Oleh: Harry "uncommon" Purnama
OPINI | 28 August 2011 | 13:45 38 
“Be  yourself, an angel of kindness” terlantun dengan syahdu dan powerful  dari mulut Il Divo dan Celine Dion dalam satu refren lagu puitis nan  indah yang dirilis tahun 2006,  “I believe in you.” Renungkan  dan   rasakan makna "an angel of kindness," menjadi malaikat yang  melakukan kebaikan tiap saat, tiap waktu, tiap moment dari hidupnya.  Itulah makna ibadah yang sejati, bukan ritual ibadahnya atau kewajiban  dan tata-cara berbuat baiknya. Berbuat baik itu sederhana, jika manusia  bisa berhati malaikat. Berbuat baik tak memerlukan tata-cara  macam-macam, tak perlu banyak diatur sana-sini. Ritual diperlukan,  sebatas ibadah menjadi nyaman dan teratur. 
"Apakah  ibadah-ibadah ritual manusia yang rata-rata di-drive oleh motivasi akan  mendapat insentif dan pamrih dari Tuhan atau alam semesta di moment  besar atau suci tertentu, akan dicatat lebih tinggi oleh Malaikat?"  tanya Umar si tokoh muda siang itu.   “Saya rajin ibadah di bulan ini,  di acara ini, di tujuan ini, di event raya ini, tidak di semua hari,  karena pada hari-hari ini akan ada berkat besar dicurahkan dari langit  Sorga, karena di luar hari-hari itu Malaikat tidak bekerja alias  liburan,” sharing Siti, ibu muda berbatik rapi malam itu di sebuah ruang  tengah di pertemuan spiritual tahunan.  "Dosa yang paling aku inginkan  untuk diampuni di bulan Suci ini, adalah dosa uang. Aku  menerima  mark-up pengadaan logistik kantor sebesar Rp 5 Miliar dibungkus karung  beras," pekik doa malam suntuk Mayudin, seorang aktivis rohaniawan dari  sebuah kantor negeri.
Ibadah memiliki paradoks  spiritualnya,  “Tuhan hadir di setiap saat [Tuhan mengalir dalam hidup,  Kehidupan yang Bertumbuh dan Berbuah]” atau “Tuhan ada di event tertentu  saja [Tuhan berhenti dalam kegiatan, Kehidupan yang Mandek].” 
Tuhan  hanya ada dalam keramian sesaat, itulah kurang lebih tema besar manusia  dalam mencari wajah Tuhan. Tuhan yang dikramatkan via ritual-ritual  besar, tidak hadir di setiap saat.  Tuhan Yang Maha Besar itu hanya  dihormati dan disanjung  begitu  hiruk pikuknya dalam ibadah besar hari  jumat, di hari sabtu atau di hari minggu atau di hari raya lainnya.  Tuhan seolah-olah hanya turun di hari-hari dimana ada keramian dan hiruk  pikuk penyembahan, korban sembelihan atau bakaran dan pujian secara  masal. Apakah Tuhan dipercaya tidak hadir setiap hari di setiap hati dan  di setiap kehidupan? Apakah Tuhan dipercayai hanya ada di hari-hari  manusia memberi maaf atau memberi derma atau melakukan bhakti atau  terlibat dalam dharma mulia? Bagi tipe manusia seperti Umar, Siti dan  Mayudin, bisa jadi Tuhan memang sangat diyakini hanya ada menurut ritual  manusia saja.
Dengan ritual yang diwajibkan, jika  manusia menghendaki ada, Tuhan menjadi ada. Sebaliknya jika manusia  tidak merencanakan ritual besar, maka Tuhan pergi. Jika yang membawa  Firman bukan si A, maka tidak ada berkat dicurahkan. Jika yang mendoakan  kesembuhan bukan si B, maka tidak ada kesembuhan.  Jika yang memberi  doa berkat bukan si C, maka rumah baru, pekerjaan baru, bisnis dan  pernikahan tidak diberkati.
Manusia cenderung  bangga karena telah beragama, tetapi telah kehilangan the essence of its  believe, its religion. Mereka menjadi pelaku Firman kebaikan, jika  merasa diwajibkan. Jika itu tidak wajib, maka boleh ditawar-tawar atau  dilanggar saja.
Agama dan Tuhan menjadi barang  wajib. Wajib berarti menakutkan dan bentuknya hukuman belaka. Agama jadi  barang ritual yang menakutkan bagi umat. Agama menjadi produk zaman  takut dan kaku dingin. Wajah agama menjadi seram dan angker seperti  kuburan. Umat pergi ke tempat ibadah karena diwajibkan atau  ditakut-takuti oleh pemimpinnya yang lebih pintar karena dipenuhi dogma  ritualisasi.  
Ukuran beragama kemudian menjadi  kuantitatif matematika [numbers],  jumlah kewajiban dikurangi jumlah  kesalahan, itulah banyaknya "Imbalan" yang diterima, kado yang diberikan  dari Tuhan [reward]. Maka, orang-orang akan terus berduyun-duyun  berbuat amalan dan kebaikan di moment-moment besar tertentu saja lalu  lupa menjaga dirinya di moment-moment lain yang justru jumlahnya jauh  lebih besar dan lebih banyak. Misalkan, jumlah waktu yang dirasa banyak  kewajibannya adalah 1-2 bulan, maka sisanya 10-11 bulan adalah  bulan-bulan yang tidak wajib alias tidak perlu dijaga. Maka dengan  metode matematika yang sama, tentulah 10 bulan yang penuh dosa tindakan   jauh lebih banyak dari 2 bulan yang penuh kesucian dan membuat manusia  merasa sulit mendapat imbalan rohani alias tetap saja merasa sulit masuk  ke Sorga.  Paradigma ini membuat Tuhan itu jauh adanya dan Sorga itu  sulit adanya.
Akibatnya, mengikuti Tuhan hanya  sebatas ritual belaka hanya untuk mengejar Tuhan yang jauh dan Sorga  yang sulit. Bahayanya, ibadah bukan karena merasa Tuhan itu dekat dan  karena kecintaan akan Tuhan, melainkan hanya sebatas wajib lahiriah,  jika diminta saja, karena Tuhan “memintanya.”  
Prakteknya,  legitimasi seseorang telah dianggap syah beragama, jika ada teks agama  tertentu di KTP. Jika kosong, kita akan dicap ateis atau komunis.  Mengapa begini? Karena ukuran kebaikan dan kebenaran agama, hanya ada di  benda kecil yang ditulisi oleh tangan manusia, KTP. 
Analogi  dari jenis ritualisasi ini, jika suatu kepercayaan atau kebiasaan  masyarakat, ternyata setelah diamati [observed] “tidak” tertulis di  Kitab Sucinya sendiri, itu tidak dianggap benar dan akibatnya di klaim  aliran sesat. Yang sesat wajib dihentikan dengan cara apapun. Hak-hak  manusia lain menjadi tidak berharga, karena berpola pikir tertulis, kaku  dan kewajiban. Tuhan harus tertulis. Padahal Tuhan tak terbatas  beingnya. Tuhan ada dalam keseluruhan, dalam totalitas, dalam  beingfullness, dalam lifefullness [bodyfullness, mindfullness,  soulfullness].
Syair lagu Il Divo dan Celine Dion  yang meminta manusia agar senantiasa menjadi “malaikat kebaikan” dalam  hidup, berubah menjadi  “malaikat ritual” yang merasa “paling suci”   ketika telah selesai ibadah dan menyelesaikan kewajiban ritual  tertentu.  Sebaliknya, manusia merasa tidak suci dan tidak layak, jika  belum melakukan kewajiban ritual tertentu, seperti hijrah, berpuasa,  kebaktian, berderma dan bermeditasi. Ritual memang tidak salah dan  diperlukan sepanjang manusia mengerti untuk apa ritual itu dilakukan dan  kemana akhir dari ritual itu [start an end in mind, kata Stephen  Covey].
Tuhan tidak ada dalam keramaian dan hiruk  pikuk, apalagi ketidak-teraturan dan hidup yang berantakan, gaduh.  Malaikat kebaikan menjadi jauh dari kehidupan, dari keseluruhan. Hari  ini malaikat, besok mirip setan. Hidup menjadi terpotong-potong,  terpenggal-penggal, terkotak-kotak antara kewajiban dan yang tidak  wajib. Juga antara boleh dan tidak boleh, bukan atas dasar kecintaan dan  kesucian rohani akan junjungan Tuhan Allah Semesta.  Iman yang  esensinya adalah nafas dari setiap hembusan dan tarikan dari tindakan  dari setiap gerak, telah terkubur oleh bongkahan maha berat yang disebut  tanah ritualisasi ibadah yang ditakuti dan tradisi turun-temurun yang  mengikat mati. Tak boleh ada tawar-menawar dalam memohon sedikit saja  kelonggaran.  "Jika tidak A-B-C-D, kamu berdosa dan masuk neraka." 
“Life  is short and we should use every moment to share light of kindness,”  kata seorang sufi kehidupan di suatu pembaringan kamarnya ketika ia  sedang sakit menua karena telah usai membaktikan seluruh hidupnya untuk  kebaikan orang lain, sesama manusianya. Ialah malaikat kebaikan dalam  rupa manusia di dekat orang-orang susah dan miskin yang tidak  diuntungkan oleh sistem dan zaman.
Batiniah  manusia yang terletak di dalam diri, tidak dilibatkan di dalam  keseluruhan beragama dan beribadahnya.  Lahiriah boleh terus-menerus  dalam kondisi ramai dan hiruk pikuk, tapi batiniah menjadi sendirian dan  kesepian [lonely inside, noisy outside].
Manusia  modern cenderung senang melekatkan imannya pada ritualisasi ibadahnya.   Imannya merasa benar 100% jika sudah dibumbui oleh ritual maha suci.  Lama-lama, manusia model ini, akan segera lari ke persimpangan jalan  buntu. Yang satu mengarah ke bunuh diri karena merasa hampa, kosong,  sia-sia, tidak berguna dan putus asa karena telah merasa beribadah dan  beragama, tapi hidupnya tak diberkahi dan tak sukses. Lalu ia mengambil  kawat jemuran dan gantung diri. Selesai.
Yang satu  lagi pergi ke arah tipuan perdukunan mistis, orang sok pintar dan  peramal gaib magic instant,  karena merasa telah menjadi bodoh, usia  sudah tua, tapi ilmu, cara berfikir dan hikmat tak berkembang, alias  mandeg. Hidup terasa membosankan dan monoton, tak ada gerak maju, buntu.  Masih mau macam-macam, tapi tetap pikiran dan kemampuan tak sampai.  Jalan pintas tersedia via iklan tv, lalu pergilah ia ke dukun top di  seberang lautan. Malah tambah masalah.
Jalan yang  lainnya menunjuk ke arah penasehat spiritual dan penyesat rohani karena  merasa tidak yakin dengan ibadahnya sendiri.  Ia tak menyadari telah  menjadi “budak-budak ritual” dan “pion-pion lahiriah.”  Ia merasa  terperangkap dalam “ibadah ritualisasi,” bukan “ibadah tindakan. Imannya  tak bertambah dan berkembang. Rohaninya stuck, tak mengakar kuat,  kosong, hampa, mudah digoyang oleh iman yang lain dan tak karuan seperti  pusing rohani. Pergilah ia ke persimpangan jalan para penasehat  spiritual mabuk jampi-jampi dan mantra kelas tinggi atau ke penyesat  rohani yang kerjaannya cari untung belaka dari mangsa klien yang tidak  yakin dengan imannya sendiri. Mereka melabel dirinya dengan pemberi  solusi spiritual serba instant serba cepat serba cespleng, super mantap.
Satu-satunya  jalan menuju ketenangan, ketenteraman dan jaminan rasa damai adalah  mengembalikan ibadah dan agama kepada proses keseluruhan, kepada  totalitas hidupnya semula.  Cara ini sungguh sederhana, yaitu  menempatkan Tuhan senantiasa ada, hadir dan dekat di setiap saat dan  waktu. Melalui kecintaan sejati dan iman yang murni, IA harus selalu  bisa dirasakan hadir di setiap nafas, di setiap tindakan dan di setiap  langkah kaki dan perbuatan tangan kita. IA tidak jauh di dalam ritual  serba wajib.  Dengan cara ini, setiap saat, setiap hari kita mampu  menciptakan Sorga-sorga kecil di pikiran, di perkataan dan di tindakan,  apapun kepercayaan yang kita pilih.  Sorga menjadi dekat dan mudah  dialami setiap saat. Tuhan hadir dan mengalir dalam keseluruhan, dalam  totalitas hidup, dan dalam kepenuhan hidup [lifefullness dan  meaningfullness, bukan life dryness].  Tuhan tidak ada di dalam pernak  pernik tetek bengek kemeritil yang diatur dan didesign rapi serta heboh  oleh pikiran manusia. Tuhan ada di semua tempat dan di tiap moment.  Itulah Agungnya Tuhan Allah Semesta.
Lalu  kata-kata indah yang sering diucapkan orang-orang tua atau guru  spiritual kita “Sorga itu ada di telapak kaki ibu atau ada di hati  kita,” menjadi benar-benar nyata dan bukan angan-angan jargon kosong  retorika tradisi ritual. Retorika ritualisasi agama harus kita akhiri  dan kita kubur dalam-dalam melalui sejarah pahit spiritual kita di hari  kemarin. Hari ini, adalah hari dimana Tuhan telah  hidup dan bergerak  nyata dalam hidup kita di setiap nafas keluar dan nafas masuk, di setiap  pikiran yang bersih, di setiap kata jernih yang keluar dan di setiap  tindakan mulia yang direncanakan. 
Semoga Tuhan tidak ada lagi  di dalam ritual manusia yang sia-sia.  Tuhan tidak butuh ritual  manusia, Ia membutuhkan hati Anda yang berkualitas malaikat. Jadilah  malaikat kebaikan, an angel of kindness every moment.
Harry "uncommon" PurnamaMature Leadership Center
Senin, 29 Agustus, 2011 01:03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar