Rabu, 28 Desember 2011

Plus Ultra !

Oleh: Andre Vincent Wenas


“Coellum stellatum supra me, lex moralis intra me”– Immanuel Kant.

***

    Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku, itulah
kata-kata yang tertulis di batu nisan Immanuel Kant, seorang pemikir besar
Jerman yang hidup di abad ke-19. Baginya hukum moral itu hitam dan putih saja,
tidak ada area abu-abu, etika deontologisnya adalah sebuah tugas hidup, ia
bersifat imperatif-kategoris, tak ada tawar menawar.

***

    Tersebutlah sebuah kapal dari East India Company (semacam VOC-nya Inggris
dulu) sedang melintasi selat Gibraltar, peristiwa ini digambar sebagai ilustrasi
buku Novum Organum-nya Francis Bacon, dengan tambahan di bawahnya tertera motto
Plus Ultra yang artinya “lebih lagi”. Tentunya kata ini adalah simbolisasi
gairah ekspansionisme dan imperialisme Inggris demi mengumpulkan modal (capital)
dari tanah jajahannya. Di buku inilah Francis Bacon memuat tesisnya, knowledge
is power.

***

    Osama bin Laden tewas, dilansir bahwa di tempat persembunyiannya itu
ditemukan juga pelbagai macam koleksi film porno. Wallahualam! Yang jelas
hubungan diplomatik AS - Pakistan memanas. Amerika dipuji dan sekaligus dihujat
dunia. Ada yang menyambut gembira kematian Osama, dan ada pula yang sebal. Namun
di tengah euphoria  serta kekalutan situasi bernuansa politis-ideologis ini,
ternyatalah muncul kesempatan bisnis global.

    Setelah pasukan khusus marinir AS memporakporandakan markas persembunyian
Osama bin Laden,  tak lama berselang Perdana Menteri Pakistan Yousof Raza Gilani
bersama menteri pertahanannya Akhmad Mukhtar terbang ke China untuk
menegosiasikan paket pembelian sekitar 50 pesawat jet tempur JF-17 Thunder Jets.
Pesawat mesin tunggal dengan multi-role-fighter yang dikembangkan dalam
kerjasama antara China dan Pakistan ini dibandrol pada kisaran harga US$20juta
sampai $25juta per buah. Jadi transaksi ini bakal bernilai total sekitar
US$1milyar sampai $1,25milyar.

    Dominique Strauss-Kahn, chief of International Monetary Fund (IMF) terpaksa
lengser dari jabatan prestisiusnya lantaran skandal pelecehan seksual di New
York. Padahal lewat posisi ini ia telah menjadi kandidat kuat menuju kursi
kepresidenan Perancis. Situasi kaotik di aras eksekutif ini mencuatkan beberapa
nama kandidat untuk menggantikan tokoh kharismatik ini, termasuk Sri Mulyani
Indrawati (mantan menkeu Indonesia dan sekarang salah satu direktur IMF). Dan
bisa dipastikan bahwa “perebutan” posisi ini bukanlah pertarungan individual.
Selain kapabilitas masing-masing individu, setiap negara asal kandidat telah
mulai ‘kasak-kusuk’ kesana-kemari untuk menggolkan jagoannya masing-masing. Ada
prestise nasional di kancah internasional disamping meningkatkan aksesibilitas
ke pusat-pusat keuangan dunia. Ada tarik menarik kepentingan disini.

    Akhirnya Lee Kuan Yew dan rekan mantan perdana menteri Goh Chok Tong
mengundurkan diri dari kabinet pemerintah Singapura. Dalam komunike bersamanya
dikatakan bahwa mereka ingin membuka jalan mulus bagi para pemimpin muda
Singapura, “A younger generation wants to be more engaged in the decisions which
affect them,” selanjutnya dikatakan, “The time has come for a younger generation
to carry Singapore forward in a more difficult and complex situation.” Sebuah
langkah politik etis dan dinilai elegan oleh pelbagai kalangan.

***

    Kapital memang bisa mengalir kemana saja, senantiasa mencari ceruk-ceruk
kesempatan dimana pun berada, betapa pun kaotiknya peristiwa yang melingkupinya.
Namun juga ada dimensi lain yang penting, yaitu aspek kekuasaan sosial dari
kapital. David Harvey (bukunya: The Enigma of Capital and The Crises of
Capitalism, Profile Books - London, 2010) dengan lugas mengatakan, “There is,
however, another motivation to reinvest. Money is a form of social power that
can be appropriated by private persons. Furthermore, it is a form of social
power that has no inherent limit. There is a limit to the amount of land I can
posses, of the physical assets I can command. Imelda Marcos had 6,000 pairs of
shoes, it was discovered, after the overthrow of her husband’s dictatorship in
the Philippines, but that still constituted a limit in the same way that the
very rich cannot own billions of dollars an individual can command. The
limitlessness of money, and the inevitable desire to command the social power it
confers, provides an abundant range of social and political incentives to want
more of it. And one of the key ways to get more of it is to reinvest a part of
the surplus funds gained yesterday to generate more surplus tomorrow. There are,
sad to say, many other ways to amass the social power that money commands:
fraud, corruption, banditry, robbery and illegal trafficking.”

    Segenap penghuni planet bumi terus bergerak, dalam format arus orang, arus
barang, arus uang dan arus informasi. Rentangnya bukan lagi domestik namun
mondial, dan yang juga penting adalah akselerasi percepatan geraknya. Dan saat
ini kita semakin jelas membaca konturnya bahwa yang menjadi kausa penggerak
semuanya ini adalah hasrat akumulasi kapital berskala global. Lalu apakah hasrat
ini bisa menjadi tujuan yang bakal menghalalkan secara cara untuk mencapainya?
Di sini sebuah pertanyaan etis (global ethics) menyeruak menuntut jawaban.

    Hans Kung (A Global Ethics for Global Politics and Economics, 1997)
menegaskan, tak ada budaya bisnis tanpa budaya kepribadian! “Budaya bisnis,
selalu penting dan memiliki relevansi strategis, pada akhirnya terdiri dari
totalitas sikap ketegasan, nilai, kriteria, norma dan pola perilaku manajemen
dan pekerja dalam sebuah bisnis. Sebuah bisnis terdiri atas orang, dan karena
itu budaya bisnis mensyaratkan budaya kepribadian.” Kalau begitu, kepada setiap
kitalah pertanyaan itu terarah, yang jawabannya dituntut dengan semakin segera
pula.

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter: @andrewenas)


“Coellum stellatum supra me, lex moralis intra me”– Immanuel Kant.

***

    Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku, itulah
kata-kata yang tertulis di batu nisan Immanuel Kant, seorang pemikir besar
Jerman yang hidup di abad ke-19. Baginya hukum moral itu hitam dan putih saja,
tidak ada area abu-abu, etika deontologisnya adalah sebuah tugas hidup, ia
bersifat imperatif-kategoris, tak ada tawar menawar.

***

    Tersebutlah sebuah kapal dari East India Company (semacam VOC-nya Inggris
dulu) sedang melintasi selat Gibraltar, peristiwa ini digambar sebagai ilustrasi
buku Novum Organum-nya Francis Bacon, dengan tambahan di bawahnya tertera motto
Plus Ultra yang artinya “lebih lagi”. Tentunya kata ini adalah simbolisasi
gairah ekspansionisme dan imperialisme Inggris demi mengumpulkan modal (capital)
dari tanah jajahannya. Di buku inilah Francis Bacon memuat tesisnya, knowledge
is power.

***

    Osama bin Laden tewas, dilansir bahwa di tempat persembunyiannya itu
ditemukan juga pelbagai macam koleksi film porno. Wallahualam! Yang jelas
hubungan diplomatik AS - Pakistan memanas. Amerika dipuji dan sekaligus dihujat
dunia. Ada yang menyambut gembira kematian Osama, dan ada pula yang sebal. Namun
di tengah euphoria  serta kekalutan situasi bernuansa politis-ideologis ini,
ternyatalah muncul kesempatan bisnis global.

    Setelah pasukan khusus marinir AS memporakporandakan markas persembunyian
Osama bin Laden,  tak lama berselang Perdana Menteri Pakistan Yousof Raza Gilani
bersama menteri pertahanannya Akhmad Mukhtar terbang ke China untuk
menegosiasikan paket pembelian sekitar 50 pesawat jet tempur JF-17 Thunder Jets.
Pesawat mesin tunggal dengan multi-role-fighter yang dikembangkan dalam
kerjasama antara China dan Pakistan ini dibandrol pada kisaran harga US$20juta
sampai $25juta per buah. Jadi transaksi ini bakal bernilai total sekitar
US$1milyar sampai $1,25milyar.

    Dominique Strauss-Kahn, chief of International Monetary Fund (IMF) terpaksa
lengser dari jabatan prestisiusnya lantaran skandal pelecehan seksual di New
York. Padahal lewat posisi ini ia telah menjadi kandidat kuat menuju kursi
kepresidenan Perancis. Situasi kaotik di aras eksekutif ini mencuatkan beberapa
nama kandidat untuk menggantikan tokoh kharismatik ini, termasuk Sri Mulyani
Indrawati (mantan menkeu Indonesia dan sekarang salah satu direktur IMF). Dan
bisa dipastikan bahwa “perebutan” posisi ini bukanlah pertarungan individual.
Selain kapabilitas masing-masing individu, setiap negara asal kandidat telah
mulai ‘kasak-kusuk’ kesana-kemari untuk menggolkan jagoannya masing-masing. Ada
prestise nasional di kancah internasional disamping meningkatkan aksesibilitas
ke pusat-pusat keuangan dunia. Ada tarik menarik kepentingan disini.

    Akhirnya Lee Kuan Yew dan rekan mantan perdana menteri Goh Chok Tong
mengundurkan diri dari kabinet pemerintah Singapura. Dalam komunike bersamanya
dikatakan bahwa mereka ingin membuka jalan mulus bagi para pemimpin muda
Singapura, “A younger generation wants to be more engaged in the decisions which
affect them,” selanjutnya dikatakan, “The time has come for a younger generation
to carry Singapore forward in a more difficult and complex situation.” Sebuah
langkah politik etis dan dinilai elegan oleh pelbagai kalangan.

***

    Kapital memang bisa mengalir kemana saja, senantiasa mencari ceruk-ceruk
kesempatan dimana pun berada, betapa pun kaotiknya peristiwa yang melingkupinya.
Namun juga ada dimensi lain yang penting, yaitu aspek kekuasaan sosial dari
kapital. David Harvey (bukunya: The Enigma of Capital and The Crises of
Capitalism, Profile Books - London, 2010) dengan lugas mengatakan, “There is,
however, another motivation to reinvest. Money is a form of social power that
can be appropriated by private persons. Furthermore, it is a form of social
power that has no inherent limit. There is a limit to the amount of land I can
posses, of the physical assets I can command. Imelda Marcos had 6,000 pairs of
shoes, it was discovered, after the overthrow of her husband’s dictatorship in
the Philippines, but that still constituted a limit in the same way that the
very rich cannot own billions of dollars an individual can command. The
limitlessness of money, and the inevitable desire to command the social power it
confers, provides an abundant range of social and political incentives to want
more of it. And one of the key ways to get more of it is to reinvest a part of
the surplus funds gained yesterday to generate more surplus tomorrow. There are,
sad to say, many other ways to amass the social power that money commands:
fraud, corruption, banditry, robbery and illegal trafficking.”

    Segenap penghuni planet bumi terus bergerak, dalam format arus orang, arus
barang, arus uang dan arus informasi. Rentangnya bukan lagi domestik namun
mondial, dan yang juga penting adalah akselerasi percepatan geraknya. Dan saat
ini kita semakin jelas membaca konturnya bahwa yang menjadi kausa penggerak
semuanya ini adalah hasrat akumulasi kapital berskala global. Lalu apakah hasrat
ini bisa menjadi tujuan yang bakal menghalalkan secara cara untuk mencapainya?
Di sini sebuah pertanyaan etis (global ethics) menyeruak menuntut jawaban.

    Hans Kung (A Global Ethics for Global Politics and Economics, 1997)
menegaskan, tak ada budaya bisnis tanpa budaya kepribadian! “Budaya bisnis,
selalu penting dan memiliki relevansi strategis, pada akhirnya terdiri dari
totalitas sikap ketegasan, nilai, kriteria, norma dan pola perilaku manajemen
dan pekerja dalam sebuah bisnis. Sebuah bisnis terdiri atas orang, dan karena
itu budaya bisnis mensyaratkan budaya kepribadian.” Kalau begitu, kepada setiap
kitalah pertanyaan itu terarah, yang jawabannya dituntut dengan semakin segera
pula.

(artikel ini telah dikontribusikan oleh Kontributor ke Majalah MARKETING. Segala hal yang menyangkut sengketa atas Hak  atas Kekayaan Intelektual, menjadi tanggung jawab Kontributor)
Selasa, 29 November, 2011 03:11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar