Oleh:  Rky Refrinal Patiradjawane
Dalam beberapa hari belakangan ini saya  sangat intens membaca dan mempelajari sebuah tulisan yang diposting di  milist ini secara intens dalam beberapa kali oleh seorang member dengan  latar belakang kepraktisian yang sebenarnya masih belum terlalu lama,  jika dilihat dari sisi umur.  Namun jika melihat cara beliau mengulas  materi tersebut maka dapat saya katakan bahwa beliau telah memenuhi  kualifikasi sebagai seorang praktisi yang berfikir melebihi masanya.
Thomas  Joseph mengulas dengan  sangat sederhana namun cerdas tentang Digital Marketing  3.0 dan ulasan tersebut  sangat dalam, terukur, memiliki visi dan sangat memenuhi kriteria  sebagai tulisan yang dapat dijadikan sebuah referensi oleh seluruh  kalangan praktisi di negeri ini, termasuk para pembelajar yang memiliki  visi sebagai seorang praktisi handal di masa depan. 
Ketika Kim memperkenalkan konsep ‘Blue  Ocen Strategy’ pada awal 2006, hampir seluruh praktisi di negeri  ini menyambutnya dengan gempita euforia dan berlomba-lomba menerapkan  konsep tersebut diperusahaan, bahkan konsep ini berhasil merevisi lebih  dari 70 persen strategi pemasaran perusahaan menengah keatas di negeri  ini.  Begitu banyak investasi ditanamkan untuk mengaplikasikan konsep  ini, namun kenyataan lain menunjukkan dikemudian hari bahwa hampir  seluruhnya perusahaan yang mencoba mengaplikasikan ini mengalami  kegagalan bahkan dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘investasi yang  terlanjur’ dengan return on investment mendekati nol persen.
Jika kita telaah lebih jauh maka  sebenarnya dengan kemampuan kepraktisian yag teruji dan terukur,  kegagalan aplikasi ini dapat ditelusuri dengan sangat mudah karena  sifatnya yang sistemik dan kefatalan ini lebih disebabkan oleh keliru  pemahaman, keliru formulasi dan keliru implementasi sehingga seluruhnya  dapat dikategorikan pada ‘kekeliruan yang direncanakan dengan matang’
Dalam beberapa kesempatan saya diminta  untuk menjadi konsultan di beberapa perusahaan yang mengalami kendala  dalam pemasaran yang menyebabkan perusahaan tersebut sangat sulit  mencapai target bahkan target itu sudah menjadi keniscayaan, bahkan  jangankan mencapai target, untuk mencapai break event point  saja sudah sulit. Padahal mereka sudah memiliki atribut yang cukup untuk  sustain di pasar diantara produk yang baik, harga yang marketable,  promosi yang cukup, distribusi yang merata, segmentasi yang terukur,  target market yang defenitif dan positioning yang jelas.  Namun kenapa  sangat sulit untuk meningkatkan pencapaian dalam penjualan? Bahkan  berbagai upayapun dilakukan ternyata sulit mendekati target.  
Dari berbagai audit  manajemen yang  dilakukan teryata sebagian besar bahkan mendekati seluruhnya keliru  dalam memahami setiap tool dalam marketing sehingga menghasilkan  matriks-matriks yang salaf fatal, sehingga dapat ditebak bahwa dalam  penerapannya pun sudah pasti bermasalah.  Inilah efeknya jika praktisi  itu ‘terlalu akademisi’ dan ‘terlalu sering menjadi pengamat’ serta  tidak pernah melakukan eksplorasi atas berbagai alat uji dan evaluasi  strategik, sehingga keseluruhan parameter dan variabel yang digunakan  hampir tidak related dengan real condition of market.  Dari kondisi yang ada  saya bahkan berani menarik hipotesa bahwa hampir 80 persen manager  tidak paham membuat SWOT namun melakukannya, 85 persen tidak paham  membuat BCG Matriks namun melakukannya, dan 90 persen tidak paham  membuat potfolio produk dengan Matriks GE namun tetap melakukannya.   Kekeliruan ini berlangsung secara berkesinambungan dan menyebabkan  kesalahan itu menjadi kian sistemik dan butuh waktu, tenaga dan biaya  untuk mengembalikan kondisi perusahaan yang tersesat ke kondisi awal.   Dengan kenyataan ini dapatkah anda bayangkan kebingungan yang dialami  oleh distribution channel termasuk manpower perusahan  itu dilapangan? Sedangkan perusahan di kantor pusat yakin bahwa iklan  yang dipasang di berbagai media baik media cetak maupun elektronik sudah  efektif.
Kondisi inilah  yang menjadi indikasi awal bahwa ‘kegagalan aplikasi Blue Ocean’ di  Indonesia dikarenakan terjadinya kekeliruan dalam pemahaman dan  kekeliruan dalam penerapan, sedemikian rupa sehingga kondisi itu menjadi  serba terbalik karena dalam sekejap samudera bitu itu menjadi merah  berdarah-darah, bahkan dapat dikatakan di Indonesia semua samudera itu  merah darah dan tidak ada menyisakan sedikitpun warna biru di samudera.   Kenapa demikian? Inilah fenomena yang mengungkapkan fakta bahwa di  negeri kita banyak sekali produk subtitusi, pasar yang gagal membuat  segmentasi, gagal membangun image produk dan yang paling mendasar adalah  kegagalan perusahaan meyakinkan konsumen bahwa produk mereka adalah  produk yang memenuhi espektasi.
Related  dengan Digital Marketing 3.0 maka saat inipun sedang dikembangkan konsep New  Wave Marketing 3.0 dimana  seorang marketer tidak hanya mampu membaca espektasi pelanggan, namun  sudah mulai memperhatikan kecemasan, kerisauan, kegelisahan, impian,  kemarahan, kekecewaan dan kepribadian pelanggan sehingga perlu  diciptakan sebuah konsep marketing yang memiliki personality dan  karakteristik yang kuat, sedemikian rupa sehingga brand personality  similar dengan  customer personality, dan korelasi kedua ini  akan mengakibatkan sebuah efek ‘tidak ada alasan bagi pelanggan untuk  melakukan penolakan atas produk yang ditawarkan’ karena produk yang  diciptakan adalah solver melebihi espektasi.
Era digital marketing 3.0 didesain untuk  lebih menghargai privacy pelanggan dan berbagai hasil riset menyatakan  secara sahih bahwa pada segmented customer, transaksi digital meningkat  melebihi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, bahkan mencapai  pertumbuhan melebihi 200 persen setiap tahunnya, demikianpun perilaku  digital pelanggan yang mengakibatkan hal-hal yang bersifat konvensional  akan terevolusi dan lama-kelamaan akan hilang ditelan masa.  Salah satu  indikasi yang menunjukkan hal ini adalah peningkatan kepemilikan IPAD,  Playbook, Galaxy Tab dan produk sejenisnya yang mendominasi kepemilikan  segmented customer tadi.  Fenomena ini harus diterima sebagai kenyataan  oleh banyak penerbit surat kabar untuk melakukan pengembangan produk  karena surat khabar konvensional tidak lagi mewakili karakteristik dan  personality pengguna tablet, yang lebih memilih membaca majalah digital  dan surat khabar digital seperti kompas.com, detik.com dan media  elektronik digital lainnya.  berbagai risetpun menguatkan bahwa hanya  kurang dari 23 persen pada tahu  ini pengguna Tablet membaca majalah dan  surat khabar konvensional, dan jumlah ini menurun drastis dari perilaku  tahun 2010 yang jumlahnya masih di kisaran 61 persen.  Berbagai alasan  menjadi mengemuka pada perubahan pola perilaku ini, diantaranya ingin  mengikuti perubahan dalam hitungan detik karena bagi mereka setiap  informasi yang terjadi harus egera diketahui saat ini juga dan bukan  dibaca besoknya jika mengikuti pola terbitnya surat khabar, bahkan  majalah yang terbitnya pada durasi yang lebih lama.   Promosi yang  intens dengan menurun harga langganan untuk mempertahankan pasar serta  hadiah-hadiah ternyata terbukti tidak cukup mampu menahan laju penurunan  oplah surat khabar dan majalah dengan sangat signifikan, berbanding  terbalik dengan laju pembaca koran dan majalah digital yang kian mampu  mendefenisikan produk dan pelanggannya.
Uraian ini menggambarkan bahwa mungkin makin lama setiap  orang akan menyesuaikan diri dengan teknologi, karena produk subtitusi  dari produk-produk Tablet dari Samsung, Apple dan Blackberry pun  bermunculan, sehingga era digital makin tidak terbendung dan akan  menyasar hampir setiap segment kalangan konsumen dinegeri ini.
Digital marketing 3.0 tentunya akan  menjadi sebuah alternatif utama yang mampu menjadi acuan dan referensi  utama bagi setiap perusahaan untuk mendefenisikan kembali produknya,  medefenisikan kembali pelanggannya dan merekonstruksi kembali visi, misi  dan tujuan perusahaan menuju kearah re-segmentasi, re-targeting,  re-positioning dan re-image sehingga New Wave Marketing  3.0 akan menjadi tujuan akhir dan akan masa depan produk dan perusahaan  akan semakin jelas karena setiap perusahaan dapat merencanakan pasar,  merencanakan laba, break event customer, break event point, return on  investment bahkan return on equity tanpa presisi.
Mungkin sudah waktunya bagi kita memberikan  apresiasi kepada rekan kita Thomas Joseph yang berusaha memberikan  pemahaman pada kita tentang konsep ini secara langsung pada sebuah forum  terbuka, sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman secara menyeluruh  tentang Digital Marketing 3.0 serta aplikasi dan implikasinya bagi masa  depan perusahaan.
Salam Hangat,
If you want something  you’ve never had, you must be willing to do something you’ve never done.
Rky Refrinal Patiradjawane
Tidak ada komentar:
Posting Komentar