Selasa, 21 Februari 2012

Antara Akun Anonim dan Anonimitas Kita (Pengantar Survey Anonimitas Pengguna Media Sosial)

Oleh:  Budi Setiawan

Akun anonim mendapat sorotan banyak pihak karena aksinya. Tapi tahukah anda bahwa  kita ketika online juga bisa dikatakan sebagai anonim? Simak….. 

Jadi gini ceritanya. Pada suatu hari, Pak @Nukman ngetweet bertanya siapa lulusan psikologi yang aktif di media sosial. Akibatnya, bertubi-tubi mention masuk ke aku. Ternyata beberapa orang menjawab pertanyaan itu dengan langsung mention ke aku. Ujungnya, Pak @Nukman ngetweet harapannya akan adanya riset lokal mengenai perilaku pengguna media sosial.

Nah aku jadi inget sahabatku @Airberbisik yang sempat sedikit bercerita tesisnya mengenai kehidupan online. Langsung aku membuka obrolan tentang riset psikologi media sosial. Ada beberapa kesimpulan menarik, (i) Dunia online/cyber belum banyak mendapat perhatian oleh psikologi Indonesia; (ii) Dia bersedia berbagi alat ukur yang digunakan dalam tesisnya.

Poin kedua itu sebuah keberuntungan bagi kita semua, aku terutama. Perlu diketahui @airberbisik itu mengambil S2 di Rusia dan lulus dengan capaian “distinction”, semacam Summa Cumlaude gitu (Belajar bahasa Rusia aja sudah gila….). Sekarang, sahabatku itu juga sudah diterima untuk melanjutkan S3 di Rusia. Jadi kualitas alat ukurnya tidak perlu diragukan. Ketika aku baca pun memang bagus alat ukurnya. Alat ukur itu berbentuk skala sikap, namanya Skala Anonimitas. Skala ini awalnya disusun oleh Haejin Yun, yang telah direvisi oleh @Airberbisik.

Pas kebetulan beberapa hari kemudian, pengguna twitter dan media sosial lainnya ramai tentang akun anonim. Jadi momennya bisa pas sekali, yah agak mepet sih sebenarnya hehehe

Relasi antara dua orang yang baru dikenal itu adalah relasi antara dua orang yang anonim. Bahkan, itu juga terjadi antara ibu dengan bayi yang baru dilahirkannya. Setiap pihak berusaha mengetahui identitas pihak lain sembari membuka identitas dirinya untuk diketahui oleh pihak lain. Semakin lama dan mendalam suatu relasi maka semakin para pihak bisa saling mengetahui dan juga memahami.

Ketika di offline, proses relasi ini berlangsung secara kompleks. Kita tidak sepenuhnya bisa mengatur informasi tentang jati diri kita yang perlu kita tampilkan pada pihak lain. Misal, kita bisa saja mengatakan sudah berusaha belajar agar dikenal sebagai “mahasiswa rajin”. Tapi orang lain bisa memperhatikan perilaku kita dan mengambil kesimpulan yang berbeda seperti “mahasiswa malas”. Kesimpulan ini seringkali tidak dikemukakan sehingga menjadi prejudice atau bahkan membentuk stereotipe seseorang.

Internet dan terutama media sosial adalah media komunikasi yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan dunia offline. Pengguna punya kemampuan yang lebih besar untuk mengelola informasi mengenai identitas dirinya. Pengguna relatif lebih bebas untuk menentukan username (nama pengguna), avatar, dan identitas lainnya. Seringkali pengguna menseleksi identitas diri yang ditampilkan sesui dengan konteks komunikasi di  dunia online.

Orang lain pun relatif terbatas untuk mengakses informasi lain mengenai identitas kita. Semisal, orang lain tidak bisa tahu kita ngetweet sambil ngupil, kecuali kita ngetweet “<— lagi ngupil”. Jadi orang lain tahu kita ngupil bila kita memberi informasi itu secara sadar maupun tidak sadar. hehehe

Karakteristik media sosial tersebut membuat pengguna bisa membebaskan diri dari prejudice dan stereotipe yang berlaku di dunia offline. Kita relatif bisa menghindari  tumpukan penilaian sebelumnya yang mempengaruhi penilaian orang lain terhadap diri kita. Semisal: Ketika mengemukakan ide beda, aku sering mendapat komentar “bukik mesti aneh-aneh” dari lingkungan offlineku. Tapi ketika di twitter, aku lebih sering mendapat respon “wah bukik kreatif”. Aneh dan kreatif mungkin tipis bedanya, tapi besar banget dampaknya *curcol

Sesungguhnya media sosial adalah laboratorium yang aman untuk menampilkan “persona” ataupun ide baru tanpa perlu khawatir ditolak sebagaimana di dunia offline.

Faktanya, seterbuka apapun di media sosial, identitas kita tidak sepenuhnya dikenal. Kita anonim pada derajat tertentu. Menariknya, tingkat anonimitas ini merupakan faktor yang berpengaruh pada dinamika perilaku kita di media sosial.

Apa itu anonimitas (anonymity)? Anonimitas adalah nama band kurangnya informasi mengenai identitas diri yang memungkinkan pelaku komunikasi saling mengenali. Semakin tinggi anonimitas berarti semakin seorang pelaku tidak bisa mengenali identitas diri pelaku lain dan juga sebaliknya. Anonim itu ibarat berkomunikasi dengan orang di ruangan yang gelap, kita bisa tahu kehadiran seseorang tapi kita tidak bisa mengetahu siapa orang itu.

Anonimitas itu mempunyai dua dimensi: anonimitas diri dan anonimitas orang lain. Anonimitas diri berarti seberapa jauh kita merasa tidak dikenali oleh orang lain dalan suatu relasi komunikasi. Anonimitas orang lain berarti seberapa jauh kita merasa tidak mengenali orang lain dalam suatu relasi komunikasi.  Variasi tingkat anonimitas diri, anonimitas orang lain dan anonimitas total akan menentukan bagaimana seseorang berinteraksi dalam media sosial.

Karena itulah, aku dan @Airberbisik bersepakat untuk melakukan riset mengenai anonimitas pengguna media sosial di Indonesia. Untuk apa kami melakukan riset ini? Karena kami sama-sama menggunakan nama akun pseudonym. Agar kita semua bisa memahami perilaku pengguna media sosial melalui sebuah riset. Hasil riset ini akan ditampilkan baik di Bukik.com maupun di Ardinov.com, blognya@Airberbisik secara terbuka dan bebas.

Jadi karena manfaatnya buat kita semua, bantu isi dan sebarkan survey “Anonimitas Pengguna Media Sosial Indonesia” ya. Silahkan klik di https://www.surveymonkey.com/s/anonimitas 

Terima kasih!
 
Kamis, 9 Februari, 2012 00:16

1 komentar:

  1. bisakah saya meminta alat ukur dan teori anonimitas?
    terimakasih :)

    BalasHapus