Senin, 22 Oktober 2012

Leaderism#5: Mengatasi Bawahan Yang Buruk


Oleh:  Dadang Kadarusman

Hore!
Hari Baru, Teman-teman.

Piala Eropa 2012 baru saja berakhir. Seperti kompetisi sepakbola bergengsi lainnya, perhelatan itu melambungkan nama-nama beken yang harganya semakin membumbung tinggi. Uniknya, diantara nama yang mewangi itu ada orang-orang yang bukan pemain di lapangan hijau. Anda tentu mengetahuinya dengan pasti. Betul. Mereka adalah para pelatihnya. Jelas sekali jika gengsi pelatih melampaui para pemain bintang. Faktanya, pelatihlah yang paling menentukan siapa yang bermain dan siapa yang duduk dibangku cadangan. Tanpa pelatih, sekumpulan pemain hebat jarang bisa menghasilkan kemenangan team.


Seperti di ruang-ruang kantor kita. Mungkin disana bertaburan para karyawan cemerlang. Tetapi tanpa ‘pelatih’, mereka hanya bisa menjadi individual contributor yang bagus dikala bermain sendirian namun lemah ketika harus bekerjasama dengan para karyawan berkilauan lainnya. Yang saya maksudkan ‘pelatih’ disini bukanlah semacam trainer atau pembicara seminar. Saya merujuk kepada seseorang yang sehari-hari bisa berada ditengah-tengah para karyawan hebat itu. Mengasah  keterampilan mereka. Membagi tugas dan peran serta fungsi masing-masing. Memberikan pengarahan yang diperlukan. Dan kalau perlu, ‘berteriak-teriak’ di pinggir arena untuk memberikan pengarahan ad hoc disaat-saat kritis ketika pekerjaan sedang berjalan. Siapa lagi orang yang punya otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan seperti itu jika bukan seorang atasan?

Benar. Atasan di kantor itu seperti pelatih sepakbola. Mereka sama-sama memiliki otoritas untuk memimpin. Tidak mungkin suatu kesebelasan menghasilkan kemenangan yang bermutu tanpa pelatih yang tangguh. Tidak mungkin juga sebuah team kerja menghasilkan performa tinggi tanpa atasan yang handal. Masalahnya, atasan di kantor tidak selalu memiliki keleluasaan yang sama seperti para pelatih sepakbola. Khususnya dalam hal ‘menentukan’ siapa saja yang pantas berada didalam team kerjanya. Pelatih sepakbola, boleh mendepak pemain lama tanpa resiko bermakna. Akhiri saja kontraknya. Atau tempatkan saja di bangku cadangan. Selesai. Atasan di kantor? Tidak bisa demikian.

Idealnya, memang seorang atasan bisa membentuk team kerjanya sendiri dari orang-orang pilihannya. Namun, hal itu tidak selalu bisa dilakukan. Faktanya, kebanyakan atasan bertanggungjawab untuk menghasilkan kinerja baik perusahaan dengan ‘bagaimanapun’ keadaan dan kualitas karyawan yang ada didalamnya. Bukankah sangat jarang sekali atasan yang diangkat dengan misi ‘menyingkirkan’ orang? Ada, tapi sangat jarang sekali.

Pertanyaannya adalah; bagaimana seandainya orang-orang di team kerja itu bukanlah karyawan-karyawan yang mampu bekerja dengan baik?  Jika keterampilan kerja yang menjadi faktor penghambatnya, maka solusinya adalah melatih mereka untuk bekerja dengan lebih baik. Seperti para pelatih sepak bola melatih dan mengajarkan teknik-teknik bermain cantik. Namun, jika masalah utamanya adalah sikap dan perilaku, bagaimana?

Orang bilang; mudah untuk membenahi soal-soal teknis. Namun untuk soal non teknis seperti perilaku, itu bukan soal yang gampang. Bahkan karyawan yang paling jago melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis pun bisa sangat menyulitkan kalau sikap dan perilakunya buruk. Disinilah kualitas seorang atasan diuji. Dan, sudah banyak orang yang gagal melewati batu ujian ini. Dalam pengamatan saya, kebanyakan yang gagal itu bukan karena kurangnya sarana atau sumber daya untuk mengubah perilaku bawahan. Melainkan karena sang atasan keliru sejak detik pertama interaksi mereka. Ketika berhadapan dengan karyawan yang sikap dan perilakunya kurang baik, atasan itu langsung menilai karyawan itu sebagai bawahan yang buruk. Dengan penilaian awal yang buruk itu, maka tak seorang pun tertarik untuk mengupayakan hal terbaik dalam usaha memperbaikinya.

Boleh jadi, karyawan berperilaku buruk justru disebabkan oleh perlakukan atau cara memimpin yang keliru dari atasannya. Bukan sifat dasar mereka yang buruk. Meskipun masih banyak atasan yang suka semena-mena kepada bawahannya, namun saya tidak bermaksud mengatakan atasan sebelumnya buruk. Banyak juga kok atasan yang baik namun tidak dapat melakukan pendekatan yang tepat sehingga tidak berhasil menjadikan bawahannya baik. Terlepas dari kondisi atasan sebelumnya, sekarang orang-orang itu sudah menjadi bawahan kita. Oleh karenanya; cara kita memimpin mereka akan sangat menentukan kualitas kerja mereka sejak saat ini.

Mari perhatikan sekali lagi. Sudut pandang pertama kita tadi menempatkan bawahan yang sikap dan perilakunya buruk sebagai satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas keburukan itu. Sedangkan sudut pandang kedua, menempatkan mereka sebagai produk perlakuan keliru dari pemimpinnya. Dengan cara berpikir yang kedua itu, sebagai pemimpin kita meletakkan tanggungjawab ‘perbaikan’ bawahan itu pada pundak kita sendiri. Bukan menunjuk hidung mereka untuk memperbaikinya dengan perintah kita. Dengan cara berpikir seperti itu kita juga membangun jembatan kepercayaan dengan mereka. Kita percaya, bahwa mereka bisa berubah dengan teknik dan pola kepemimpinan yang lebih baik bersama kita.

Banyak indikasi yang menunjukkan jika karyawan itu kesal kepada atasannya. Makanya mereka bertindak sekenanya saja. Kabar baiknya adalah; dalam kebanyakan kasus kekesalan mereka kepada atasan itu tidak disebabkan oleh kebencian kepada pribadi atasannya, melainkan sering karena cara atasannya memimpin yang keliru. Jika atasannya arogan, sok kuasa, tukang perintah, atau tidak menghargai anak buah; mengapa para bawahan harus respek kepadanya? Sebaliknya, jika atasan memimpin dengan cara yang tepat, sanggup berjalan di garis paling depan perjuangan mereka, selalu ada setiap kali mereka membutuhkan, selalu bersedia menerima telepon meskipun pada masa liburan, berkenan mendengar aspirasi dan pendapat, memahami dan menghargai perasaan bawahan. Oh…, bagaimana mungkin bawahan membenci atasan seperti itu?

Jadi, jika ada bawahan yang bersikap dan berperilaku buruk. Hindarilah untuk buru-buru menilai mereka sebagai pribadi yang buruk. Justru inilah saatnya untuk melatih dan mempraktekkan keterampilan memimpin yang kita miliki selama ini. Mulailah dengan kesadaran bahwa memang sudah menjadi tanggungjawab kita sebagai atasan untuk membantunya memperbaiki diri. Melalui niat baik, cara-cara memimpin yang baik, dan keteladan yang kita tunjukkan; kemungkinan besar, kita akan bisa membalikkan keadaan. Jika kita berhasil melakukannya, maka kepuasannya akan menjadi milik kita. Sehingga ketika kelak kita ditanya; “Apa yang sudah kamu lakukan kepada orang-orang yang dahulu kamu pimpin?”  Semoga kita bisa menjawab;”Sudah saya membawa dan mencontohkan kepada mereka untuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik, ya Tuhanku….” Siapa tahu Tuhan berkenan menempatkan para pemimpin seperti itu di samping tempat peristirahatan para Nabi suci. Duh… ingin sekali. Insya Allah.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!

Catatan Kaki:
Kalau ada bawahan yang berperilaku buruk, cobalah perbaiki cara Anda memimpinnya. Anda akan bahagia sekali ketika melihat perubahannya.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Rabu, 4 Juli, 2012 19:32

==================== ==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar