Oleh: Budi Setiawan
Sujiwo  Tejo, seorang dalang, yang menjalankan laku Semar, meski seringkali  dimaknai ngawur oleh banyak orang. Simak kisah ngawurnya…
Pada  suatu ketika, aku menyaksikan lagu “Titi Kala Mangsa”, merinding  rasanya. Ada nestapa, titik nol, sekaligus optimisme akan hari esok yang  lebih baik. Suasana di titik akhir derita, lagu ini menerbitkan sebuah  asa untuk tetap bertahan dan berjuang demi kehidupan. Bukan optimisme  berkobar ala motivator. Tapi sebuah optimisme yang lahir dari kesabaran  aktif untuk menanti datangnya waktu. Segelap-gelapnya malam, akan datang  juga terbit matahari pencerahan.  Dari lagu itu, aku kemudian kenal  dengan sesosok bernama Sujiwo Tejo. Lagu wajib yang kudengarkan ketika  semua jalan terasa pekatnya gelap.
Lama tak bersua, aku menemuinya kembali di Twitter. Aku menemui dan mengenal pribadi Sujiwo Tejolebih  lengkap di Twitter. Aku jadi tahu  celotehannya, kesukaannya, umpatannya, mengalir begitu saja. Apa  adanya. Aku menyukai setidaknya dua hal dari linimasanya: Jancuk dan  Senja.
Sebagian  besar orang pasti merasa risih bila mengikuti linimasa @SujiwoTedjo  yang banyak diwarnai dengan “Jancuk”. Jancuk diasosiasikan sebagai hal  jorok, vulgar dan tidak pantas. Tapi Sujiwo Tejo berbeda pandangan.  Jancuk merupakan penegas emosional. Jorok atau tidaknya sangat  tergantung pada konteks komunikasinya.
Tapi  mengapa Sujiwo Tejo begitu peduli dan menggalakkan gerakan “jancuk”?  Nah ini yang menarik. Baginya, bangsa ini telah terjebak dalam  kemunafikan tingkat kronis. Bangsa yang lebih mengedepankan sopan santun  meski secara subtansi justru kosong atau malah keji. Perhatikan salah  satu tweetnya yang kuambil dari sini :
Munafik! Munafik! Munafik! Lbh baik ngomong #JANCUK tp gak korupsi dari pada soooooopan tapi korupsi,taaaaiiiik! Munafik!!! Jancuk bangsa ini
#jancuk adalah ktika teroris diburu Densus 88 dan britanya digede2in tp koruptor yg jauh lebih sadis dr teroris ndak diDor!!!
Cara  pandangnya  memang unik. Sujiwo Tejo seolah mengajak orang untuk tidak berhenti  pada apa yang terlihat, tapi masuk lebih dalam untuk mengenal subtansi  suatu perkara.
Senja  adalah topik pilihan Sujiwo Tejo untuk mengajak orang mengabadikan  keindahan senja di seluruh penjuru nusantara. Banyak followernya,  termasuk aku, memention tweet dan foto senja ke @SujiwoTejo. Mau melihat  keindahannya? Klik saja di sini. Ditengah ketegasannya dalam jancuk, ada sisi feminin senja dalam diri Sujiwo Tejo hehehehe
Ingin tahu lebih  jauh perjalanan hidup Sujiwo Tejo? Simak……
Tentang Identitas Diri
Aku  Agus Hadisujiwo. Teman-temanku di SD sampai SMA  memanggilku Agus. Lengkapnya Agus Bulek. Bulek dalam bahasa Madura  berarti Belok. Mungkin karena mataku belok. Kalau di rumah, keluarga  memanggilku Adi, dari Hadi.
Tentang Pengalaman yang Menggetarkan
Ketika  saya melawan ayah. Saat itu aku tidak boleh mendengarkan musik-musik  lain kecuali gamelan. Itu aku kelas tiga SMA. Aku ambil pisau. Untuk  ditahan oleh ibu. Ibu menangis. Tapi akhirnya ketika sudah jauh, sudah  di Bandung, suatu malam aku mendengar gamelan dari radio di daerah  Kiaracondong, hatiku mengakui bahwa gamelan itu indah. Gamelan itu  kelihatan sederhana, gampang, namun sangat rumit. Saya nangis, kangen  Ayah, diam-diam saya putuskan untuk melanjutkan karir beliau sebagai  dalang.
Tejo  itu bukan nama saya. Tejo nama bapakku. Sejak itu aku pakai nama Tejo,  dan teman-teman di kampus pelan bertahap mulai memanggilku Tejo. Aku pun  masuk ke Persatuan Seni Tari dan Karawitan Jawa (PSTK ITB) malah  kemudian menjadi ketua bidang pedalangan di unit kegiatan kampus itu.
Semua  pengalaman bersama ibu itu menggetarkan hati. Setiap aku pergi dari  rumah, aku selalu sujud di pintu keluar membujur utara-selatan dan ibu  melangkahiku tiga kali. Adegan ini pernah aku pakai ketika menyutradarai  film “Bahwa Cinta Itu Ada” tahun 2009. Pelakonnya Aryo Wahab dan Niniek  L. Karim. Produser dan teman-teman  tanya, itu tradisi dari mana…aku jawab “nggak tahu…pokoknya dulu aku  seperti itu…”
Meski  semua menggetarkan bersama ibu, tapi mungkin yang paling menggetarkan  adalah ketika aku putuskan meninggalkan ITB. Ibuku pingsan ketika itu.  Tapi aku menghibur diri. Tak apa-apa, toh dulu di wayang Dewi Kunti juga  pingsan ketika anaknya, Bima, kuku pada pendiriannya yang berbeda  dengan pendirian ibu. Waktu itu Bima bersikukuh mau mencebur laut  selatan untuk meniti cita-citanya. Kunti tidak setuju. Dengan  meninggalkan ITB, aku kan juga ingin meniti karir kesenian.
Tentang Kejadian yang Mengubah Diri
Dulu  aku suka komik-komik silat, termasuk karya-karya asmaraman Kho Ping  Hoo. Serial film Bruce Lee termasuk yang aku ikuti. Nah, cita-citaku  jadi pendekar. Saya sering pakai caping tapi sepatu bigboss  ala Bruce Lee, meniup seruling bambu duduk di pantai. Itu di Situbondo,  kota kecil di Jatim.
Menginjak  SMA saya mulai membaca buku-buku politik. Kamar saya ada poster Bung  Karno. Saya bersepeda pancal dari Situbondo ke Blitar, berdua dengan  teman, untuk berziarah ke makam Soekarno. Dua hari dua malam perjalanan.
Cita-cita  jadi pendekar saya lupakan. Yang ada saat itu cita-cita menjadi  politisi. Masuklah saya ke ITB. Karena Soekarno berasal dari situ,  dan mahasiswa ITB dikenal suka politik, suka demo. Hehehe….
Eh,  ketika di Bandung ternyata teman-teman saya lebih banyak dari kalangan  seniman…Di kampus itu tahun 1983 saya malah mendirikan Unit Ludruk ITB.  Jiwa dalang saya yang sudah muncul sejak kanak-kanak, karena ayah saya  memang dalang, tiba-tiba muncul lagi justru di tanah Sunda.
Keluar dari ITB ditolak oleh Srimulat dan diterima jadi wartawan Kompas, makin membuat pergaulanku erat sama  seniman-seniman seperti Rendra, Teguh Karya dan lain-lain. Jadilah aku ya ndak karu-karuan seperti sekarang ini. Hehehehe….
Tentang yang Dihargai
Dari diri sendiri aku nggak tahu  harus menghargai apa…Mungkin kegelisahan. Saya orangnya selalu gelisah.  Bukan galau ya. Gelisah adalah dasar pijakan berkreasi. Galau cuma dasar  pijakan buat bingung.
Dari keluarga, istri dan anak-anak, aku mendapatkan kemerdekaan.
Dari orang lain akan banyak mendapat pertolongan yang aku tak bisa duga …
Dari  Indonesia …hmmm…nggak tahu apa…Mungkin problem ya…ketidakpastian  hukum…ketidakadilan…kemunafikan…semuanya justru menjadi pemicuku untuk  bikin musik, puisi, melukis…dan lain-lain…Kalau Indonesia baik-baik  saja…mungkin saya justru tidak bergairah buat berkarya….termasuk buat  apa aku bikinSujiwotejo.com segala… 
Tentang Simbol Diri
Lukisan itu benar-benar lukisan.  Saya lukis sendiri. Oil on Canvas 85 x 115 cm. Hitam putih. Ada sosok  Semar secara abstrak, berdiri di antara gereja, kuil, candi, mesjid dan  pura. Judul lukisan itu Pangeling-Eling Semar to Pamong Nagari. Saya buat tahun 2007.
Saya  bayangkan secara Ge Er, Semar itulah saya. Berdiri di pelataran  agama-agama resmi Negeri ini, termasuk “agama-agama” yang cuma diakui  sebagai keyakinan.
Bayangan  saya, kelak manusia Nusantara semakin beragama secara inti, bukan  beragama kulit-kulitnya saja. Ketika semua orang beragama  secara inti, bukan untuk jualan partai dan dagangan-dagangan lain,  semua agama itu bertemu di satu titik menyongsong kejayaan Nusantara.  Ini seperti pernah diramalkan Jayabaya dalam tulisan Ronggowarsito,  melalui simbol kembali munculnya Sabdo Palon-Noyo Genggong bersamaan  ramalah kiamat Suku Maya. Kiamat itu kan sebenarnya justru berarti Hari  Kebangkitan.
Soal  Sabdo Palon-Noyo Genggong yang aku plesetin jadi Sabda Polan-Naya  Gonggong itu aku tulis secara serial di blog Beritasatu.com
Tentang Imajinasi Indonesia 2030
Semakin banyak terdengar perempuan cekikikan. Semakin banyak terlihat  perempuan tersenyum. Parfum tak lagi laku, karena bau badan justru lebih ekstotis ketika itu.
Orang-orang  menjalani hidup dengan berbagi senyum. Tidak ada lagi perempuan yang  cuma tersenyum pada layar monitor HP-nya. Setiap kali mereka tersenyum  pada monitor HPnya, mereka langsung membagi senyumnya pula kepada  orang-orang di sekitar.
Berdehem…ehm ehm ehm….  Itulah yang saya lakukan untuk mewujudkan bayangan Indonesia 2030
Tentang Judul Biografi
“Raja Ngawur Karena Benar”
Tentang Hal Konyol
Ketika  iseng-iseng ikut tes masuk ITB. Itu tahun 1980. Eh diterima di Jurusan  Matematika. Lalu tahun berikutnya nyoba lagi, Eh diterima lagi di  Jurusan Teknik Sipil. Jadi aku kuliah di dua jurusan. Tapi dua-duanya  saya tinggalkan karena bosan. Mungkin karena faktanya lalu lebih banyak  temanku yang seniman di Badung. Pergaulanku dengan banyak kalangan  sastrawan dan pemain teater maupun pelukis di Kota Kembang itu. Jadi  penyiar  radio juga, acara sastra. ITB aku tinggal, terus pergi ke warung Asmuni  di Slipi Jakarta. Markas Srimulat. Itu penghujung 80-an. Saya melamar  jadi pemain Srimulat. Eh, ndak diterima.
Tentang Arti Kematian
Aku udah lama  nggak ngucapin “turut berduka cita” pada kematian sahabat atau siapapun.  Yang aku sampaikan biasanya “selamat jalan…sampai jumpa” termasuk pada  meninggalnya Franky Sahilatua, pelawak Aom Kusman, Uta Likumahua. Buat  apa kematian didukacitai. Kematian justru kebahagiaan menuju alam hidup  yang sebenarnya. Tapi langkah ini sering menimbulkan selisih pendapat.  Misal waktu wafatnya istri Saiful Jamil saya diomelin oleh banyak orang  kok ngucapin “turut berduka cita.”
Lho,  aku bilang, kematian itu agung. Lihatlah suku-suku yang masih terlihat  asli di kita. Di sana kematian dirayakan. Di Bali, di tanah Batak,  Toraja…di pedalaman Jawa. Tradisi pakai baju hitam-hitam saat kematian  itu kan dari Eropa. Asli kita nggak seperti itu. Busananya malah  warna-warni. Kematian itu merupakan sesuatu yang gak harus ditangisi.
Seniorku  dalang Ki Gondo Darman di Sragen waktu mati, seperti wasiatnya,  diantarkan dari rumah ke kuburan dengan kaset lawakan pelawak legendaris  Alm Basiyo. Kenapa, ya karena kematian memang nggak perlu ditangisi.
Terus  ada yang protes, “Ucapan duka cita itu bukan untuk yang meninggal, tapi  untuk yang ditinggalkan…” Lho, justru yang ditinggalkan harus dididik  pelan-pelan untuk tidak mendukacitai mati. Agar semua orang nanti tidak  mendewa-dewakan kehidupan di dunia. Menangisi kematian berarti  mendewakan kehidupan dunia. Ini justru gawat. Makanya korupsi  merajalela.
Setiap  saat setiap orang harus saling diingatkan bahwa kematian itu agung.  Kematian, kelahiran dan jodoh, adalah tiga pasangan abadi yang  sudah digariskan. Makanya ketika tahun 90an saya jadi wartawan, tak  pernah sekalipun saya menulis “si A meninggal karena serangan jantung,  kecelakaan atau apa…” saya selalu menulis “si A meninggal setelah  serangan jantung, setelah kecelakaan”…Bukan KARENA….Karena kematian,  sebagaimana jodoh dan kelahiran, adalah urusan Tuhan.
___________________________________________
Dari kisah Sujiwo Tejo,  aku belajar untuk tidak menerima begitu saja apa yang diyakini secara  umum. Pandangan banyak orang belum tentu benar. Aku jadi lebih kritis  dan melihat dari sisi yang berbeda. Karena bila pandangan umum itu sudah  benar, kehidupan tak perlu ada lagi kan. Tapi karena belum tentu benar,  tugas kita lah untuk bersikap kritis dan menciptakan pandangan baru  yang lebih baik bagi kehidupan.
Apa inspirasi yang anda dapatkan dari kisah Sujiwo Tejo? 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar