Oleh: Andre Vincent Wenas
  "Insta, opportune, importune: argue obsecra, increpa in omni patientia." Siap 
sedialah, baik atau pun tidak baik waktunya, nyatakan apa yang salah, tegurlah 
dan nasehatilah dengan segala kesabaran. Begitu nasihat cendekiawan bernama 
Paulus alias Saulus kepada santrinya Timotius di sebuah padepokan (pesantren) 
Yahudi di kawasan Timur Tengah, kira-kira 2000 tahun lalu.
***
  Konon katanya, bangsa Yahudi ini pandai, kohesif serta berdaya-tahan tinggi 
lantaran pikiran mereka tatkala mengambil keputusan selalu mengacu dan 
memperhitungkan dampaknya bagi 3 generasi ke depan (demi anak-cucu-cicit), 
sekaligus berefleksi kepada 3 generasi ke belakang mempertimbangkan warisan 
kebijaksanaan nenek moyang yang sangat dihormati dalam tradisi Yahudi.
  Terlepas dari betul tidaknya soal di atas, saya sempat tercenung. Kisah 
bobroknya moral bangsa lewat fenomena BLBI, KKN, skandal pejabat, lumpur 
Lapindo,  pembalakan hutan, global-warming, banjir, dll, bukanlah peristiwa yang  masing-masing eksklusif berdiri sendiri. Ada suatu pola umum yang jadi  konteks bagi itu semua.
  Lantaran sempitnya cara pandang dan  spektrum pemikiran yang pendek membawa konsekuensi gawat. Walaupun –  celakanya – memang tidak mudah membedakan keputusan berdampak positif  bagi 2 sampai 3 generasi ke depan. Seringkali keputusan berdampak  positif dalam jangka panjang ini malahan sering tidak popular di jangka  pendek. Sebaliknya, keputusan-keputusan nyaman di jangka pendek bisa  jadi sangat popular, walaupun pada galibnya ia menyimpan bom waktu bagi  anak-cucu. Di sinilah ‘tantangan & ketegangan kepemimpinan sejati’  (the true leadership challenges & tensions) diuji. 
  Cara pandang, mind-set atau paradigma adalah seperti peta-mental, sehingga 
krusial dalam meniti perziarahan hidup. Di jaman serba instan ini (seminar kiat 
cepat kaya adalah yang paling laris!) maka caveat dari Al Gore patut kita simak, 
“Our  perspective is badly foreshortened in another way as well. Too often we  are unwilling to look beyond ourselves to see the effect of our action  today on our children and grandchildren. I am convinced that many people  have lost their faith in the future, because virtually every facet of  our civilization we are 
beginning to act as if our future is now so much in doubt that it makes more 
sense to focus exclusively on our current needs and short term problems. This 
growing tendency to discount the value of investments made for the long term – 
whether of wealth, effort, or caution…” (Al Gore, Earth In The Balance, Ecology 
and The Human Spirit, 1992).
***
   Strategi sesungguhnya adalah soal komitmen. Donald N. Sull (bukunya:  Why Good Companies Go Bad and How Great Managers Remake Them, 2005),  merumuskan komitmen ke dalam 5 kategori: 1) Strategic frames. Inilah  mental-models yang mempengaruhi cara pandang seorang dalam melihat  dunianya. 2) Resources. Segala sumber daya mesti dijahit ke dalam  strategi, sehingga bisa memastikan perusahaan bakal mampu melompat ke  depan. 3) Processes. Setiap prosedur dan aktivitas yang menjamin  pekerjaan beres. 4) Relationships. Relasi yang terbangun baik niscaya  memperlancar organisasi mengakses segala sumber-daya yang dibutuhkan. 5)  Values. Tatanan nilai adalah norma-norma yang mengikat sekaligus  menginspirasi anggota organisasi.
  Kelima komitmen atau strategi berdaya tahan lama ini harus dibentang jauh ke 
depan  namun tanpa kehilangan perspektif historisnya. Jangan sampai  pembangunan dilakukan dengan “merampok” masa depan anak-cucu kita. Isu  lingkungan hidup dalam peradaban global adalah cerminan paling gamblang,  namun dalam dunia korporasi hal ini pun relevan. Dunia dan korporasi  macam apa yang akan kita warisi pada anak-cucu?
  Panggilan  kepemimpinan yang sejati adalah panggilan kenabian (prophetic call).   Kata prophet dalam bahasa Inggris rupanya berasal dari bahasa Yunani  prophete,  yang terdiri dari 2 suku kata: phemi (bicara) dan pro  (sebelumnya). Jadi nabi bicara sebelum segala sesuatu terjadi! Tanpa  tercerabut dari historisitasnya, pemimpin kelas dunia punya cara pandang  visioner, tembus jaman. Spektrum pemikiran saat mengambil keputusan  merentang jauh ke masa depan dan sekaligus bersauh jauh ke sejarah dan  kekayaan tradisi.
  Konsekuensinya, terhadap mal-praktek  kepemimpinan, Anda yang telah tercerahkan (berkat erudisi maupun fusi  budaya) terpanggil untuk berani menyatakan apa yang salah, menegur dan  menasehati dengan segala kesabaran. Maju menjelang tugas kepemimpinan  Anda, baik atau pun tidak baik waktunya. Siap sedia setiap saat, ini  soal komitmen.
-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting
Rabu, 24 Agustus, 2011 23:11
Catatan:  Artikel  ini dikontribusikan ke milis The Managers Indonesiaoleh Kontributor.  Sengketa atas Hak Kekayaan Intelektualmenjadi tanggung jawab Kontributor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar