Oleh:  Febriyan Lukito
"KESEEELLL... Kesel... Kesel... Kesellllll" seorang pria muda sekitar 26  tahunan teriak di sela-sela acara hang out dengan teman-temannya. 
'Kenapa loe? Tau-tau teriak kayak orang gila. Ada masalah?' Tanya seorang gadis di sampingnya yang merupakan sahabat karibnya. 
'Iye. Kesel gw ma bos gw. Gw kerjain ini.... Salah. Gw kerjain itu...  Salah. Maunya apa sih tuh bos! Pake cara gw sendiri salah. Pake cara dia  juga masih aja salah. Capek! Pengen marah!' Jawab pria tadi. Sang gadis  tersenyum mendengar ungkapan temannya itu. 
'Coba ya bayangkan.... Dia minta gw siapin laporan bulanan dengan grafik  perkembangan masing-masing bagian. Detail. Gw buatlah itu laporan. Pas  gw kasih, dia bilang - grafiknya pake grafik batang 3D. Jangan kayak  gini. Terus penjelasan grafiknya juga singkat aja. Rubahlah laporan gw.'
'Sudah gitu.. Setelah gw rubah seperti yang dia mau, gw baliklah ke dia  lagi. Ajuin lagi. Eh.... Direvisi lagi. Katanya siapin juga detail  biaya-biayanya. Dan grafiknya. CPD....' Lanjut pria tadi. 
Semua teman-temannya mendengarkan dengan seksama. Termasuk si gadis. 'BT  ga sih loe kalo digituin. Sialnya lagi, gw harus selesaiin sebelum jam  4. Gila. Pas jam 4 gw kasih, eh dia bilang, gpp besok aja. Sial tuh  orang.... Gimana kalau loe jadi gw.'
Segera setelah pria itu menyelesaikan ceritanya dengan 'gimana kalau loe  jadi gw' teman-temannya yang tadi hanya diam mendengarkan mulai riuh  mengemukakan pendapatnya masing-masing bahkan ada yang curhat. 
'Pantes kok. Mang tu bos loe ga mikir kali ya. Masa sih gitu banget. Keterlaluan.' Salah seorang menjawab. 
'Iya... Bener tuh kata dia. Jangan mentang-mentang bos, dia bisa  seenaknya kayak gitu. Masih mending lo marah-marah doang. Kalo gw sudah  gw bentak balik kali.' Sambung yang lainnya. 
'Iye.. Setujuh gw ma ni anak satu. Tumben lo pinter coy. Gw juga sering  kok digituin ma bos gw. Kalo gw rasa ya... Sudah kesepakatan tu.. Semua  bos kalo punye anak bueh harus digituin... ' 
Semua menyambung satu per satu perkataan sehingga membentuk pulau - eh  salah - membentuk opini seragam bahwa bos itu selalu seperti itu.  Arogan. Sukanya nyuruh-nyuruh ga jelas and suka marah-marah. Jadi mau  bener atau salah tetep aja dimarahin. 
Tapi entah kenapa si gadis hanya diam. Dia tersenyum namun tak berkata  apa-apa. Hal ini tentu saja membuat si pria tadi bingung. Sebagai  sahabatnya, tentunya dia mengharapkan si gadis mendukungnya seperti  teman-teman yang lainnya. 
Karena itu, dia pun menanyakannya. 'Hei, kenapa kamu diam aja?'
Si gadis masih tersenyum. Semua teman sekarang menatapnya dan menunggu  jawabannya. Si gadis menarik nafas dalam-dalam dan mulai berucap. 
'Saya mengerti kok apa yang kamu and yang lainnya rasakan.  Saya juga  seorang bawahan kan. Jadi tau kok rasanya punya bos seperti apa.' 
'Saya pernah berasa dikerjain habis-habisan oleh bos saya sebelumnya.  Dia sepertinya memang ingin melakukan segala cara untuk mengerjai saya.  Sejak jam kantor dimulai hingga jam pulang. Bahkan saat overtime.'
'Mulai dari urusan kecil hingga laporan urgent yang ujung-ujungnya tidak  digunakan pula. Ditambah lagi, dia suka marah-marah di hadapan semua  karyawan lainnya. Perasaan saya ga jauh beda dengan perasaan kalian kok.  Jengkel. Marah. Pengen banting bos itu malah kalau bisa.' 
'Iya kan... Bos mang seperti itu tuh.... ' Timpal salah seorang kawan. Si gadis hanya tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya. 
'Iya. Beberapa bos memang tipikal seperti itu. Tapi ada juga yang tidak.  Dan ternyata, bosku itu tidak seperti itu. Dia lakukan semua dengan  satu tujuan yang aku ketahui belakangan.'
'Apa itu?' Tanya seorang pria di ujung. 
'Sebentar... Biar saya lanjutkan dulu. Nanti juga akan tahu tujuannya.  Jadi.. Dulu aku pun mencak-mencak. Dan mengerjakan apa yang dimintanya  dengan ngegerutu. Dongkol di dalam hati. Semakin lama semakin dongkol  karena salah-salah terus. And akhirnya pekerjaanku jadi semakin lama  lagi selesainya. Bos makin marah lagi.'
'Sampai suatu hari, seorang kawan lama yang aku ceritakan berkata  padaku: 'coba deh. Marahnya dilepaskan. Dongkolnya jangan dibawa pas  kerja. Kamu boleh marah ma atasan kamu. Tapi jangan lampiaskan ke kerja.  Kalau memang atasan salah, kamu berhak kok mengingatkan. Jadi kalau  kamu merasa atasan ga tepat marah-marahnya, ya diajak bicara aja  atasanmu. Tapi.. Ingat. Jangan marah-marah ke kerjaan. Kerjaan kamu ga  akan beres kalau sudah seperti itu.' Dan aku pikir-pikir semakin lama  makin masuk akal. Kerjaanku makin banyak salah bukan karena atasanku.  Tapi karena aku yang dongkol and jadi ngerjainnya buru-buru and ga  teliti.'
'Tapi... Kamu dongkolkan karena atasanmu itu. Jadi ya salah dia dong.'
Si gadis tersenyum dan menjawab, 'atasanku memang membuat aku dongkol.  Tapi yang seharusnya aku lakukan kan lampiaskan dongkolnya ke dia. Bukan  ke kerjaanku. Itulah. Sejak temanku itu berkata seperti itu, aku mulai  memahami dan sedikit demi sedikit berubah. Aku kurangi dongkolku ke  kerjaan. And semakin lama semakin lancar. Dan... Suatu hari aku  menghadap atasanku. Karena aku merasa dia tidak fair dalam memarahiku  terus-terusan, bahkan di saat aku tak salah.'
'Dan... Saat itulah aku belajar. Bosku sebenarnya bukan marah-marah ke  aku. Tapi dengan caranya dia mendidikku untuk berpikir one step ahead.  Rather than just do my work, I have to do my work with user's  perspective. Aku harusnya sudah bisa menyiapkan pekerjaan-pekerjaan yang  diminta dari kacamata si pengguna. Selain itu, dia mengajarkanku untuk  manage waktuku dengan baik. Mana yang urgent. Mana yang tidak. Satu  kesalahan dia, dan dia mengakuinya saat aku confront dirinya, adalah,  dia tidak mengkomunikasikannya dengan cara yang baik.'
'Aku pun berpikir ulang mengenai semua yang telah terjadi. Dan aku sadar  bahwa setelah beberapa waktu, aku memang bekerja dengan lebih baik.  Mulai menyiapkan laporan dengan lebih baik - mudah dimengerti dan juga  waktuku dalam bekerja jauh lebih efektif. Semua bisa kuselesaikan dalam  waktu yang singkat.' 
'Atasanku juga berkata bahwa selama ini, dia melihatku berpotensi. Namun  terkurung dalam pikiranku sendiri. Bahwa diriku tidaklah capable.  Karena itu dia melakukan itu semua. Dan dia ingin mempersiapkanku  menjadi asistennya. Dia memintaa maaf padaku atas perlakuannya selama  ini, tapi saat itu aku sudah benar-benar lupa karena aku kini melihat  sisi lain dari kejadian-kejadian sebelumnya. Bahwa ada sisi bagus yang  aku dapatkan.'
'Memang... Kita berhak untuk marah, jengkel, dll. Tapi... Saat kita  marah, kita biasanya menjadi bias. Ga marah aja sih. Saat sedih,  bingung, emosi mengambil alih dan menutup pandangan kita. Aku beruntung  punya teman yang mengingatkanku itu. Dan akhirnya aku paham. Marah dari  sisiku karena aku tidak mengetahui kenapa atasanku melakukannya. Apakah  memang karena aku tidak mampu sehingga pantas dimarahi? Atau ada maksud  lain?'
'Saat kita tak mampu pun, aku setuju kalau kita tetap tak pantas  diperlakukan tidak baik. Tapi.... Apakah kita pernah membicarakannya?  Ataukah kita hanya menyimpannya dan menggerutu di belakangnya tanpa  pernah menyampaikannya? Mungkin atasan saat itu pun sedang emosi.  Sama-sama mengingatkan.'
'Satu yang aku pelajari adalah... Penting sekali berkomunikasi. Tapi  komunikasi tanpa emosi. Jadi... Marah itu wajar kok. You have the right  to be ANGRY. Tapi... Jangan biarkan emosinya mengalahkan akal kita.  Berkomunikasi dengan akal sehat akan jauh bermanfaat. Atasan kan juga  manusia - bisa saja khilaf.' 
Semua yang mendengar tertegun. Sepertinya semua mulai memahami.... Selama ini... Emosi menguasai. 
----------------------------------------------------------
Di atas hanya merupakan sebuah kisah yang dapat ditarik kesimpulan sesuka hati Anda semua. 
Boleh setuju boleh juga tidak. Sangat welcome bila ada pendapat lain dan bisa diskusi. 
Sebagai penutup saya ingin share a quote:
'For every minute you are angry you lose sixty seconds of happiness. -Ralph Waldo Emerson'
So.... Why are we ANGRY?
Ryan
310112 0800
Best Regards,
Febriyan Lukito
Selasa, 31 Januari, 2012 18:47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar