Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala:  ”Sekalipun sudah berada dijalan yang benar, namun jika cara melintasi  jalan itu tidak benar, maka kita belum menjadi orang yang benar.” 
Sudah  cukup sering kita berhadapan dengan orang-orang yang menganggap dirinya  benar. Melakukan hal-hal yang benar. Dan memperjuangkan sesuatu yang  diyakininya benar. Anehnya, kebenaran yang diperjuangkan itu berbenturan  dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam lingkup yang lebih besar.  Orang-orang semacam itu tidak hanya bisa kita temui di jalan. Juga di  lingkungan tempat kita tinggal. Maupun di kantor tempat kita bekerja.  Orang-orang itu tidak berada jauh. Banyak yang dekat dengan kita. Ada  yang sangat dekat dengan kita.  Bahkan ada yang sedemikian  dekatnya sehingga jantungnya adalah jantung kita juga. Ehm, kalau  begitu; orang itu adalah diri kita sendiri dong ya. Kita yang sering  merasa telah berada di jalan yang benar, seolah hal lain di luar kita  adalah salah. 
Saya  punya janji rapat presentasi program pelatihan saya dihadapan management  sebuah group perusahaan. Berbekal alamat lengkap lokasi meeting, maka  saya pun meluncur ke lokasi. Karena kurang faham wilayah itu, saya  sesekali berhenti untuk menanyakan arah. Sesuai petunjuk orang yang  ditanya, saya pun belok kanan. Alhamdulillah, nama jalannya sudah pas  seperti seharusnya. Tinggal mencari menara perkantoran itu, sampailah.  Namun, saya tidak kunjung menemukan menara itu, hingga nama jalan yang  dilalui berubah. Saya putar arah, sampai diujung perempatan lagi. Menara  itu tetap tidak ada. Apa pasal? Rupanya, jalan di seberang perampatan  itu juga masih sambungannya. Seharusnya tadi saya belok kiri, karena  menara itu ternyata berada di sebelah sana. Kejadian ini memberi saya  pelajaran berharga, bahwa; “Sekalipun sudah berada  dijalan yang benar, namun jika cara melintasi jalan itu tidak benar,  maka kita belum menjadi orang yang benar.” Ini bukan sekedar soal  mencari alamat tertentu, melainkan isyarat Ilahi tentang cara  menelusuri sepanjang perjalanan hidup kita. Bagi Anda yang tertarik  menemani saya belajar memahami isyarat itu dalam menjalani hidup, saya  ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini: 
1.      Berhenti merasa benar sendiri.  Misalkan saja Anda sedang berada di jalan Jenderal Sudirman. Saat  menelepon teman Anda, dia mengaku jika dia pun sedang berada di jalan  yang sama. Apa yang selanjutnya Anda lakukan? Anda mengatakan bahwa dia  berdusta? Tidak. Mungkin malah Anda akan bertanya; “Elu ada disebelah  mana? O, gitu. Ya udah elu jangan kemana-mana. Gue langsung meluncur  kesana.” Kan begitu. Mudah bagi kita untuk memahami hal itu. Yang sulit  adalah ketika kita merasa semua kebenaran ini milik kita seluruhnya  sedangkan semua orang lain salah. Karena sama-sama ngotot, maka kita  saling mempertentangkan kebenaran masing masing. Padahal, boleh jadi  sebenarnya kita berada pada ‘rute jalan’ yang sama, namun  kita  berada pada ‘spot’ yang berbeda. Jika Anda bisa mengatakan ‘ya udah elu  tunggu aja, sebentar lagi gua kesana’ di Jalan Jenderal Sudirman itu,  kenapa sih kita tidak bisa mengatakan;’Elu bener. Gue pun akan punya  keyakinan serupa itu jika menggunakan sudut pandang nyang entu…” Itu loh  yang sering kita sebut sebagai empati itu. Kita memahami latar belakang  dan sudut pandanganya, sehingga bisa memahami pendapatnya. Dan sikap  serupa itu, hanya bisa kita miliki jika kita berhenti untuk merasa benar  sendiri.
2.      Jalan itu bukan lokasi.  Kalau kita sudah berada di sebuah jalan, hal itu tidak berarti kita  telah melintasi semua bagian dari jalan itu, begitulah faktanya. Saya  sudah berada dijalan itu. Tapi saya tidak bisa menemukan lokasi rapat  itu. Faktanya, jalan adalah lorong untuk mengantarkan kita ke lokasi  yang kita tuju. Masalahnya, jika jalan hidup kita, jalan pikiran kita,  jalan keyakinan kita sudah benar kita sering merasa jika kita sudah  berada di ‘lokasi’ yang benar. Makanya, kebenaran sering kita amalkan  secara membabi buta. Kita merasa berhak menindas orang lain atas nama  kebenaran. Kita boleh  memaki bawahan atas nama kebenaran. Kita boleh menghujat atasan dan  pemimpin atas nama kebenaran. Dan kita, boleh ‘melakukan apapun juga’  selama kita berpijak diatas sendi-sendi kebenaran. Tidak bung. Anda baru  sampai di Jalan tempat kebenaran itu ada. Namun Anda, belum sampai di  lokasi kebenaran itu sendiri. Tak heran jika banyak atasan yang  semena-mena. Banyak bawahan yang suka membangkang. Banyak teman yang  berani melakukan apa saja demi memenangkan persaingan. Karena mereka  lupa; bahwa yang mereka perjuangkan itu bukanlah sebuah kebenaran.  Melainkan sebuah perjalanan yang belum selesai ditempuhnya. Maka  tempuhlah perjalanan menuju kebenaran itu terlebih dahulu. Pastikan Anda  sampai di lokasi kebenaran itu berada. Izinkan semua orang dari  berbagai penjuru bumi menggunakan bermacam alat transportasi, dan  menempuh jalur-jalur yang berbeda bisa tiba ditempat yang sama. Setelah  berada disana; kita baru akan menyadari jika ternyata; kita berbeda ini  memiliki tujuan dan kebenaran yang sama. Oh, ternyata jalan itu,  bukanlah lokasi.
3.      Tidak ada jawaban yang salah. Saya  salah berbelok. Harusnya ke kiri, bukan ke kanan. Tapi, itu saya  lakukan karena seseorang memberitahukan untuk belok kanan. Lho, kok  kesalahan saya malah ditimpakan kepada orang lain yang sudah berusaha  untuk memberi bantuan. Saya bertanya ‘jalan ini ada dimana?’. Dia  bilang, ‘diperempatan itu, Bapak belok kanan.” Dia benar. Bahkan  sekalipun orang itu menjawab salah, bukan salah dia. Yang salah adalah  saya yang bertanya kepada orang yang tidak mengetahui jawabannya. Kita?  Oooh, sering sekali menimpakan nasib sial, kesulitan, kegagalan,  kekecewaan dan semua perasaan yang tidak menyenangkan sebagai ulah yang  diakibatkan oleh orang lain. Saya melakukan ini karena istri saya tidak  merawat diri. Saya melakukan itu karena suami saya tidak perhatian lagi.  Karir gue mandek gara-gara teman gue suka menjilat atasan. Saya malas  kerja karena suasana di kantor kurang kondusif. Saya sering telat karena  teman dan boss saya juga begitu gak diapa-apain. Lha, kok semua  keburukan, kesialan, dan kelemahan kita malah ditimpakan penyebabnya  kepada orang lain. ‘Lantas, elo mau aja menyerahkan nasib kepada orang  lain?’ Begitu saya mendengar  teguran keras dari dalam diri  saya. Jikapun orang lain telah menyebabkan kita menderita; belum tentu  karena mereka sengaja. Mungkin karena mereka tidak tahu apa yang harus  mereka lakukan untuk membantu kita dengan lebih baik. Maka ketika kita  mendapatkan  jawaban atau bantuan dan perlakuan apapun dari orang lain, bukan salah  mereka jika kita menerimanya. Kitalah yang mesti belajar untuk  memilahnya; dan menjaga diri dari dampak buruknya.
4.      Tidak semua pengguna jalan tertib aturan.  Orang  tidak sengaja menyulitkan kita? Iya. Tapi, kadang kita bisa kecipratan  dampak buruk dari perilaku kotor orang lain. Sama seperti pengendara di  jalan-jalan yang kita lalui. Ada saja tingkah polah pengendara lain yang  menyusahkan kita. Angkot yang berhenti sembarangan. Motor yang ngecot  kiri-ngecot kanan. Bis kota yang ngetem di tikungan. Bahkan, ada juga  mobil pribadi yang menggunakan sirene polisi hanya untuk menakut-nakuti.  Sama seperti hidup kita. Meskipun kita sudah berada di jalan yang  lurus, namun banyak  juga orang yang melintasinya secara ugal-ugalan. Mereka kelihatan  percaya diri dengan kengawurannya. Mereka baru meringis nangis kalau  pelipisnya sudah teriris oleh kerikil dari aspal yang terkikis. Sekitar  tahun 1998, saya bahkan pernah menjadi korban tabrak lari. Seperti  itulah kira-kira fakta hidup kita. Jangan pernah pergi melintasi jalan  manapun jika tidak ingin bertemu dengan para pengendara ceroboh dan  arogan seperti itu. Jangan pergi ke kantor jika tidak ingin bertemu  dengan orang-orang yang suka menimpakan kesalahan kepada orang lain.  Jangan bekerja jika tidak mau dibentak. Jangan keluar rumah jika tidak  ingin berpapasan dengan tetangga judes. Jangan keluar kamar jika ogah  melihat wajah marah orang serumah. Jangan hidup jika tidak mau  menghadapi konsekuensi-konsekuensi lumrah sebagai mana layaknya. Tidak  semua pengguna jalan tertib aturan. Begitulah faktanya. Maka mari kita  hadapi kenyataan itu. Dan mari kita lintasi semua jalan dan jalur  kehidupan yang semertinya kita tempuh. Meski berhadapan dengan resiko  serupa itu.
5.      Jalan yang tidak pernah menyesatkan. Ada  banyak jalan menuju ke Roma, katanya. Itu benar. Tetapi tidak berarti  bahwa semua jalan bisa membawa kita ke Roma. Semua orang boleh memilih  jalan hidupnya masing-masing, katanya. Itu benar. Tetapi, tidak berarti  bahwa seseorang boleh bertindak semau udele dhewek. Kenyataannya ada  jalan buntu. Bahkan jalan yang menyesatkan. Kewarasan kita patut  dipertanyakan jika sudah tahu itu buntu tapi masih maksa menembusnya  juga. Sudah tahu itu sesat, eh ngotot saja hanya karena merasa  nikmat. Makanya, meski kita boleh memilih jalan hidup; kita perlu  memilih jalan hidup yang tidak pernah menyesatkan. Adakah jalan seperti  itu? Ada. Yaitu, jalan yang dibentangkan berdasarkan petunjuk dan  bimbingan Tuhan. Untuk menemukan jalan itu, tidak cukup sekedar bertanya  kepada pemuka agama. Pertama, mereka juga manusia yang bisa salah  seperti kita. Kedua, pemuka agama tidak memiliki kemampuan untuk memaksa  kita mengikuti kata-katanya. Ketiga, hanya diri kita yang bisa membuka  pintu hati agar isyarat dan cahaya Ilahi bisa memasuki relung  terdalamnya. Kita akan bisa menemukan jalan Ilahi itu hanya jika terus  mencari, menerima, menyadari, mempersiapkan dan memahami tanda-tandanya.  Dan salah satu tanda itu adalah; ketika kita ikhlas menjalani peran  yang sehari-hari kita mainkan. Tanpa keikhlasan itu, jelas sekali jika  kita tidak sedang melangkah dalam jalan yang tidak pernah menyesatkan  itu. 
Setelah  sekian puluh tahun perjalanan hidup kita, sudahkah kita menemukan jalan  hidup yang benar-benar tepat untuk kita lalui? Jika kita pernah salah  jalan, tak usah terlampau gusar. Segeralah memutar arah, lalu ikutilah  jalur yang seharusnya. Setelah berada di jalan yang kita kira  benar pun, teruslah memeriksa apakah kita berada di lajur yang benar?  Boleh jadi, jalan kita sudah benar, namun kita berada di lajur yang  salah, atau menuju kearah yang salah,  dan mengikuti rambu yang salah.  Mengapa?  Karena sesuatu yang terlihat benar itu, belum tentu benar. Hanya ada  satu kebenaran mutlak. Yaitu kebenaran yang datangnya dari Tuhan.  Mengapa kebenaran dari Tuhan sifatnya mutlak? Karena Tuhan itu hanya  satu, sehingga kebenaran yang ditentukanNya tidak ada yang bisa  mempertanyakan. Mempertentangkan. Atau memberi tandingan. Dalam jalan  kebenaran yang dilandasi petunjuk Ilahi itu; yuk, kita sama-sama melangkah.
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Isyarat  kebenaran Ilahi hanya bisa ditangkap oleh pribadi yang menyediakan jiwa  dan raganya untuk selalu bersih dalam menjalani hidupnya.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar