Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala: ”Seorang  pemimpin memposisikan diri dibarisan terdepan bagi orang-orang yang  dipimpinnya, bukan bertengger diatas kepala mereka. ” 
Dibanyak  tempat, kita bisa mendengar orang yang mengeluhkan tentang kepemimpinan  seseorang. Biasanya, tentang atasannya. Bunyinya macam-macam, namun  intinya sama. Hal ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang cukup lebar  antara harapan orang-orang yang dipimpin dengan kualitas kepemimpinan  yang ditunjukkan oleh sang pemimpin. Kepemimpinan itu merupakan tanggung  jawab yang sangat berat. Setidaknya, begitulah yang pernah saya  rasakan. Oleh karenanya, hanya bisa ditunaikan oleh orang-orang yang  memiliki komitmen untuk melayani. Mereka yang hanya ingin dilayani tidak  akan mungkin berhasil menjalankan misi kepemimpinannya. Maka jika ada  suatu kelompok kerja yang berantakan, boleh jadi itu disebabkan karena  pemimpinnya belum melakukan apa yang seharusnya dia lakukan dalam  melayani orang-orang yang dipimpinnya. Memangnya apa yang harus  dilakukan oleh seorang pemimpin?
Salah  satu lokasi bermain favorit saya sewaktu kecil adalah stasiun kereta  api. Hal paling menarik dari kereta api adalah ketika lokomotifnya  bergerak menarik gerbong-gerbong yang berjejer. Sebuah lokomotif lebih  sering berada di depan. Dia juga tidak pernah meninggalkan salah satu  gerbongnya tertinggal ditengah jalan. Persis seperti itulah makna  kepemimpinan. Sebagai pemimpin, kitalah yang menjadi lokomotif yang  menentukan arah dan kecepatan gerakan anak buah kita seperti lokomtif  yang menarik semua gerbongnya.  Jika lokomotif itu diam,  maka gerbong pun diam. Makanya, jika kelompok kerja kita dinilai kurang  dinamis, kita perlu introspeksi; apakah sebagai seorang pemimpin kita  sudah menjadi lokomitif yang yang baik? Bagi Anda yang tertarik menemani  saya belajar menjadi lokomotif kelompok kerja yang baik, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:    
1.      Menjadi mesin bagi kelompok kerja.  Sebuah perusahaan hanya merekrut orang-orang terbaik. Sistem seleksi  mereka sangat ketat sehingga orang sembarangan tidak mungkin bisa lulus.  Kemudian orang-orang terbaik itu dibagi kedalam beberapa kelompok  dengan bobot pekerjaan yang sebanding. Di awal tahun, setiap team  mengajukan gagasan-gagasan yang brilian. Lalu mereka mendapatkan  kesempatan untuk merealisasikannya. Di akhir tahun, sebagian besar  kelompok menghasilkan pencapaian sesuai harapan. Tetapi, ada satu team  yang  menonjol. Bukan hanya hasilnya yang lebih baik, melainkan juga lebih  banyak lagi inisiatif yang mereka buat. Antusiasme mereka sangat tinggi.  Dan hubungan emosional mereka sangat erat. Apa yang terjadi? Sama  seperti gerbong-gerbong yang berjejer di stasiun kereta api di kota  kewedanaan kami. Pergerakan mereka sangat ditentukan oleh lokomotifnya.  Bahkan orang-orang terbaikpun membutuhkan seorang pemimpin yang sanggup  menggerakkan mereka. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi sekumpulan  orang hebat yang memiliki begitu banyak kemampuan namun tidak  terdayagunakan. Sebagai seorang atasan, kita adalah mesin bagi  orang-orang yang kita pimpin. Jika kita tidak bergerak, mungkin mereka  akan tetap jalan ditempat. Maka kitalah yang menentukan baik buruknya  kinerja mereka.
2.      Menentukan arah pergerakan kelompok.  Di stasiun itu ada begitu banyak rel yang saling berseliweran. Rumit  sekali. Masing-masing menghubungkan jalur utama dengan pool  gerbong-gerbong kosong. Setelah gerbong yang satu disambungkan dengan  gerbong yang lainnya, lokomotif membawa gerbong-gerbong itu memasuki  jalur yang seharusnya, lalu melaju ke arah tujuannya masing-masing.  Bahkan orang-orang terbaikpun membutuhkan seorang pemimpin yang sanggup  memberikan arah kepada mereka. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi  sekumpulan orang hebat yang bergerak kearah mana saja yang mereka suka.  Sebagai seorang atasan, kita adalah penentu arah bagi orang-orang yang  kita pimpin. Arah yang dimaksud bisa berupa sasaran-sasaran jangka  pendek, atau jangka menengah. Bisa juga berupa visi jangka panjang.  Kearah yang kita – sebagai pemimpin – tentukan itulah semua orang akan  bergerak secara serempak. Jika kita tidak memberi arah yang jelas,  mungkin mereka akan memasuki jalur yang keliru sehingga tidak bisa  sampai ke tempat yang seharusnya kita tuju.
3.      Menempatkan diri digaris terdepan.  Sepanjang yang saya ingat, lokomotif itu jarang sekali berada diposisi  yang paling belakang. Dia lebih sering berada di garis paling depan.  Hanya sesekali saja dia ‘mendorong’ gerbong, yaitu ketika dia sedang  mengatur letak parkir di pool atau pada saat sedang menyambungkan  gerbong yang satu dengan lainnya. Dia memang butuh maju dan mundur.  Namun ketika rangkaian kereka api itu sudah siap untuk melaju ke tempat  tujuan; sang lokomotif senantiasa berada didepan. Begitu pula halnya  dengan seorang pemimpin. Dia tidak hanya berteriak dibelakang meja. Dia  juga bersedia  berada dibarisan paling depan perjuangan yang dihadapi anak buahnya.  Dalam konteks ini, tidak berarti kita mengerjakan tugas-tugas mereka.  Karena dalam kepemimpinan berlaku premis “Do your part, I do mine.”  Setiap orang punya tugas dan perannya masing-masing. Namun semua peran  itu hanya akan bisa berjalan dengan baik, jika setiap komponen  menunaikan tugasnya dengan baik, dan seperti lokomotif – pemimpinnya  berada di garis terdepan usaha-usaha yang mereka perjuangkan. 
4.      Terus menerus menyemangati.  Sebelum kereta berangkat, terdengar bunyi peluit yang khas sekali.  Tidak ada peluit lain yang bunyinya seperti itu. Sesaat kemudian  lokomotif di stasiun kereta kami mengepulkan asap hitam diiringi bunyi  ‘gujes-gujes’ tiada henti. Gerbong-gerbong mengikutinya dibelakang  sambil mengeluarkan bunyi ‘gemeretak duk duk duk’. Gujes-gujes di depan  dibalas dengan geretak duk duk duk di belakang. Disepanjang perjalanan  itu, seluruh rangkaian gerbong kereta api berlari sambil menyanyikan  lagu mars penyemangat yang terus memnggelora. Seperti itulah gambaran  sebuah team yang  seharusnya. Pemimpinnya berlari di garis depan sambil tiada  henti-hentinya menyemangati, sedangkan orang-orang yang dipimpinnya  terus mengikuti sambil meneriakan yel-yel pembakar semangat. Orang-orang  yang kita pimpin, membutuhkan dorongan semangat yang tidak pernah  putus-putusnya. Maka sebagai seorang pemimpin, kita berkewajiban untuk  menyumplai dorongan semangat itu. Selama kita tidak mengenal lelah  menyemangati mereka, maka mereka tidak akan pernah kehilangan semangat  itu. Karenanya, salah satu fungsi penting dalam proses kepemimpinan kita  adalah, terus menerus menyemangati mereka.
5.      Menambahkan ‘human touch’.  Menjadi pemimpin yang memiliki sifat-sifat lokomotif itu sudah termasuk  top banget. Namun, ada satu aspek yang tidak dimiliki oleh lokomotif  meskipun hal itu merupakan fungsi kepemimpinan yang sangat penting. Ini  bukan soal kelemahan pada lokomotif, namun fakta yang menunjukkan bahwa  memimpin manusia itu sungguh sangat berbeda dengan memimpin  ‘gerbong-gerbong’. Sebagai seorang pemimpin, kita membutuhkan pemahaman  ini. Realitasnya, kita memimpin ‘mahluk’ yang tidak begitu saja  mengikuti kita, atau manut saja terhadap apapun yang kita mintakan  mereka melakukannya. Oleh sebab itu, kita membutuhkan kemampuan yang  disebut ‘human touch’, alias sentuhan manusiawi. Artinya, kepemimpinan  yang ‘memanusiakan’ mereka. Karena manusia ingin didengar, maka  memanusiakan berarti bersedia mendengar. Karena manusia punya aspirasi,  maka itu juga berarti kesediaan untuk mendorong dan menyokong aspirasi  mereka. Karena manusia mempunyai keinginan untuk dihargai, maka human  touch juga berarti kesediaan untuk menghormati dan menghagai harkat  martabat orang-orang yang kita pimpin. Pendek kata, seorang pemimpin  yang bersedia untuk mempertimbangkan seluruh aspek kemanusiaan  orang-orang yang dipimpinnya.
Guru  kehidupan saya mengabarkan bahwa diantara orang-orang yang paling  disukai oleh Tuhan dihari perhitungan adalah orang-orang yang semasa  hidup menjadi pemimpin yang adil. Sebaliknya, orang yang paling dibenci  Tuhan pada hari itu adalah orang-orang yang semasa hidupnya menjadi  pemimpin yang lalai. Maka menjadi pemimpin adalah sebuah pertaruhan;  untuk menjadi pribadi yang dicintai Tuhan, atau dibenciNya. Jika  sekarang kita sudah mendapatkan amanah kepemimpinan itu, maka dihari  kebangkitan nanti kita akan dihadapkan pada kedua kemungkinan itu.  Mumpung masih ada waktu, mari kita belajar lagi untuk menjadi pemimpin  yang lebih baik. Agar kelak, kita termasuk kedalam golongan orang-orang  yang dicintai Tuhan berkat amanah kepemimpinan yang kita tunaikan.  
Mari Berbagi Semangat!
Trainer Bidang Kepemimpian dan Pembedayaan Diri
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Catatan Kaki:
Didunia: kepemimpinan adalah hasil melalui orang lain. Diakhirat: kepemimpinan adalah amal untuk orang lain.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar