Selasa, 06 September 2011

Modal Sosial di Kancah Global

Oleh: Andre Vincent Wenas



“Salus populi suprema est lex.” (kemaslahatan masyarakat adalah hukum tertinggi)
– Marcus Tullius Cicero.

***

Untuk memperbaiki kinerja keuangan negaranya, pemerintah Perancis bakal
menempuh langkah serius untuk: memperpanjang usia pensiun! Menaker Perancis,
Eric Woerth, saat mengumumkan perpanjangan usia pensiun (secara bertahap) dari
60 tahun menjadi 62 tahun mulai tahun 2018 mengatakan, “Bekerja lebih lama tak
bisa dihindarkan. Seluruh Eropa melakukannya.” Bahkan Presiden Nicolas Sarkozy
berani berharap bahwa langkah ini bakalan meyakinkan para investor atas
keseriusan Perancis untuk memperbaiki keuangan negaranya. Bahkan langkah ini
juga diyakininya kondusif terhadap upayanya mempertahankan rating kredit
Perancis di level AAA (triple A). Diberitakan pula, bahwa sebetulnya langkah
Perancis ini lebih lunak dibanding beberapa negara Eropa lainnya, seperti
misalnya: Jerman, yang bakal menaikkan usia pensiun menjadi 67 tahun, sementara
standar usia pensiun di Inggris dan Italia adalah 65 tahun.

Sementara itu pemerintahan baru Jepang di bawah PM Naoto Kan punya cara
lain untuk mengerek pertumbuhan ekonomi ke level 2%, yaitu: memangkas pajak
korporasi. Dengan memotong pajak korporasi dari 39.54% menjadi 25%, harapannya
investor asing bakal tertarik untuk berinvestasi di negara matahari terbit itu.

Seiring dengan upaya Jepang untuk menarik investasi asing ke negerinya, dua
perusahaan otomotifnya (Honda dan Toyota) dilanda prahara pemogokan buruh
pabriknya di China. Seperti dilaporkan Bloomberg (yang dikutip harian Kontan,
Senin 21 Juni 2010), fenomena pemogokan buruh pabrik di China dalam sebulan ini
sedang marak di pabrik-pabrik milik perusahaan asing. Tuntutan mereka seragam:
kenaikan gaji, yang disebabkan pula oleh susutnya pasokan tenaga kerja murah di
China.

Fenomena menarik lainnya terjadi di Inggris. Negara yang sudah sangat maju
ini ternyata masih merasa bahwa standar pendidikan di negerinya sendiri itu
masih perlu ditingkatkan. Mereka mau mendirikan sekolah-sekolah gratis bagi
warganya. Mulai pertengahan Juni tahun ini, pemerintah Inggris menawarkan kepada
semua pihak (orang tua, guru, yayasan sosial) yang ingin membuka sekolah gratis
untuk mengajukan proposalnya kepada pemerintah. Di dalam proposal itu, mereka
mesti menjelaskan visi, misi serta metode pengajaran dan kurikulum yang bakal
menjadi acuannya. Dan manakala usulan itu disetujui, maka proyek sekolahan
mereka itu akan mendapat pendanaan dari pemerintah. Sekolah gratis ini bakal
punya fasilitas yang setara dengan sekolah-sekolah mahal, seperti misalnya:
jumlah murid yang lebih sedikit dalam satu kelas, guru-guru yang berkualitas,
serta berdisiplin tinggi.

***

Inggris demi mempertahankan posisi unggulnya terus berkutat dan
“mati-matian” mengolah modal manusia (human capital)nya. Seperti juga Perancis
(serta Jerman dan Italia) yang menaikkan standar usia pensiunnya demi
mendayagunakan asset manusianya secara optimal. Sementara Jepang, yang sudah
kita kenal dengan etos kerja keras, keuletan dan ketekunannya masih perlu terus
berjibaku dengan menurunkan tarif fiskalnya demi memberi insentif pada investor
asing agar mau masuk ke negaranya. Itu pun “hanya” untuk mempertahankan level
pertumbuhan ekonomi sebesar 2%. Sementara beberapa tentakel gurita usahanya di
manca negara sedang mengalami prahara pemogokan buruh demi tuntutan kenaikan
upah.

Bercermin dari situ, kita melihat bagaimana state-apparatus bekerja
menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan demi memfasilitasi terwujudnya
kemaslahatan segenap warganya. Masalah yang dihadapi setiap negara (pemerintah
dan masyarakatnya) selalu ada. Spektrum persoalannya bukan lagi lokal, tetapi
sudah mondial.

Bagaimana supaya tetap fokus dan punya disiplin untuk tetap mengacu pada
strategi pembangunan multi-dimensi. Energi-sosial sebagai modal-sosial
seyogianya dikapitalisasi demi menumbuhkan dan meningkatkan kualitas asset
bangsa. Bukannya malah dihambur-hambur percuma untuk berkutat dengan pelbagai
isu sosial yang trivial, remeh-temeh, hanya buang-buang waktu dan tenaga demi
pemuasan hasrat libidinal murahan. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya
pendangkalan budaya. Suatu kegilaan (irrasionalitas) hasrat yang mengendalikan
perilaku individual yang tampil serta mengisi ruang publik dengan segala
justifikasi (rasionalisasi)nya, dan – celakanya – lalu menjadi wacana sosial
yang sama sekali tidak mencerdaskan, bahkan menyesatkan.

Belajar dari negara maju (misalnya contoh Inggris di atas) yang biarpun
sudah demikian advance toh tetap berupaya keras untuk terus meningkatkan
kualitas pendidikan bangsanya. Suatu bahan refleksi dan introspeksi yang bagus
terhadap kebijakan-kebijakan publik yang ujungnya hanya memproduksi budaya serba
instan, tak peduli proses, yang telah melahirkan generasi bermentalitas jalan
pintas. Banalitas budaya yang akut inilah yang kita khawatirkan bakal menjadi
kerangka acuan (frame of reference) serta kerangka kerja (frame of work) bangsa
Indonesia di kancah pertarungan global.

----------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING edisi Juli 2010)

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting



Artikel ini dikontribusikan ke milis The Managers oleh Kontributornya pada hari:


Jumat, 12 Agustus, 2011 11:55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar