Sabtu, 25 Februari 2012

Alegori Gua

Oleh: Andre Vincent Wenas

“Imagine the condition of men living in a sort of cavernous chamber underground, with an entrance open to the light and long passage all down the cave. Here they have
been from childhood…”– Plato, dalam Republic/Politeia, buku VII.

***

     Orang yang sepanjang hayatnya tinggal dalam “kungkungan” paradigma atau “semacam kondisi gua” (yang melingkupi seumur hidupnya: seperti kebudayaan, adat-istiadat, tata-krama tertentu, ajaran-ajaran tentang kebenaran tertentu, konsep keindahan dan kecantikan tertentu, dan lain sebagainya) tentu meyakini bahwa kondisi keberadaannya yang sebegitulah yang ia ketahui/yakini sebagai kebenaran. Tentang dahsyatnya “belenggu” itu, Plato melanjutkan, “…chained by the leg and also by the neck, so that they cannot move and see only what is in front of them, because the chains will not let them turn their heads.” Lewat paradigma sebegitulah ia mengungkap atau menangkap realitas dunia.  Padahal menurut Plato, apa yang tampak ada di dunia ini hanyalah bayang-bayang (shadows) atau representasi dari realitas yang sesungguhnya di atas sana. Yang tampil hanyalah bayangan seperti di dalam pertunjukan wayang kulit, “…At some distance higher up
is the light of a fire burning behind them; and between the prisoners and the fire is a track with a parapet built along it, like the screen at a puppet-show, which hides the performers while they show their puppets over the top.” Untuk mengenal realitas yang sesungguhnya kita mesti memampukan diri untuk melihat (berpikir) menembus bayang-bayang (tanda-tanda, signs, simbol) dari yang tampak di permukaan.

***

      Dikabarkan jumlah orang kaya Indonesia telah bertambah 23,8%. Definisi orang kaya ini adalah nilai kekayaan bersihnya (net-worth), yaitu asset diluar rumah tinggal utama, barang koleksi, barang konsumsi dan barang-barang habis pakai. Pendeknya asset yang dapat diinvestasikan di atas US$ 1 juta. Jumlah high-net-worth-individual (HNWI) terbanyak masih dipegang Amerika Utara (3,4 juta orang), disusul Asia Pasifik (3,3 juta orang), Eropa (3,1 juta orang), dan paling bontot Amerika Latin dengan 500 ribu orang. Riset tahunan yang dilakukan Merill Lynch bersama Capgemini yang tertuang dalam laporannya 2011 World Wealth Report menggambarkan kondisi yang terjadi di tahun 2010 lalu.

     Lalu apa sih yang dilakukan oleh HNWI global ini dengan kekayaan bersihnya? …jawaban paling gampang tentu untuk belanja konsumsi atau diinvestasikan kembali. Namun ada tren baru yang menarik. Koran Kontan (25 Juni 2011) melaporkan, lantaran jenuh dengan bentuk investasi yang itu-itu saja, orang kaya dunia mencari bentuk investasi yang tidak biasa. Kini muncul tren berinvestasi di barang-barang mewah seperti jam tangan, benda seni, anggur (wine) yang langka dan mobil vintage. Benda-benda ini diyakininya punya nilai estetika dan emosional yang memiliki potensi pengembalian (return) besar, terutama jika dikomparasi dengan suku bunga rendah dan pasar saham yang fluktuatif.

     Katanya, investasi alternatif ini memungkinkan para investor mendiversivikasi asset tanpa terpengaruh kondisi labilitas pasar finansial global. Laporan Merill Lynch dan Capgemini itu juga menyebutkan bahwa sepertiga dari total investasi 2010 menggelontor ke barang mewah seri koleksi seperti mobil, kapal dan jet. Di China, demand untuk Mercedes Benz dan Ferrari meningkat pesat. Enaknya investasi di luxurious-collectible-items seperti ini adalah juga bisa sekaligus dikonsumsi langsung, walau memang yang dikonsumsi adalah bentuknya simbolik (tanda-tanda, signs, brands) dan pekat bernuansa emosional, prestise, dan gengsi.

     Pemujaan global terhadap idola-idola abad-21 (brands, merek, ikon-ikon selebritis, simbol, tanda-tanda, signs, dan yang sejenisnya) juga telah ikut mendefinisikan konsep nilai (atau yang lebih disederhanakan: konsep harga, price), dan pada gilirannya nanti justru konsep harga inilah yang bakal  menentukan apakah sesuatu itu bernilai. Simplifikasi bahwa realitas yang bernilai adalah sesuatu yang bisa diukur dengan price (harganya bakal naik atau bakal turun) telah menjadi kriteria utama masyarakat dunia abad-21.  Banal memang, tetapi begitulah sosialita abad-21 mendeskripsikan dirinya. Paradigma masyarakat pasar global abad-21 nampaknya sedang berarak pada satu idola (idol = berhala, ideologi) yaitu harga (uang). Proses monetisasi atau finansialisasi telah menjadi semacam gua yang melingkupi (mengungkungi) para penghuninya.

***

     Dulu kekayaan diukur dengan banyaknya ternak yang dimiliki, luasnya tanah yang dikuasai. Sekarang bentuk kekayaan telah disimbolisasi dengan mata uang, yang juga semakin abstrak. Dari koin dan lembar-lembar kertas (bank notes), menjadi kartu-plastik (debit-card, credit-card) dan akhirnya cuma dengan sederet kode PIN (lewat telebanking) yang merepresentasi jumlah uang (informasi, angka) tertentu di lokasi server bank tertentu.

     Di titik ini, sejenak kita  rehat untuk mengambil jarak terhadap hiruk-pikuk dinamika proses globalisasi untuk menerawang lebih jernih persoalan kefanaan dan kesejatian. Donny Gahral Adian (Matinya Realitas: Sebuah Obituari Politis atau Filosofis? 2004) menulis renungannya, “Manusia yang menyejarah adalah satu-satunya sosok yang sangat terganggu dengan kefanaan itu. Sebuah ironi menarik. Sosok yang sadar akan kefanaan sekaligus adalah ia yang gandrung akan kesejatian. Di tengah semesta yang fana dan asing, terlontarlah pertanyaan primal tersebut: apa itu realitas sejati? Dari situ, seluruh kerja kognitif manusia diarahkan untuk membongkar kefanaan dan memunculkan kesejatian. Sebuah proyek panjang dan melelahkan…”

     Melelahkan memang, namun selama kita masih jadi manusia (dan bukan cyborg, robot pintar tanpa hati) perjalanan panjang ini patut dikerjakan.

----------------------------------------------------------
Catatan:  Artikel ini sebelumnya telah dikontribusikan oleh Kontributor artikel ke Majalah MARKETING, edisi Juli 2011. Segala hal yang menyangkut sengketa Hak atas Kekakayaan Intelektual, menjadi tanggung jawab Kontributor-nya.

Senin, 20 Februari, 2012 15:08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar