Selasa, 21 Februari 2012

Ideologi Pertumbuhan Global?

Oleh: Andre Vincent Wenas

"It is necessary that at least once in your life you doubt, as far as possible, all things." - Rene Descartes

***

     Beberapa kejadian di mancanegara akhir-akhir ini. Jerry Yang pendiri Yahoo! Mengundurkan diri dari posisinya di jajaran direksi Yahoo, Alibaba,  dan Yahoo Japan. Sebelumnya Carol Bartz yang tidak rukun dengan Jack Ma (bos besar Alibaba Group) juga mundur dari jabatannya sebaga CEO  Yahoo! Inc. Musabab mundurnya Jerry Yang adalah lantaran ia dianggap gagal menjual saham Yahoo Asia. Dengan mundurnya Jerry maka Scott Thompson, CEO baru Yahoo, dianggap oleh Clayton Moran (analis Benchmark Co.), bakal bisa membuat formulasi strategi bisnis global yang ampuh demi mengungguli Google Inc dan Facebook Inc di sektor periklanan online. Caranya, dengan memuluskan rencana penjualanYahoo di Asia senilai US$10 miliar, dan sekaligus melepaskan kemitraannya dengan Alibaba Group Holding Ltd dan Yahoo Japan Corp. Begitulah fenomena mutakhir di sektor bisnis arus informasi dunia.

     Di sektor perbankan global (sektor bisnis arus uang), JP Morgan membukukan laba tahun 2011 dengan anjlok 23% dibanding tahun sebelumnya (dari net-profit sebesar US$4,83 miliar jadi 'cuma' US$3,72 miliar). Ini karena pendapatan JP Morgan tergerus 18% jadi US$21,5 miliar. Nasib Citigroup mirip, dengan laba terpangkas 11% (jadi 'cuma' US$1,17 miliar) karena pendapatannya tererosi sebesar 7% menjadi US$17,2 miliar. Goldman Sachs pun diduga juga bakal menderita penurunan pendapatan. Gejala penurunan ini disinyalir akibat krisis utang Eropa yang telah mempengaruhi perdagangan dan aksi korporasi dunia. Yang menarik, di tengah gerusan income yang dialami bank-bank raksasa itu, Wells Fargo, yang juga mengalami penurunan pendapatan dari US$21,5 miliar menjadi US$20,6 miliar, namun toh ia tetap berhasil menumbuhkan net-profit-nya sebesar 30% (dari sebelumnya US$11,6 miliar menjadi sebesar US$15 miliar!). Menurut pengakuan John Stumpf, CEO Wells Fargo,
perusahaannya telah menguras begitu banyak energi demi mempertahankan pendapatan sembari terus menjaga prinsip kehati-hatian dunia perbankan, dan ia pun,  "...tetap puas dengan kinerja 2011," pungkasnya.

     Satu lagi fenomena bisnis global yang menarik. Menyikapi persaingan ketatnya dengan Boeing yang berbasis di Illinois, Amerika Serikat, maka Airbus SAS yang asal Eropa telah memproyeksikan bakal menurunnya permintaan pesawat produksinya sebanyak 50% di tahun 2012 ini. Ironisnya, prediksi pesimistik ini dilansir justru setelah tahun lalu Airbus SAS menjuarai pasar produksi pesawat dengan1.419 order. Tahun ini Airbus SAS cuma meramal sekitar 600 - 650 order pesawat.

***

     Di Indonesia, diskursus tentang pertumbuhan ekonomi makro-mikro juga centang-perenang, sulit dibaca arahnya mau kemana, bahkan cenderung cuma sekedar hiruk-pikuk pasar pagi yang penuh tawar menawar dagang sapi, memekakkan telinga. Yang menonjol misalnya soal paradoks perekonomian nasional seperti yang diungkap lugas oleh Prof. Ahmad Erani Yustika (Kompas, 18 Jan 2012), dimana ekonomi Indonesia kerap memperoleh pujian dari luar negeri dan lembaga internasional sehingga membuat pengelola ekonomi kabinet SBY jadi bangga sendiri, tapi ironisnya 'prestasi' ini tidak mendapat tepuk tangan dari publik dalam negeri. Apa pasal? Ternyata berkait dengan pelbagai indikator yang dipakai untuk mendefinisikan kemakmuran dan keberhasilan kinerja ekonomi. Di satu sisi rakyat mengukurnya dari harga pangan pokok, kesempatan pendidikan, keterjangkauan kesehatan, akses transportasi, lapangan kerja, jaminan keamanan hidup, dll. Sementara di sisi lain, pemerintah
malah membanggakan: pertumbuhan ekonomi sektor jasa, gemuruh investasi asing, kepercayaan asing atas SUN (surat utang negara), rasio utang terhadap PDB (meski APBN sendiri kelimpungan!), dll. Jadi inti soalnya, kebanggaan pemerintah tidak ada tali relevansinya dengan aspirasi rakyat. Lantaran bagi rakyat, yang de facto dirasakan adalah: selama periode 2005 - 2010 kenaikan harga beras sudah mencapai 120%, kedelai naik 85%, telur naik 100%, daging naik 90%. Inilah yang menyesakkan dada kalangan bawah. Sementara kalangan menengah atas tentu enjoy saja karena bisa memiliki kekayaan sekitar Rp.750 triliun, atau berkisar 10,3% dari PDB. Dan percepatan penambahan kekayaan kelas ini sekitar 20% setahun. Sehingga pertanyaan eksistensialnya menjadi, mau kemana perekonomian Indonesia?

***

     Di persimpangan ini sejenak kita berhenti untuk merenung dan bertanya dengan penuh keraguan, jangan-jangan yang namanya pertumbuhan itu sendiri telah menjadi sesuatu yang ideologis. Artinya, yang jadi penting adalah pertumbuhan demi pertumbuhan itu sendiri  (atau pembangunan demi pembangunan itu sendiri). Pokoknya jadi lebih besar dibanding kemarin, lebih banyak, lebih tinggi, dan seterusnya. Apakah betul pembangunan (ekonomi-bisnis) itu sekedar pertumbuhan yang dicerminkan lewat pelbagai indikator angka-angka yang semakin membesar?

     Perspektif pemberantasan kemiskinan, sebagai tujuan pembangunan, seyogianya adalah dalam kerangka perluasan lingkup kebebasan (freedom). Karena seperti dikatakan Anthony Giddens, kemiskinan telah menimbulkan semacam mekanisme peminggiran. Dipinggirkan untuk kemudian jatuh dalam jurang keterbelengguan. Maka, daya kritis demi mempersoalkan asumsi-asumsi ideologis tetaplah imperatif.

----------------------------------------------------------
Artikel ini pernah dikontribusikan di Majalah MARKETING, edisi Februari 2012 oleh Kontributor. Segala hal yang terjadi menyangkut sengketa atas hak kekayaan intelektual menjadi tanggung jawab kontributor milis/blog TMI

Selasa, 7 Februari, 2012 07:04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar