Kamis, 22 September 2011

Renungan | Tuhan dalam Ritual

Oleh:  Harry "uncommon" Purnama


OPINI | 28 August 2011 | 13:45 38 
 
“Be yourself, an angel of kindness” terlantun dengan syahdu dan powerful dari mulut Il Divo dan Celine Dion dalam satu refren lagu puitis nan indah yang dirilis tahun 2006,  “I believe in you.” Renungkan dan   rasakan makna "an angel of kindness," menjadi malaikat yang melakukan kebaikan tiap saat, tiap waktu, tiap moment dari hidupnya. Itulah makna ibadah yang sejati, bukan ritual ibadahnya atau kewajiban dan tata-cara berbuat baiknya. Berbuat baik itu sederhana, jika manusia bisa berhati malaikat. Berbuat baik tak memerlukan tata-cara macam-macam, tak perlu banyak diatur sana-sini. Ritual diperlukan, sebatas ibadah menjadi nyaman dan teratur. 
 
"Apakah ibadah-ibadah ritual manusia yang rata-rata di-drive oleh motivasi akan mendapat insentif dan pamrih dari Tuhan atau alam semesta di moment besar atau suci tertentu, akan dicatat lebih tinggi oleh Malaikat?" tanya Umar si tokoh muda siang itu.   “Saya rajin ibadah di bulan ini, di acara ini, di tujuan ini, di event raya ini, tidak di semua hari, karena pada hari-hari ini akan ada berkat besar dicurahkan dari langit Sorga, karena di luar hari-hari itu Malaikat tidak bekerja alias liburan,” sharing Siti, ibu muda berbatik rapi malam itu di sebuah ruang tengah di pertemuan spiritual tahunan.  "Dosa yang paling aku inginkan untuk diampuni di bulan Suci ini, adalah dosa uang. Aku  menerima mark-up pengadaan logistik kantor sebesar Rp 5 Miliar dibungkus karung beras," pekik doa malam suntuk Mayudin, seorang aktivis rohaniawan dari sebuah kantor negeri.
 
Ibadah memiliki paradoks spiritualnya,  “Tuhan hadir di setiap saat [Tuhan mengalir dalam hidup, Kehidupan yang Bertumbuh dan Berbuah]” atau “Tuhan ada di event tertentu saja [Tuhan berhenti dalam kegiatan, Kehidupan yang Mandek].” 
 
Tuhan hanya ada dalam keramian sesaat, itulah kurang lebih tema besar manusia dalam mencari wajah Tuhan. Tuhan yang dikramatkan via ritual-ritual besar, tidak hadir di setiap saat.  Tuhan Yang Maha Besar itu hanya dihormati dan disanjung  begitu  hiruk pikuknya dalam ibadah besar hari jumat, di hari sabtu atau di hari minggu atau di hari raya lainnya. Tuhan seolah-olah hanya turun di hari-hari dimana ada keramian dan hiruk pikuk penyembahan, korban sembelihan atau bakaran dan pujian secara masal. Apakah Tuhan dipercaya tidak hadir setiap hari di setiap hati dan di setiap kehidupan? Apakah Tuhan dipercayai hanya ada di hari-hari manusia memberi maaf atau memberi derma atau melakukan bhakti atau terlibat dalam dharma mulia? Bagi tipe manusia seperti Umar, Siti dan Mayudin, bisa jadi Tuhan memang sangat diyakini hanya ada menurut ritual manusia saja.
 
Dengan ritual yang diwajibkan, jika manusia menghendaki ada, Tuhan menjadi ada. Sebaliknya jika manusia tidak merencanakan ritual besar, maka Tuhan pergi. Jika yang membawa Firman bukan si A, maka tidak ada berkat dicurahkan. Jika yang mendoakan kesembuhan bukan si B, maka tidak ada kesembuhan.  Jika yang memberi doa berkat bukan si C, maka rumah baru, pekerjaan baru, bisnis dan pernikahan tidak diberkati.
 
Manusia cenderung bangga karena telah beragama, tetapi telah kehilangan the essence of its believe, its religion. Mereka menjadi pelaku Firman kebaikan, jika merasa diwajibkan. Jika itu tidak wajib, maka boleh ditawar-tawar atau dilanggar saja.
 
Agama dan Tuhan menjadi barang wajib. Wajib berarti menakutkan dan bentuknya hukuman belaka. Agama jadi barang ritual yang menakutkan bagi umat. Agama menjadi produk zaman takut dan kaku dingin. Wajah agama menjadi seram dan angker seperti kuburan. Umat pergi ke tempat ibadah karena diwajibkan atau ditakut-takuti oleh pemimpinnya yang lebih pintar karena dipenuhi dogma ritualisasi.  
 
Ukuran beragama kemudian menjadi kuantitatif matematika [numbers],  jumlah kewajiban dikurangi jumlah kesalahan, itulah banyaknya "Imbalan" yang diterima, kado yang diberikan dari Tuhan [reward]. Maka, orang-orang akan terus berduyun-duyun berbuat amalan dan kebaikan di moment-moment besar tertentu saja lalu lupa menjaga dirinya di moment-moment lain yang justru jumlahnya jauh lebih besar dan lebih banyak. Misalkan, jumlah waktu yang dirasa banyak kewajibannya adalah 1-2 bulan, maka sisanya 10-11 bulan adalah bulan-bulan yang tidak wajib alias tidak perlu dijaga. Maka dengan metode matematika yang sama, tentulah 10 bulan yang penuh dosa tindakan  jauh lebih banyak dari 2 bulan yang penuh kesucian dan membuat manusia merasa sulit mendapat imbalan rohani alias tetap saja merasa sulit masuk ke Sorga.  Paradigma ini membuat Tuhan itu jauh adanya dan Sorga itu sulit adanya.
 
Akibatnya, mengikuti Tuhan hanya sebatas ritual belaka hanya untuk mengejar Tuhan yang jauh dan Sorga yang sulit. Bahayanya, ibadah bukan karena merasa Tuhan itu dekat dan karena kecintaan akan Tuhan, melainkan hanya sebatas wajib lahiriah, jika diminta saja, karena Tuhan “memintanya.”  
 
Prakteknya, legitimasi seseorang telah dianggap syah beragama, jika ada teks agama tertentu di KTP. Jika kosong, kita akan dicap ateis atau komunis. Mengapa begini? Karena ukuran kebaikan dan kebenaran agama, hanya ada di benda kecil yang ditulisi oleh tangan manusia, KTP. 
 
Analogi dari jenis ritualisasi ini, jika suatu kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, ternyata setelah diamati [observed] “tidak” tertulis di Kitab Sucinya sendiri, itu tidak dianggap benar dan akibatnya di klaim aliran sesat. Yang sesat wajib dihentikan dengan cara apapun. Hak-hak manusia lain menjadi tidak berharga, karena berpola pikir tertulis, kaku dan kewajiban. Tuhan harus tertulis. Padahal Tuhan tak terbatas beingnya. Tuhan ada dalam keseluruhan, dalam totalitas, dalam beingfullness, dalam lifefullness [bodyfullness, mindfullness, soulfullness].
 
Syair lagu Il Divo dan Celine Dion yang meminta manusia agar senantiasa menjadi “malaikat kebaikan” dalam hidup, berubah menjadi  “malaikat ritual” yang merasa “paling suci”  ketika telah selesai ibadah dan menyelesaikan kewajiban ritual tertentu.  Sebaliknya, manusia merasa tidak suci dan tidak layak, jika belum melakukan kewajiban ritual tertentu, seperti hijrah, berpuasa, kebaktian, berderma dan bermeditasi. Ritual memang tidak salah dan diperlukan sepanjang manusia mengerti untuk apa ritual itu dilakukan dan kemana akhir dari ritual itu [start an end in mind, kata Stephen Covey].
 
Tuhan tidak ada dalam keramaian dan hiruk pikuk, apalagi ketidak-teraturan dan hidup yang berantakan, gaduh. Malaikat kebaikan menjadi jauh dari kehidupan, dari keseluruhan. Hari ini malaikat, besok mirip setan. Hidup menjadi terpotong-potong, terpenggal-penggal, terkotak-kotak antara kewajiban dan yang tidak wajib. Juga antara boleh dan tidak boleh, bukan atas dasar kecintaan dan kesucian rohani akan junjungan Tuhan Allah Semesta.  Iman yang esensinya adalah nafas dari setiap hembusan dan tarikan dari tindakan dari setiap gerak, telah terkubur oleh bongkahan maha berat yang disebut tanah ritualisasi ibadah yang ditakuti dan tradisi turun-temurun yang mengikat mati. Tak boleh ada tawar-menawar dalam memohon sedikit saja kelonggaran.  "Jika tidak A-B-C-D, kamu berdosa dan masuk neraka." 
 
“Life is short and we should use every moment to share light of kindness,” kata seorang sufi kehidupan di suatu pembaringan kamarnya ketika ia sedang sakit menua karena telah usai membaktikan seluruh hidupnya untuk kebaikan orang lain, sesama manusianya. Ialah malaikat kebaikan dalam rupa manusia di dekat orang-orang susah dan miskin yang tidak diuntungkan oleh sistem dan zaman.
 
Batiniah manusia yang terletak di dalam diri, tidak dilibatkan di dalam keseluruhan beragama dan beribadahnya.  Lahiriah boleh terus-menerus dalam kondisi ramai dan hiruk pikuk, tapi batiniah menjadi sendirian dan kesepian [lonely inside, noisy outside].
 
Manusia modern cenderung senang melekatkan imannya pada ritualisasi ibadahnya.  Imannya merasa benar 100% jika sudah dibumbui oleh ritual maha suci. Lama-lama, manusia model ini, akan segera lari ke persimpangan jalan buntu. Yang satu mengarah ke bunuh diri karena merasa hampa, kosong, sia-sia, tidak berguna dan putus asa karena telah merasa beribadah dan beragama, tapi hidupnya tak diberkahi dan tak sukses. Lalu ia mengambil kawat jemuran dan gantung diri. Selesai.
 
Yang satu lagi pergi ke arah tipuan perdukunan mistis, orang sok pintar dan peramal gaib magic instant,  karena merasa telah menjadi bodoh, usia sudah tua, tapi ilmu, cara berfikir dan hikmat tak berkembang, alias mandeg. Hidup terasa membosankan dan monoton, tak ada gerak maju, buntu. Masih mau macam-macam, tapi tetap pikiran dan kemampuan tak sampai. Jalan pintas tersedia via iklan tv, lalu pergilah ia ke dukun top di seberang lautan. Malah tambah masalah.
 
Jalan yang lainnya menunjuk ke arah penasehat spiritual dan penyesat rohani karena merasa tidak yakin dengan ibadahnya sendiri.  Ia tak menyadari telah menjadi “budak-budak ritual” dan “pion-pion lahiriah.”  Ia merasa terperangkap dalam “ibadah ritualisasi,” bukan “ibadah tindakan. Imannya tak bertambah dan berkembang. Rohaninya stuck, tak mengakar kuat, kosong, hampa, mudah digoyang oleh iman yang lain dan tak karuan seperti pusing rohani. Pergilah ia ke persimpangan jalan para penasehat spiritual mabuk jampi-jampi dan mantra kelas tinggi atau ke penyesat rohani yang kerjaannya cari untung belaka dari mangsa klien yang tidak yakin dengan imannya sendiri. Mereka melabel dirinya dengan pemberi solusi spiritual serba instant serba cepat serba cespleng, super mantap.
 
Satu-satunya jalan menuju ketenangan, ketenteraman dan jaminan rasa damai adalah mengembalikan ibadah dan agama kepada proses keseluruhan, kepada totalitas hidupnya semula.  Cara ini sungguh sederhana, yaitu menempatkan Tuhan senantiasa ada, hadir dan dekat di setiap saat dan waktu. Melalui kecintaan sejati dan iman yang murni, IA harus selalu bisa dirasakan hadir di setiap nafas, di setiap tindakan dan di setiap langkah kaki dan perbuatan tangan kita. IA tidak jauh di dalam ritual serba wajib.  Dengan cara ini, setiap saat, setiap hari kita mampu menciptakan Sorga-sorga kecil di pikiran, di perkataan dan di tindakan, apapun kepercayaan yang kita pilih.  Sorga menjadi dekat dan mudah dialami setiap saat. Tuhan hadir dan mengalir dalam keseluruhan, dalam totalitas hidup, dan dalam kepenuhan hidup [lifefullness dan meaningfullness, bukan life dryness].  Tuhan tidak ada di dalam pernak pernik tetek bengek kemeritil yang diatur dan didesign rapi serta heboh oleh pikiran manusia. Tuhan ada di semua tempat dan di tiap moment. Itulah Agungnya Tuhan Allah Semesta.
 
Lalu kata-kata indah yang sering diucapkan orang-orang tua atau guru spiritual kita “Sorga itu ada di telapak kaki ibu atau ada di hati kita,” menjadi benar-benar nyata dan bukan angan-angan jargon kosong retorika tradisi ritual. Retorika ritualisasi agama harus kita akhiri dan kita kubur dalam-dalam melalui sejarah pahit spiritual kita di hari kemarin. Hari ini, adalah hari dimana Tuhan telah  hidup dan bergerak nyata dalam hidup kita di setiap nafas keluar dan nafas masuk, di setiap pikiran yang bersih, di setiap kata jernih yang keluar dan di setiap tindakan mulia yang direncanakan. 
Semoga Tuhan tidak ada lagi di dalam ritual manusia yang sia-sia.  Tuhan tidak butuh ritual manusia, Ia membutuhkan hati Anda yang berkualitas malaikat. Jadilah malaikat kebaikan, an angel of kindness every moment.

Salam work & life balance [WLB]
Harry "uncommon" PurnamaMature Leadership Center      
Senin, 29 Agustus, 2011 01:03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar