Oleh: Hendrik Ronald
Waktu itu saya baru saja pulang beribadah. Semua mobil sedang berhenti karena lampu merah sedang menyala. Mobil saya baru saja keluar dari sebuah gang kecil. Namun ada mobil yang merasa tersinggung karena 'kepala' mobil saya menghalangi jalurnya. Bukannya antri, beliau nekad menabrakkan mobilnya ke mobil saya. Seolah-olah puas setelah menabrak, dia kembali memundurkan mobilnya.
Saya turun dan melihat kondisi 
mobil saya. Kali ini dia melakukan hal yang lebih keterlaluan lagi. Dia 
menabrak saya yang sedang memeriksa keadaan mobil. Saya bahkan terjepit 
di antara 2 mobil. Lebih parah lagi, punuk kaki saya berada di bawah ban
 mobil dia.
Rasanya jangan ditanya, so pasti lumayan!
Kesal?
 Sudah pasti! Memang luar biasa bapak pengemudi yang satu ini, bukannya 
mundur supaya saya bisa terlepas, dia malah memajukan mobilnya untuk 
semakin menghimpit saya dan menggiling kaki saya. Syukur akhirnya punuk 
kaki saya terlepas dari gilingan ban mobil.
Setelah terlepas, untuk 
melindungi diri dari terhimpit, saya naik ke atas kap mobil bapak ini. 
Berusaha menahan emosi, saya menghentakkan kaki saya di atas kap 
mobilnya. Itu masih termasuk menahan emosi, karena waktu itu jujur saja,
 saya ingin sekali menendang kaca mobilnya.
Singkat cerita, masalah itu 
diselesaikan oleh kakak dan ibu saya yang memang berada di dalam mobil. 
Bagian yang paling seru? Saya malah tidak boleh berbicara, tidak 
didengarkan, dan dilabel sebagai orang yang tidak bisa menahan emosi. 
Tidak boleh membela diri. Ini melanggar kebutuhan dasar manusia, karena 
setiap orang ingin didengar dan dimengerti.
Muantep!!!! Jujur, rasanya muanteppp buanget setelah mengalami semua itu!
Tidak
 terima dengan label sebagai orang yang pemarah, saya membuktikan diri. 
Sewaktu saya berkuliah di Singapore, saya hampir tidak pernah marah sama
 sekali. Saya menjadi sangat tenang.
Beberapa waktu kemudian, 
saya pulang ke kota saya. Di situ saya bertemu dengan seorang pastor. 
Saya lalu bertanya kenapa seseorang itu bisa marah. Beliau menjawab, "Sebenarnya emosi itu datang dari kesombongan".
Jawaban beliau yang singkat dan hanya 1 kalimat ini membuat saya berpikir sepanjang jalan.
Benar,
 ternyata kita marah karena kita merasa kita tidak pantas diperlakukan 
seperti itu. Kita tidak terima. Kita merasa kita lebih hebat, lebih 
kuat, lebih pintar, lebih terhormat, lebih tua dan segala lebih lainnya.
Kita merasa orang yang kita marahi ini tidak profesional, tidak pintar, tidak sabar, lebih kecil, lebih muda, tidak teliti, dll.
Kita
 merasa tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Seharusnya bisa lebih
 baik. Akhirnya kita emosi. Karena ada bibit kesombongan dan kurangnya 
kerendahan hati kita.
Dalam kunjungan saya ke Yogya,
 saya mendengar kisah bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono pernah naik sepeda
 ingin masuk ke gerbang kraton. Namun sang penjaga yang tidak mengenali 
Sang Sultan, dengan kasarnya mengusir beliau dan mengatakan bahwa beliau
 tidak boleh lewat. Sang Sultan dengan sabarnya beranjak pergi untuk 
lewat jalan lain. Akhirnya sang pengawal tau juga bahwa orang yang 
diusirnya adalah rajanya, setelah diberi tau oleh temannya.
Sang Sultan begitu rendah 
hati. Memang si penjaga hanya menjalankan tugas, namun bagaimana 
kira-kira perasaan sang penjaga karena telah mengusir rajanya?
Kesombongan adalah kunci dari emosi.
"Pak Ronald, bagaimana cara mengatasi emosi? Saya itu orangnya emosian".
 Ini salah satu pertanyaan yang paling sering ditujukan ke saya. Di 
dunia sekarang ini, begitu banyak emosi yang seliweran dan nyamber ke 
mana-mana.
Cara mengatasi emosi? Segera 
jauhi sumber emosi, tarik nafas yang dalam, angkat kepala anda, paksa 
diri anda untuk tersenyum, lalu ucapkan dengan tulus, "Oh yes.... Terima kasih, Ya Tuhan... terima kasih, Ya Allah...". Lakukan beberapa kali, dijamin langsung ampuh.
Bagaimana kalau setiap hari 
anda menemui sumber kemarahan yang selalu ada dan itu-itu saja? Caranya 
simpel, kalau anda tidak bisa mengubahnya, jauhi sumber kemarahan itu. 
Simpel, tapi berapa banyak orang yang mau melakukannya?   ^____^
Salam DAHSYAT!!!
Hendrik Ronald

Tidak ada komentar:
Posting Komentar