Akun  anonim mendapat sorotan banyak pihak karena aksinya. Tapi tahukah anda  bahwa  kita ketika online juga bisa dikatakan sebagai anonim? Simak….. 
Jadi  gini ceritanya. Pada suatu hari, Pak @Nukman ngetweet bertanya siapa  lulusan psikologi yang aktif di media sosial. Akibatnya,  bertubi-tubi mention masuk ke aku. Ternyata beberapa orang menjawab  pertanyaan itu dengan langsung mention ke aku. Ujungnya, Pak @Nukman  ngetweet harapannya akan adanya riset lokal mengenai perilaku pengguna  media sosial.
Nah aku jadi inget sahabatku @Airberbisik yang  sempat sedikit bercerita tesisnya mengenai kehidupan online. Langsung  aku membuka obrolan tentang riset psikologi media sosial. Ada beberapa  kesimpulan menarik, (i) Dunia online/cyber belum banyak mendapat  perhatian oleh psikologi Indonesia; (ii) Dia bersedia berbagi alat ukur  yang digunakan dalam tesisnya.
Poin  kedua itu sebuah keberuntungan bagi kita semua, aku terutama. Perlu  diketahui @airberbisik itu mengambil S2 di Rusia dan lulus dengan  capaian “distinction”, semacam Summa Cumlaude gitu (Belajar bahasa Rusia  aja sudah gila….). Sekarang, sahabatku itu juga sudah diterima untuk  melanjutkan S3 di Rusia. Jadi kualitas alat ukurnya tidak perlu  diragukan. Ketika aku baca pun memang bagus alat ukurnya. Alat ukur itu  berbentuk skala sikap, namanya Skala Anonimitas. Skala ini awalnya  disusun oleh Haejin Yun, yang telah direvisi oleh @Airberbisik.
Pas kebetulan beberapa hari  kemudian, pengguna twitter dan media sosial lainnya ramai tentang akun anonim. Jadi momennya bisa pas sekali, yah agak mepet sih sebenarnya  hehehe
Relasi  antara dua orang yang baru dikenal itu adalah relasi antara dua orang  yang anonim. Bahkan, itu juga terjadi antara ibu dengan bayi yang baru  dilahirkannya. Setiap pihak berusaha mengetahui identitas pihak lain  sembari membuka identitas dirinya untuk diketahui oleh pihak lain.  Semakin lama dan mendalam suatu relasi maka semakin para pihak bisa  saling mengetahui dan juga memahami.
Ketika  di offline, proses relasi ini berlangsung secara kompleks. Kita tidak  sepenuhnya bisa mengatur informasi tentang jati diri kita yang perlu  kita tampilkan pada pihak lain. Misal, kita bisa saja mengatakan sudah  berusaha belajar agar dikenal sebagai “mahasiswa rajin”. Tapi orang lain  bisa memperhatikan perilaku kita dan mengambil kesimpulan yang berbeda  seperti “mahasiswa malas”. Kesimpulan ini seringkali tidak dikemukakan  sehingga menjadi prejudice atau bahkan membentuk stereotipe seseorang.
Internet  dan terutama media sosial adalah media komunikasi yang mempunyai  karakteristik yang berbeda dengan dunia offline. Pengguna punya  kemampuan yang lebih besar untuk mengelola informasi mengenai identitas  dirinya. Pengguna relatif lebih bebas untuk menentukan username (nama  pengguna), avatar, dan identitas lainnya. Seringkali pengguna menseleksi  identitas diri yang ditampilkan sesui dengan konteks komunikasi di   dunia online.
Orang  lain pun relatif terbatas untuk mengakses informasi lain mengenai  identitas kita. Semisal, orang lain tidak bisa tahu kita ngetweet sambil  ngupil, kecuali kita ngetweet “<— lagi ngupil”. Jadi orang lain tahu  kita ngupil bila kita memberi informasi itu secara sadar maupun tidak  sadar. hehehe
Karakteristik  media sosial tersebut membuat pengguna bisa membebaskan diri dari  prejudice dan stereotipe yang berlaku di dunia offline. Kita relatif  bisa menghindari  tumpukan penilaian sebelumnya yang mempengaruhi  penilaian orang lain terhadap diri kita. Semisal: Ketika mengemukakan  ide beda, aku sering mendapat komentar “bukik mesti aneh-aneh” dari  lingkungan offlineku. Tapi ketika di twitter, aku lebih sering mendapat  respon “wah bukik kreatif”. Aneh dan kreatif mungkin tipis bedanya, tapi  besar banget dampaknya *curcol
Sesungguhnya  media sosial adalah laboratorium yang aman untuk menampilkan “persona”  ataupun ide baru tanpa perlu khawatir ditolak sebagaimana di dunia  offline.
Faktanya,  seterbuka apapun di media sosial, identitas kita tidak sepenuhnya  dikenal. Kita anonim pada derajat tertentu. Menariknya, tingkat  anonimitas ini merupakan faktor yang berpengaruh pada dinamika perilaku  kita di media sosial.
Apa itu anonimitas (anonymity)? Anonimitas adalah nama  band kurangnya informasi mengenai identitas  diri yang memungkinkan pelaku komunikasi saling mengenali. Semakin  tinggi anonimitas berarti semakin seorang pelaku tidak bisa mengenali  identitas diri pelaku lain dan juga sebaliknya. Anonim itu ibarat  berkomunikasi dengan orang di ruangan yang gelap, kita bisa tahu  kehadiran seseorang tapi kita tidak bisa mengetahu siapa orang itu.
Anonimitas  itu mempunyai dua dimensi: anonimitas diri dan anonimitas orang lain.  Anonimitas diri berarti seberapa jauh kita merasa tidak dikenali oleh  orang lain dalan suatu relasi komunikasi.  Anonimitas orang lain berarti seberapa jauh kita merasa tidak mengenali  orang lain dalam suatu relasi komunikasi.  Variasi tingkat anonimitas  diri, anonimitas orang lain dan anonimitas total akan menentukan  bagaimana seseorang berinteraksi dalam media sosial.
Karena itulah, aku dan @Airberbisik bersepakat untuk melakukan riset mengenai anonimitas pengguna media sosial di Indonesia. Untuk apa kami melakukan riset ini? Karena kami sama-sama menggunakan nama akun pseudonym. Agar  kita semua bisa memahami perilaku pengguna media sosial melalui sebuah  riset. Hasil riset ini akan ditampilkan baik di Bukik.com maupun di Ardinov.com, blognya@Airberbisik secara terbuka dan bebas.
Jadi  karena manfaatnya buat kita semua, bantu isi dan sebarkan survey  “Anonimitas Pengguna Media Sosial Indonesia” ya. Silahkan klik di https://www.surveymonkey.com/s/anonimitas 
Terima kasih!
bisakah saya meminta alat ukur dan teori anonimitas?
BalasHapusterimakasih :)