Minggu, 11 September 2011

Keputusan Tiga Generasi

Oleh: Andre Vincent Wenas


  "Insta, opportune, importune: argue obsecra, increpa in omni patientia." Siap
sedialah, baik atau pun tidak baik waktunya, nyatakan apa yang salah, tegurlah
dan nasehatilah dengan segala kesabaran. Begitu nasihat cendekiawan bernama
Paulus alias Saulus kepada santrinya Timotius di sebuah padepokan (pesantren)
Yahudi di kawasan Timur Tengah, kira-kira 2000 tahun lalu.

***

  Konon katanya, bangsa Yahudi ini pandai, kohesif serta berdaya-tahan tinggi
lantaran pikiran mereka tatkala mengambil keputusan selalu mengacu dan
memperhitungkan dampaknya bagi 3 generasi ke depan (demi anak-cucu-cicit),
sekaligus berefleksi kepada 3 generasi ke belakang mempertimbangkan warisan
kebijaksanaan nenek moyang yang sangat dihormati dalam tradisi Yahudi.

  Terlepas dari betul tidaknya soal di atas, saya sempat tercenung. Kisah
bobroknya moral bangsa lewat fenomena BLBI, KKN, skandal pejabat, lumpur
Lapindo, pembalakan hutan, global-warming, banjir, dll, bukanlah peristiwa yang masing-masing eksklusif berdiri sendiri. Ada suatu pola umum yang jadi konteks bagi itu semua.

  Lantaran sempitnya cara pandang dan spektrum pemikiran yang pendek membawa konsekuensi gawat. Walaupun – celakanya – memang tidak mudah membedakan keputusan berdampak positif bagi 2 sampai 3 generasi ke depan. Seringkali keputusan berdampak positif dalam jangka panjang ini malahan sering tidak popular di jangka pendek. Sebaliknya, keputusan-keputusan nyaman di jangka pendek bisa jadi sangat popular, walaupun pada galibnya ia menyimpan bom waktu bagi anak-cucu. Di sinilah ‘tantangan & ketegangan kepemimpinan sejati’ (the true leadership challenges & tensions) diuji.

  Cara pandang, mind-set atau paradigma adalah seperti peta-mental, sehingga
krusial dalam meniti perziarahan hidup. Di jaman serba instan ini (seminar kiat
cepat kaya adalah yang paling laris!) maka caveat dari Al Gore patut kita simak,
“Our perspective is badly foreshortened in another way as well. Too often we are unwilling to look beyond ourselves to see the effect of our action today on our children and grandchildren. I am convinced that many people have lost their faith in the future, because virtually every facet of our civilization we are
beginning to act as if our future is now so much in doubt that it makes more
sense to focus exclusively on our current needs and short term problems. This
growing tendency to discount the value of investments made for the long term –
whether of wealth, effort, or caution…” (Al Gore, Earth In The Balance, Ecology
and The Human Spirit, 1992).

***

  Strategi sesungguhnya adalah soal komitmen. Donald N. Sull (bukunya: Why Good Companies Go Bad and How Great Managers Remake Them, 2005), merumuskan komitmen ke dalam 5 kategori: 1) Strategic frames. Inilah mental-models yang mempengaruhi cara pandang seorang dalam melihat dunianya. 2) Resources. Segala sumber daya mesti dijahit ke dalam strategi, sehingga bisa memastikan perusahaan bakal mampu melompat ke depan. 3) Processes. Setiap prosedur dan aktivitas yang menjamin pekerjaan beres. 4) Relationships. Relasi yang terbangun baik niscaya memperlancar organisasi mengakses segala sumber-daya yang dibutuhkan. 5) Values. Tatanan nilai adalah norma-norma yang mengikat sekaligus menginspirasi anggota organisasi.

  Kelima komitmen atau strategi berdaya tahan lama ini harus dibentang jauh ke
depan namun tanpa kehilangan perspektif historisnya. Jangan sampai pembangunan dilakukan dengan “merampok” masa depan anak-cucu kita. Isu lingkungan hidup dalam peradaban global adalah cerminan paling gamblang, namun dalam dunia korporasi hal ini pun relevan. Dunia dan korporasi macam apa yang akan kita warisi pada anak-cucu?

  Panggilan kepemimpinan yang sejati adalah panggilan kenabian (prophetic call).  Kata prophet dalam bahasa Inggris rupanya berasal dari bahasa Yunani prophete,  yang terdiri dari 2 suku kata: phemi (bicara) dan pro (sebelumnya). Jadi nabi bicara sebelum segala sesuatu terjadi! Tanpa tercerabut dari historisitasnya, pemimpin kelas dunia punya cara pandang visioner, tembus jaman. Spektrum pemikiran saat mengambil keputusan merentang jauh ke masa depan dan sekaligus bersauh jauh ke sejarah dan kekayaan tradisi.

  Konsekuensinya, terhadap mal-praktek kepemimpinan, Anda yang telah tercerahkan (berkat erudisi maupun fusi budaya) terpanggil untuk berani menyatakan apa yang salah, menegur dan menasehati dengan segala kesabaran. Maju menjelang tugas kepemimpinan Anda, baik atau pun tidak baik waktunya. Siap sedia setiap saat, ini soal komitmen.

-------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING)

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting
Rabu, 24 Agustus, 2011 23:11

Catatan:  Artikel ini dikontribusikan ke milis The Managers Indonesiaoleh Kontributor. Sengketa atas Hak Kekayaan Intelektualmenjadi tanggung jawab Kontributor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar