Kamis, 29 Desember 2011

Jangan Jadikan Pekerjaan Sebagai Tujuan, Tapi...(2)



Tulisan ini merupakan lanjutan dari note saya sebelumnya Jangan jadikan pekerjaan sebagai tujuan, tapi...(1). Sebagaimana janji saya kepada Anda, sekarang saya memnuhinya, dan menuntaskan apa yang telah saya mulai.

Pilihan ada di tangan Anda

Namun, Pak Johny juga menceritakan perbedaan, bila memutuskan menjadi pengusaha. Setidaknya ada dua hal. Sehingga, hal itu membuat para profesional rela membuang kemewahan dan memulainya dari bawah. Bahkan beliau termasuk di antaranya. Pak Johny menjelaskan;

Yang pertama adalah waktu. Saya ingin menentukan waktu saya sendiri. Di kala sibuk, saya memang bekerja 18 jam sehari dan 7 hari seminggu. Ini akan sangat sering terjadi, terutama di awal-awal mengerjakan bisnis Anda. Namun, sebagai gantinya, di waktu senggang, saya bebas menetukan waktu. Saya bebas jalan-jalan bersama keluarga dan teman-teman. Menyenangkan bukan?

Yang keuda, kebebasan. Sebagai pengusaha, saya adalah pemilik kebebasan. Saya bebas membuat keputusan. Saya tidak perlu meminta izin atasan. Memang dampaknya berbeda. Sebagai karyawan, perusahaan akan menanggung kesalahan saya. Namun, sekarang saya yang akan menanggungnya”.

Pekerjaan bukan sebagai tujuan

Setelah menceritakan kedua artikel di atas kepada ibu Diana. Lalu, saya menambahkan dengan pemikiran yang hadir dalam kepala saya. Berdasarkan perasaan yang saya dapatkan dari memahami emosi di balik kata-kata, pada inti masalah di atas. Saya hanya menyarankan Jangan jadikan pekerjaan sebagai tujuan, tetapi cukup sebagai jembatan atau batu loncatan, menuju cita-cita yang ibu Diana inginkan”. Karena menurut saya, kondisi dilematis yang ibu Diana alami sekarang, disebabkan oleh, ibu Diana menjadikan pekerjaan atau bisnis yang ditawarkan oleh temannya, sebagai tujuan.

Kebebasan memilih secara mutlak (freewill)

Sementara itu, pernahkah Anda mendengar atau membaca konsep mengenai freewill? Supaya lebih menguatkan sudut pandang di atas, saya menuaikan pejelasan tentang kebebabasan memilih ini, kepada ibu Diana.

Saya pertama sekali menerima konsep freewill itu, saat mengikuti pelatihan Managemen Kualitas Diri di Situ Gintung. Fasilitatornya Ustaz Supardi Lee. Beliau menjelaskan. ”Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih secara mutlak pada awalnya. Namun, setelah itu, kebebasan memilih jadi terbatas, karena harus menerima konsekwensi dari pilihan tersebut”.

Beliau mencontohkan. ”Untuk menjadi muslim, itu adalah pilihan, bukan karena garis keturunan. Jadi, mau memeluk kristen, Buddha, Hindu atau agama apapun, saya bebas memilihnya. Dan ternyata, saya memutuskan secara sadar, Islamlah pilihan saya”. Kata beliau. ”Nah, setelah saya memilih, maka saya harus bertangung jawab terhadap sesuatu yang mengikat dengan pilihan saya. Apa itu? Aturan-aturan yang di tentukan oleh islam, mau suka atau tidak suka, saya kudu mengikutinya”. Ustaz Supardi Lee menjelaskan dengan penuh meyakinkan.

Paket kereta Ekonomi Vs Eksekutif

Kemudian, untuk menjelaskan bagaimana bertangung jawab dengan pilihan itu. Saya teringat dengan penjelasan seorang guru. Dia membuat metafora seperti perjalanan ke luar kota, menggunakan kereta. Kalau kita berangkat naik kereta ekonomi, harga yang kita keluarkan lumayan terjangkau, dan sangat murah. Tapi, di dalam nya ada paket yang tak dapat kita tolak. Tidak bisa tidak menerima berupa : Kalau, ada kereta eksekutif lewat, maka ekonomi antri jalur dulu sebentar. Terus, di dalamnya berdesakan. Ada ayam nya juga. Penjual asongan selalu menjajakan makanan tiap stasiun. Panas sudah pasti. Namun, bisa sangat dingin, via AC alam, angin yang berhembus karena kaca jendela terbuka saat malam hari.

Tapi, kalau pakai kelas Eksekutif. Kita harus membayar lebih mahal. Meski demikian, kita mendapatkan paket  berupa; Tempat duduknya dua-dua, terbuat dari bahan yang empuk. Sandaranya bisa di rebahkan. AC nya, kalau malam hari kedinginan dan harus pakai selimut. Kalau siang hari membuat perjalanan terasa adem. Mau tidur, insyAllah mata bisa terpejam. Mau makan, tinggal panggil, ada yang melayani. Atau menuju keruang cafe.

Semua adalah pilihan

Semua ini adalah pilihan. Seperti artikel pak John di atas. Pilihan ada di tangan Anda. Biasanya, pilihan itu menjadi bijak, tatkala kita menyadari, pilihan itu sebagai alat atau cara, bukan sebagai tujuan. Tetapi, bila menganggap pilihan sebagai tujuan, maka kesulitan dalam memilihpun, menjadi persoalan baru.

Selain itu, saya tidak menyarankan apa-apa lagi, kecuali mengajak ibu Diana, supaya lebih menyadari diri seutuhnya hidup di dunia. Sebagai siapa hidup di dunia ini? Untuk apa diberikan kesempatan oleh Allah hidup di dunia ini? Karena, saat alam diciptakan, segala sesuatu sudah Allah tentukan secara proporsional. Para pejalan spiritual sering menggunakan istilah, sesuai kodratnya masing-masing.

Hidup penuh manfaat karena hidup hanya sekali

Akhirnya, saya menutup balasan surat kepada ibu Diana. Hidup hanya sekali. Mari kita menjalaninya penuh makna. Seuai kodrat kita masing-masing. Ayam itu kalau bersuara berkokok, Anjing mengonggong, bebek kwek-kwek. Kambing dan sapi di antara maksud kehadiran mereka, menjadi hewan qurban (persembahan) manusia, tanda ketaatan makhluk kepada sang pencipta.

Bila hewan-hewan itu Allah tetapkan sesuai kodratnya masing-masing. Terus, apakah kita sudah seperti kodratnya kita sebagai manusia? Maafkan, sharing ini saya akhiri dengan pertanyaan ya...

Rahmadsyah Mind-Therapist

Ciganjur, Selasa, 27 Desember 2011

Senin, 26 Desember, 2011 21:53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar