Minggu, 11 September 2011

Semakin Marah Semakin Sayang?

Oleh:  William Wiguna

Anak saya yang bungsu berusia 7 tahun sering bertanya dengan nada yang ingin supaya disetujui mutlak bila meminta sesuatu. Contohnya: "Pa, boleh Evan main game sekarang?" dan saya tahu kalau jawaban yang diharapkan adalah "ya!". Karena apabila saya jawab "Tidak" maka dia biasanya langsung pasang muka cemberut dan mulai ber"filsafat". Contohnya, "kok ngga sayang Evan", "Papa kok jawabnya marah sih?" dsb. Padahal siapa sih yang ngga sayang sama anak sendiri, juga masa sih sang anak yang marah malah dibilang Papanya yang marah karena bilang tidak sesuai dengan keinginannya. Wah, serba sulit mengerti juga ya kalau sang anak maunya di setujui terus permintaannya. Padahal kita juga yang ajarin dulu waktu masih kecil untuk mulai belajar meminta.

Sekarang saya kembali merenung, mengapa pasangan kita dan anak-anak kita cenderung lebih sensitif kepada orang yang terdekat. Sempat saya komplain kepada mereka (walau sebenarnya ini cuma kerinduan pribadi) kalau mereka lebih banyak suka-citanya kalau dalam lingkungan teman-temannya. Misalnya, kalau saya salah jalan, rasanya sindiran atau teguran dari isteri dan anak-anak lebih "to the point" deh. Padahal kalau dengan teman2nya saya pernah melihat sendiri mereka bisa mengucapkan sambil bercanda dan tidak mempersalahkan kesalahan seperti itu. Yang jelas ada sih rasa "iri" kalau anak saya menunggu temannya pulang sekolah untuk bermain di depan rumah, bertanya terus kepada saya kapan pulangnya sang teman tsb padahal saya di sebelahnya lho.

Kembali kepada anak saya, setelah saya diam dan tidak merespon atas "kemarahan"-nya, maka beberapa lama kemudian dia mulai mendekati saya lagi dan biasanya kami mulai bercanda kembali. Dan kejutan buat saya adalah dia memeluk saya dan mencium sambil mengatakan "I love you Papa". Setelah saya alami sendiri beberapa kali, maka saya mulai menyadari bahwa sikap terhadap "kemarahan" seseorang adalah dengan DIAM. Demikian pula ketika saya yang mulai marah apabila ada seseorang yang saya tegur tidak juga sadar akan ke-"tidak-suka"-an saya atas salah satu perilakunya, saya mulai memberikan juga waktu dan ruang jeda bagi kami berdua untuk merenungi.

Rasanya saya mulai menyadari kalau kita marah dan marah-marah perbedaannya adalah adanya waktu dan ruang jeda. Bagi marah yang positif, tentunya marah hanya pada saat tertentu dan selesai saat itu juga. Sedangkan marah-marah merupakan kebiasaan yang justeru semakin lama semakin tidak sehat karena intensitasnya bisa semakin liar.

Bagaimana marah itu berakibat jelek? Seperti contoh, ada seorang yang gila memukuli orang-orang di pasar. Kemudian gantian orang-orang di pasar memukuli orang gila tsb. Nah, jadi berapa sekarang orang gila di pasar? Tadinya cuma satu orang gila, sekarang mengapa bisa menjadi banyak?

Bagaimana marah bisa berakibat baik? Kita bisa lihat saat ini lebih banyak orang yang "marah" peduli dengan nasib bangsa kita dengan membaca berita-berita di koran Nasional saat ini. Begitu banyak berita yang menurut saya berimbang dan membuat rakyat menjadi cerdas dan memberikan masukan kepada Pemerintah untuk bisa lebih serius menangani segala penyimpangan. Mengapa saya menyebut hal ini sebagai marah yang berakibat baik? Salah satu alasan adalah dengan lebih transparan-nya media melaporkan tindakan penyelewengan dan korupsi maka semakin hati-hati seseorang berbisnis atau berdinas akhir-akhir ini. Salah satunya adalah seorang teman saya menceritakan bahwa kalau ada petugas pajak yang datang ke perusahaan, sekarang ini bahkan saat diberikan air minum pun sang petugas pajak tsb langsung menolak dengan sopan dengan mengatakan, bahwa dia sedang bertugas sebentar saja dan mengatakan kami sudah minum dan akan segera menyelesaikan tugasnya secepatnya.

Contoh lainnya, ketika kami melewati jalan tol Tgr-Jkt yang sangat mulus (saat tulisan ini dibuat bulan Agustus 2011) dan saya berujar bahwa kualitas jalan tol ini sudah seperti di luar negeri, anak saya menimpali bahwa ini gara-gara Nazarudin yang tertangkap. Isteri saya langsung terbahak bahwa anak-anak saja sudah mengerti kalau efek seseorang yang dipublikasikan karena perbuatan negatifnya maka akan membuat para pebisnis juga akan lebih cermat bekerja bukan? Karena itu dampak dari kemarahan rakyat sudah jelas dan pasti atas segala perilaku korupsi.

Kalau begitu Pemerintah seharusnya berterima-kasih kepada mereka yang marah terhadap penyelewengan karena tidak perlu didebat tetapi ini tanda rakyat masih sayang banget dengan Pemerintah bukan?

Akhir kata, kalau kita di"marah"in oleh orang lain, jangan cepat stress atau frustasi dulu atau balas memarahi dulu, tetapi jangan-jangan ini karena ada orang yang menyayangi kita bukan? Tentu saja bukti sayang bukan berarti harus marah ya.

(William Wiguna)

Senin, 22 Agustus, 2011 05:29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar