan. Dan biasanya saya ajak sang karyawan mau belajar atau tidak dengan tips ini.
 
Di tempat kerja atau "kampus" baru ini sang karyawan adalah "siswa" dan saya menjadi pembimbing/guru yang bertanggung jawab atas karir/study ybs. Karena toh, dimana-mana ya memang seorang pemimpin harus mengajar dan membimbing bukan? Bila ybs berprestasi, akan disediakan Promosi dan kemungkinan "naik kelas". Bagi para Pemimpin, poin ini sering dilepas, dia mengajar tetapi tidak mengikat sang karyawan untuk tetap semangat belajar selama masih bersama-sama.
 
Menggunakan logika, bahwa karena ybs belajar maka mendapatkan istilah "uang jajan" sebagai pengganti istilah "gaji". Dari poin ini saja otak kita rasanya langsung lebih lega karena tidak lagi berhitung-hitungan dengan input-output kerja. Bahkan di "kampus" baru ini ybs tidak perlu membayar uang kuliah tetapi justeru menerima seluruh perangkat "belajar"nya dia seperti: seragam, komputer, ruangan dsb.
 
Selalu saya tanyakan, apakah uang jajan saat sekolah/kuliah lebih besar atau tidak dengan "uang jajan" yang dia terima di "kampus" ini. Untuk yang ini jawaban mereka 100% setuju bahwa "uang jajan" mereka sudah lebih baik.
 
Istilah "belajar" dan "kampus" baru buat seorang yang serius akan berdampak dahsyat seperti: kita akan menemukan bahwa otak kita bila sedang belajar akan menciptakan prestasi-prestasi yang mustahil akan diberikan oleh orang yang bermotif mencari duit.
 
Terbukti bukan, saat dulu kita sekolah/kuliah, walaupun berantem atau dimarahin Guru, demi ilmu kita tetap masuk dengan semangat untuk lulus bukan? Bahkan untuk tim kami disinilah kami membuat prestasi saat dulu kuliah menjadi juara LKIP tingkat Nasional, padahal modal kami cuma satu BELAJAR.
 
Karyawan-karyawan di departemen kami mencapai rekor tertinggi dalam sejarah perusahaan, yaitu melakukan penjualan lebih dari 10 kali target!
 
Sebagian model seperti ini juga kami praktekkan di tempat dimana kami ber-organisasi, bahkan juga saat kami memberikan konseling dan program TRAIN the TRAINER. Bahwa semua anggota tim bisa lebih sukses dari pada saya sendiri dan karena tanpa pamrih, saya hanya bisa terus menyampaikan model "BELAJAR" seperti ini dimana pun dan pasti SUKSES. Salah seorang "office boy" kami telah menjadi National Sales Manager dalam waktu 10 tahun.
 
Sangat banyak alasan yang diberikan orang ketika mereka sudah capek-capek lulus kemudian dengan mudahnya mengganti motivasi yang benar dengan motivasi/keinginan mencari uang.
 
Coba renungkan, kalau Tuhan demikian besar dan dahsyat menurut ukuran orang-orang beriman, apakah layak motivasi utama seseorang bekerja adalah hanya "mencari uang"? Bukankah seharusnya bisa lebih baik dari makhluk lainnya yang memang dipersiapkan hanya untuk "mencari makan".
Saya banyak bertanya kepada para orang tua dan pembina rohani berbagai kalangan, ternyata ini adalah salah satu dosa turunan Feodalisme. Bayangkan setelah 350 tahun dijajah, inilah paradigma yang keluar dari para generasi tua kepada yang muda: "cepat belajar dan lulus supaya bisa cari uang"...
 
Mungkin, sekedar membandingkan, kalau sungguh2 para generasi tua maunya begitu, sebaiknya jangan sekolahkan mereka, karena tidak mungkin balik modal! Coba bayangkan, uang pangkal SD saja sudah 5-10 juta. Kuliah di UI saja butuh Rp. 150 juta. Sedangkan lulusan Sarjana sudah jamak bersedia dengan gaji di bawah UMR. Sebaiknya, mulai sekarang investkan uang pangkal/sekolah mereka dengan sesuatu buat mereka yang nanti langsung bisa jualan kalau sudah besar, seperti misalnya (maaf) warung.
 
OK, menurut saya, sudah waktunya OTAK kita diberikan tugas yang lebih mulia yaitu "BELAJAR". Karena saat seseorang belajar, prestasi pasti mengikuti. Dan saat belajar dan bekerja, maka setiap orang pasti menerima UPAH bukan? Jadi, ajak generasi sekarang memutuskan rantai/kuk "mencari uang" karena itu buat makhluk yang kesulitan memahami apa arti belajar. Tips Ini bagi yang sedang bekerja.
 
Nah, TIPS bagi yang sedang mencari kerja, coba renungkan baik-baik apa jawaban yang harus disiapkan bila di-interview, yaitu APA KEBUTUHAN ANDA YANG PASTI MENGUNTUNGKAN DAN TIDAK MERUGIKAN PERUSAHAAN?. Jangan lagi bersilat kata karena bila kita tidak siap mental, sang interview dengan mudah me"nekan" Anda sehingga Anda merasa sangat "murah" dimata sang interview. Bila ini yang terjadi, maka dalam proses transaksi, sulit untuk dikatakan kondisi tersebut "win-win".
 
Bila Anda masih kesulitan untuk membersihkan "suara-suara" yang meminta Anda untuk segera "mencari uang", perbanyaklah doa dan baca kitab suci kemudian bila sempat diskusikan dengan kami untuk dibantu mengenal Talenta-talenta yang Tuhan berikan sebagai saran pembelajaran dan pe-lipat-gandaan prestasi Anda di dunia ini.
 
Akhir kata, para rohaniwan selalu berkata, bahwa belajar itu adalah perintah dari Kitab-kitab Suci. Dan bekerja adalah IBADAH. Jadi renungkanlah, benarkah kita boleh "mencari uang" di dalam Ibadah Suci kita? Bukankah UPAH itu pasti diberikan ,bukan dicari, bagi yang BEKERJA (baca: BERIBADAH)? 
 
Salam Karakter,
William Wiguna

The First Life Time® Program & Counseling
Kamis, 13 Oktober 2011  13:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar