Rabu, 21 Desember 2011

RISALAH OPINI & DISKUSI SI SUATU MILIS

Artikel Ringan yg Ditulis di Saat Jenuh Menunggu Delay Pesawat (Suatu Kajian Antropologi Bisnis)
Oleh:  Ratmaya Urip
Dear Managers,

Sudah lama sekali  benak ini  dijejali dengan  banyak pertanyaan. Di antaranya adalah,  mengapa ya banyak teman-teman Madura yang tacit dalam jual beli besi tua? Mengapa pula teman2 dr Padang piawai dalam berdagang? Sedang kawan2 dari Bali sangat intens menggeluti pariwisata. Teman-teman Batak saya banyak yg menjadi penyanyi dan pengacara, teman-teman Melayu di Riau senang berpantun, sementara teman2 Tionghoa banyak yg  merajai bisnis

Di kesempatan lain saya coba cermati, mengapa orang-orang Jawa. Khususnya Jawa dr sub etnis Mataraman tekun dalam bertani atau selalu ingin jadi priyayi (baca: birokrat).

Sedang sama-sama dari Jawa Sub Etnis Mataraman, namun asalnya dari Wonogiri, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek dan Tulung Agung ternyata perilaku atau stereotip antropologisnya berbeda dengan main stream Jawa-Mataraman pada umumnya, krn yg terakhir ini  gemar merantau? (Catatan: Etnis Jawa terbagi dlm berbagai sub etnis, yaitu Jawa Mataraman, yg mendiami wilayah dengan Plat Nomor Polisi dengan huruf Ganda: AA, AB, AD, AE dan AG. Di Jawa biasanya No. Polisinya adalah huruf tunggal seperti: B, D, H, L, M, dll, kecuali wilayahJawa-Mataraman. Di samping Jawa Mataraman ada Jawa-Banyumasan, Jawa-Tegal, Jawa-Semarangan atau orang Jatim menyebutnya sebagai Jawa-Kulonan, Jawa-Arek, Jawa-Tengger, Jawa-Osing, dan Jawa-Cirebon. Setelah coba saya pelototi, ternyata masing2 memiliki stereotip antropologi bisnis yg berbeda.

Belum lagi jika dihadapkan pada fenomena, mengapa orang Jawa Mataraman kok suka masakan yang manis, Jawa-Arek suka petis atau yg asin, orang Sunda suka lalapan, orang Padang suka pedas, dan sebagainya.

Di Jawa Timur, teman2 dr Coca Cola, harus bisa menyikapi, mengapa di Madura lebih banyak Sprite yg terjual. Di kota2 besar yang laku adalah Coke atau Cola, sementara di daerah Mataraman ( Kediri , Blitar, Madiun, Ponorogo, dan sekitarnya)  lebih laris Fanta.

Setelah itu saya mencoba untuk mengembangkan dengan  mencari tahu, mengapa ya, di daratan Cina, terdapat perbedaan yg cukup signifikan antara yang tinggal di sebelah utara yg sehari2 memang sdh berbahasa Mandarin, dengan yang di sebelah selatan, yg lebih sering menggunakan Cantonese, Hokkian, atau Khek.

Di samping itu ternyata beda pula jenis2 masakannya.
Benang merah yg menghubungkan  antropologi dengan bisnis, semakin terkuak setelah saya memelototi perilaku bisnis dari berbagai etnis yang membentuk Amerika Serikat menjadi seperti sekarang ini.
Amerika Serikat, dibentuk oleh para imigran dari belahan dunia yg lain dengan etos antropologis yg berbeda.

Orang Amerika Serikat keturunan Jerman yg merupakan etnis terbesar jumlahnya, lebih suka bisnis di sektor riil, seperti manufaktur, jasa, dan farming serta menjadi militer.
Mereka tidak suka menjadi birokrat, maka dari 44 Presiden Amerika Serikat mulai dari George Washington sampai Barack Obama hanya berkontribusi dengan 2 Presiden saja, yaitu Hoover dan Eidenhower. Sebagai etnis terbesar di Amerika Serikat, etnis Jerman  beda dengan etnis Jawa yg merupakan etnis terbesar di Indonesia ,  yg menempatkan 5 dari 6 Presiden di Republik Indonesia . Meskipun Presiden Soekarno ada darah Bali-nya.

Di Amerika Serikat, justru etnis Irish yang memberikan kontribusi terbesar bagi Presiden Amerika Serikat. Karena lebih dari 50 persen dr 44 Presidennya adalah keturunan Irish.  Nama2 beken Kennedy, Clinton, Reagan, Bush, Nixon, dll adalah marga atau fam dr Irish. Bahkan Presiden Obama juga berdarah Irish dari ibunya.
Etnis Jews meskipun jumlahnya hanya sekitar 7,5 juta jiwa dari total penduduk Amerika Serikat yg jumlahnya 311,8 juta jiwa menguasai Finance, Science, IT, Media and Entertainment. Keturunan Eropa Timur dan Spanish menguasai Pertanian, etnis Afro-American mendominasi olah raga dan hiburan, dan sebagainya.

Rahasia mengapa Cina dapat menguasai Amerika Serikat dalam persaingan bisnis, itu karena mereka cerdik dalam memanfaatkan antropologi untuk keperluan bisnis. Mereka tahu jika bisnis di bidang manufaktur mereka berhadapan dengan etnis Jerman. Di bidang IT, Finance, Media, dan Science mereka berhadapan dg etnis Jews. Olah raga dengan etnis Afro-American. Di bidang pertanian dg etnis Eropa Timur dan Spanish. Cina mempelajari stereotip antropologis masing2 etnis di Amerika Serikat, untuk menaklukkannya. Strategi tersebut juga diterapkan untuk menginvasi seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia .

Khusus Indonesia , mereka tahu, bahwa stereotip antropologis orang2 Indonesia relatif suka barang murah, suka nawar, dan tentu saja tdk begitu berorientasi pada kualitas. Maka barang2 yg masuk ke Indonesia ya sesuai dengan stereotip tsb.

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip
Senin, 25 Juli, 2011 10:48
============= ==========

Diskusi & Opini:

 

1.  Bpk. Andre:

Wah hebat pak Urip. Bener juga uraiammya.
So kesimpulannya apa donk ?
Andre
go...go...go...to the top
Senin, 25 Juli, 2011 11:36
=========== ==========
Ayo kapan pak tatap muka.
Pencerahannya ditunggu .
Salam
Andre
go...go...go...to the top
Selasa, 26 Juli, 2011 20:57
====== =============
Dear Pak Urip
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan org Indonesia ?
Kita kan hidup n makan di Indo jadi musti ngerti juga andro nya :-)
Andre
go...go...go...to the top
Selasa, 26 Juli, 2011 21:24
=========== =======
 

2.  Bpk. Liman Pap:

Terima kasih Pak,
Catatan ringan yang mencerahkan. Selalu menarik menunggu artikel atau catatan ringan Pak Ratmayaurip yang menambah wawasan kita semua.
Regards,
Liman
Selasa, 26 Juli, 2011 09:45
=========== ==========
 

3.  Response Kembali dari  Ratmaya Urip:

BAGIAN 2
(Sekaligus sbg response utk Pak Andre dan Pak Liman):

Pak Andre dan Pak Liman:

Konklusinya:
Ilmu antropologi terapan jarang sekali yg merelasikannya dengan bisnis. Padahal itu sangat bermanfaat dalam marketing, production, human capital, dll.
Ilmu antropologi adalah pecahan dr sosiologi, yg lebih menitikberatkan pd aspek perilaku manusianya baik individu maupun kelompok.

Selama ini ilmu antropologi terapan hanya dikaitkan dengan bidang sosial dan budaya. Jarang yg mengaplikasikannya dlm bisnis.

Dalam perjalanan panjang hidup saya ketika saya berinteraksi dg banyak etnis di dunia ternyata bermanfaat, khususnya jika kita memahami kultur dan stereotip antropologi bisnisnya.

Contoh interaksi tsb khususnya utk marketing, human capital, production, quality, environment,  dll, semoga saja dpt saya sharing-kan di milis ini.

Sayangnya, literatur ttg antropologi bisnis jarang sekali. Ketika saya menulis buku utk topik ini, saya sulit mencari referensinya, mk lebih banyak menulis ttg pengalaman empiris saja.

So, dengan memahami stereotip antropologis suatu bangsa, akan memudahkan dlm mengidentifikasi kebutuhan hidupnya, keinginan2  dan visi mereka, utk kita jadikan sbg salah satu kontribusi atau  referensi dlm memenangkan persaingan global. Seperti halnya China yg jeli dalam memanfaatkan antropologi bisnis, sebagai salah satu cabang dr ilmu antropologi terapan.

Ketertarikan saya pd antropologi bisnis bermula ketika saya mulai menemukan benang merah, mengapa etnis Jews begitu dominan di bidang Finance, IT, Science, Medicine, Media, dan Entertainment khusus visual. Contoh yg paling mudah dan dekat:

1. Di bidang IT:

Mark Zuckerberg si kreator Facebook, Larry Page  dan Sergey Brin kreator Google, Steve Jobs founder Apple, Bill Gates (founder Microsoft), Oracle, dll. Semua adalah Jews.

2. Di bidang Finance:

Pencipta sistem bunga, deposito, MLM, kemudian sudah menjadi rahasia umum, bahwa 9 di antara 10 pelaku bisnis  di Wallstreet
adalah orang Jews. Pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi didominasi Jews.
Krisis ekonomi dunia thn 1997 jg disebabkan oleh perilaku mereka yg terlalu kreatif, shg memunculkan fenomena bisnis finance sampai 14 turunan/derivative. Maka skandal2 finance terbesar  jg banyak yg disebabkan oleh mereka. Kasus "supreme mortgage", mega skandal finance oleh Bernard Lawrence Madoff, chairman Nasdaq, dll.

3. Science:

Sekitar 40 persen Profesor di Universitas terkemuka di Amerika Serikat keturunan Jews. Pemenang Nobel bidang Ekonomi, Kedokteran, Fisika dan Kimia menjadi ladang mereka krn mayoritas dikuasai mereka. Lantas giliran kita kapan?

4. Media

Siapa yg tak kenal Rupert Murdoch, si raja media global ranking kedua dg NEWS CORPORATION nya? yg saat ini via media nya di Inggris, terbongkar skandal penyadapannya atas media lain. Belum lagi si ranking satu DISNEY!
CNN, NBC, Star TV, National Geographic, The New York Times, The Washington Post, International Herald Tribune, The Sun  dan ratusan media lain di seluruh dunia semua adalah jaringan JEWS. Bahkan ANTV sempat jadi milik Jews ketika Star TV sempat singgah di sana .

5. Entertainment:

Reputasi MGM, Century 20th Fox, Disneyland , serta film stars dan pekerja film yg didominasi Jews.

Orang keturunan Irish sangat menguasai birokrasi. Orang keturunan Jerman di bisnis sektor riil. Orang keturunan Eropa Timur, Belanda, menguasai pertanian. Orang Scandinavia menguasai Kehutanan. Mafia dikuasai orang Italia Selatan dan Albania . Orang negro menguasai olah raga dan musik. Orang keturunan Spanyol di pertanian. Dsb.

Nah, ternyata setiap etnis itu memiliki kecenderungan dan minat dan menjadi tacit utk spesialisasi tertentu.

Hal ini setelah saya kemudian mengarahkan penelitian saya ke negara2 maju yg lain ternyata banyak fenomena yg sama.

Saya kemudian menurunkan ANTROPOGI BISNIS ini ke yg lebih detail, antara lain:

1. ANTROPOLOGI MARKETING
2. ANTROPOLOGO HUMAN CAPITAL
3. ANTROPOLOGI PRODUKSI
4. ANTROPOLOGI MUTU
5. DLL.

Hal ini saya lakukan krn di Perguruan tinggi, khususnya di program studi antropologi, ilmu antropologi hanya diajarkan secara teori. Itupun hanya yg berkaitan dg antropologi sosial dan budaya, bukan Antropologi Bisnis. Ketika materi ini saya sampaikan ke perguruan tinggi mereka sangat antusias shg sering diminta memberikan kuliah tamu atau kuliah umum perdana.

Kebetulan krn saya sering berinteraksi dg berbagai etnis global mk saya banyak memberikan studi kasus riil di lapangan.

Memang banyak yg heran, krn meski saya berlatar belakang engineer namun paham benar masalah ini.

Saya sebenarnya ingin sharing tatap muka ttg topik ini dg members milis, utk menggugah kemampuan bersaing bangsa, namun masih belum cocok waktunya

Salam Manajemen

Kredo:
Teori tanpa Praktek itu Omong Kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek.

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip
Selasa, 26 Juli, 2011 20:36
========= ===========

4.  Bpk. Yosha Pideksa:

Dear pak/bu Ratmaya,
In my opinion,tidak hanya antropologi dalam sisi etnis saja yang menarik untuk dibahas..
Saat ini ada juga kecenderungan manajemen lebih condong untuk memilih orang lulusan akuntansi untuk duduk di marketing dan hampir seluruh sektor..lalu orang-orang pertanian banyak yang mendominasi sektor perbankan..
Terima kasih.

Yosha Pideksa
Selasa, 26 Juli, 2011 20:48
============= ========

5.  Bpk. Ervan:

Dear Pak Ratmaya Urip,
Bila ada seminar ataupun semacam kuliah umum untuk orang umum yang diselenggarakan di Jakarta , mohon informasinya ya pak. Saya tertarik dengan kajian Bapak ini. Semoga acara spt ini bisa terselenggara.
Atau kalau sudah dibukukan, tolong referensinya pak.
Terimakasih,
Ervan
Selasa, 26 Juli, 2011 21:36
=========== =========

6. Bpk.  Surjo Sulaksono:


Dear Pak Yosha,
Pak Ratmaya itu lelaki tulen yang sanggup mengingat nama-nama wanita cantik yang pernah dijumpainya dalam pengembaraan jiwa dan menumpuk harta hahaha.
Pak Ratmaya,
Di Jakarta ada guyon begini: kalo orang Jawa Tengah merantau ke Ibukota, biasanya jadi PRT. Orang Batak jadi supir, kondektur, atau tambal ban. Orang Padang , buka resto, penjahit, atau PKL. Orang Madura jual-beli besi tua, dst.
Saya kira ada juga dasarnya. Misalnya, PRT Jateng telpon atau waktu mudik bilang sama familinya,  "Kamu ikut saya, bantu-bantu di rumah majikan sampai dapat majikan baru." Atau orang Batak juga bilang, "Ikut Abang, kau bisa jadi kenek Abang." dst. Jadi 'asal-usul profesi bisa ditelusuri dari siapa 'pendahulunya'. Sebab belum ada sekolah yang mencetak PRT, Supir-kenek Metromini, PKL, penjahit, atau lapak. Mereka belajar, magang, nyantri dari seniornya.
Sebagai orang keturunan Jawa, generasi Bapak saya adalah PNS. Ayah, Ibu, Pak Dhe, Pak Lik adalah PNS. Setelah mereka menetap di Jakarta , uniknya pada generasi saya cuma segelintir yang jadi PNS. Dari 6 bersaudara hanya 1 yang PNS, satu karyawan swasta, 4 wiraswasta. Semula ada kekuatiran: apa BISA keturunan PNS berwiraswasta. Kok nyatanya BISA. Sepupu saya juga rata-rata karyawan swasta dan wiraswasta. Memang belum ada yang menonjol, sebab darah PNS masih 'mengalir deras', dibesarkan dari nasi hasil pembagian jatah PNS, hehehe. Mungkin kelak generasi anak saya ada yang jadi atlit, seniman, profesional (dokter, pengacara, atau trainer), penulis,  atau wiraswastawan yang sukses ;)
Poin saya, persepsi antropologis-etnis, juga perlu mempertimbangkan 'pergeseran' generasi. Bukan tidak mungkin kelak etnis Arab , India , China akan duduk sebagai prajurit, birokrat, menteri, atau bahkan presiden di NKRI. Sebaliknya, kaum 'pribumi' malah menjadi pengusaha, konglomerat, Indonesia Enterprise, hehehe.
Kalau itu yang terjadi, akan menarik untuk dikaji; tidak hanya dari ranah ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, bahkan politik.
Salam berandai-andai (untuk pramugari yang cantik :)
Surjo Sulaksono, Sang Pemimpi
Selasa, 26 Juli, 2011 21:56
========== ==========

7. Bpk.  Nugraha Amijaya:

Terima kasih, Pak Ratmaya Urip. Suatu kajian yang sangat cerdas dan membuka wawasan berpikir kita tantang pentingnya antropologi dalam dunia bisnis.
Aku sependapat dengan anda, sudah waktunya kita mengenal dan memahami lebih jauh antropologi bisnis untuk melengkapi wawasan sebelumnya terkait sosial dan budaya.
Aku menunggu kajian berikutnya yang tentu spektakuler dan sangat bermanfaat.
Sukses selalu untuk kita,
Nugraha AMIjaya
Rabu, 27 Juli, 2011 08:18
========= =========

 

8.  Ibu Ietje Sumiati Guntur :

Pak Urip,
Terima kasih atas uraian dan analisis yang menarik dan menggelitik.
Yang saya tahu, Belanda punya peta antropologi Etnis Indonesia , yang mereka pergunakan untuk mendayagunakan orang Indonesia dalam berbagai bidang pekerjaan. Sebagai contoh, suku tertentu cocok untuk jadi tentara, suku tertentu cocok untuk administratur perkebunan, suku tertentu cocok untuk jadi distributor perdagangan. Saya amati memang ada beberapa ciri perilaku etnis yang sesuai dengan peta antropologi yang dibuat Belanda. Barangkali pengetahuan dan pemahaman ini yang perlu kita perdalam untuk dimanfaatkan di dunia bisnis maupun birokrasi di Indonesia .
Saya tertarik untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut. Barangkali ada masukan tambahan untuk buku saya berikutnya tentang Food Psychology yang berbasis budaya dan antropologi.
Semoga berkenan.
Salam hangat,
Ietje S. Guntur
Rabu, 27 Juli, 2011 10:06

============ ============

9.   Response Kembali dari Ratmaya Urip:


BAGIAN 3:

(Sekaligus response atas tulisan Pak Surjo),

He.he.he..jangan buka arsip lama akh..malunya itu lho.
Saya hanya akan sedikit sharing ttg reorientasi atau perubahan jalur profesi dari tacit antropologi yg dimiliki masing2 etnik, yg Bpk singgung dalam tulisan Bpk.
Stereotip atau bahkan prototip antropologis terbentuk oleh kondisi geografis yg kemudian membentuk budaya atau hubungan sosial dalam etnis-nya.

Lingkungan yang subur makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, bukan lautan hanya kolam susu yg menghijau bak zamrud di khatulistiwa, membuat etnisnya terninabobokkan. Karena tongkat kayu jadi tanaman mk membuatnya relatif menjadi malas. Juga jarang yg mau meninggalkan tanah yg subur tsb. Maka jarang yg berdiaspora atau merantau.

Jadinya juga membuat tdk mau susah2. Maunya sedang2 saja, tdk mau mengambil risiko meski risiko yg sdh diperhitungkan. Gaya hidupnya ordinary saja, tdk mau yg extra ordinary.

Lha wong semuanya sudah disediakan oleh alam.
Contoh tentang yang ini adalah Lingkungan Geografis dr etnis: Jawa khususnya sub-etnis Jawa-Mataraman, yg meliputi wilayah di Jawa yg terdiri dari 5 ex-karesidenan yg secara historis dibedakan dg no polisi utk kendaraan bermotor dengan huruf kapital ganda. Untuk membedakannya dengan wilayah lain di Jawa yang no polisinya menggunakan huruf tunggal dari A (Banten), B ( Jakarta ), H ( Semarang ), L ( Surabaya ) dst sampai Z.

Khusus untuk Jawa-Mataraman digunakan huruf ganda seperti halnya no polisi di luar Jawa.

Mengapa kok di Jawa ada yg no polisinya dg huruf ganda pdhal wilayah lain dengan huruf tunggal? Itu historis.

Adapun 5 wilayah dg no polisi ganda tsb adalah AA utk ex-Karesidenan Kedu (Magelang, Wonosobo, Temanggung, Purworejo, Kebumen). AB (Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul), AD (Solo, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Sragen, Wonogiri), AE (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), AG ( Kediri , Blitar, Nganjuk, Tulung Agung, Trenggalek).

Dari Etnis Jawa, khususnya Sub-Etnik Jawa-Mataraman ini lahir 4 (empat) dari 6 (enam) Presiden Republik Indonesia . Suatu jumlah yg mencengangkan. Yaitu Soekarno (Blitar), Soeharto (Kemusuk, Yogyakarta ), Megawati (krn anak Soekarno mk dimasukkan sbg etnis Jawa Mataraman), Susilo Bambang Yudhoyono. (Pacitan). Bahkan Gus Dur (Jombang) dapat disebut setengah Jawa-Mataraman, krn Jombang merupakan wilayah perbatasan antara Jawa-Mataraman dan Jawa Arek ( Surabaya , Malang , dan sekitarnya).

Mengapa etnis Jawa Mataraman berprofesi mulai dr Presiden, birokrat, bakul jamu, tukang batu sampai PRT? Dari yg extrim atas sampai extrim bawah. Untuk yg ini analisisnya sbb:

Jawa Mataraman mayoritas subur wilayahnya, sehingga jarang yg merantau. Kecuali pejabat publik/birokrat dan militer atau petinggi bisnis yg ditempatkan di luar wilayah atau bahkan di luar Jawa.

Namun ada wilayah enclave di Jawa Mataraman yg kondisi geografisnya tdk subur bahkan kering, seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Tulung Agung bag Barat.

Dalam Filosofi Jawa dikenal nilai bahwa orang merantau itu karena 3 (tiga) hal: 1. KURANG 2. WIRANG. 3. PERANG. Nah, krn kondisi geografis yg tdk mendukung untuk tercapainya kehidupan itulah(filosofi KURANG), maka banyak manusia dr enclave tsb yg merantau, utk melanjutkan hidup di tempat lain.

Catatan: Tentang Filosofi Diaspora (Kurang, Wirang, Perang ini akan diuraikan dalam artikel khusus di luar tulisan ini).

Mk jika seseorang kemudian lepas dr native geografisnya, akan kebih mudah utk diubah stereotip antropologisnya, tergantung dari daerah barunya.

Sementara jika seseorang tetap tinggal di wilayah native-nya relatif lebih sulit berubah kecuali terjadi FORCEMAJEURE, yg membuat hidupnya menjadi KURANG secara drastis.

Seperti bencana alam, krisis ekonomi yg luar biasa, dll.
Contoh lain yg dpt mengubah stereotip antropologis: jika keluar dr native geografisnya, yaitu: orang Jawa yg merantau ke Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika Serikat, atau negara dengan disiplin tinggi dan etos bisnis luar biasa lainnya, tiba2 saja jadi ikut disiplin. Di tempat barunya, menyeberang jalan dan berkendara di jalan lebih tertib, dll. Pdhal biasanya di native geografisnya ugal-ugalan.

Contoh lain jika native geografisnya tetap atau tdk mau pindah: adalah etnis Jawa Mataraman (maaf ini otokritik, krn saya juga dr Jawa Mataraman, namun sejak muda sdh menjauhi native geografisnya). Bagi yg tetap di native geografisnya, tetap saja feodal, apa yg diucapkan sering beda dengan yg di hati, relatif tdk suka kerja terlalu keras, dll. Sifat positipnya, adalah suka menjadi penengah dlm setiap benturan sosial, tekun belajar dan bekerja, lebih suka menetap dalam bekerja atau tdk suka jadi kutu loncat, dan tidak suka ribut2.

Senada dengan itu, etnis English yg native geografisnya England , juga relatif tdk suka merantau krn subur, yg berbeda dengan wilayah yg lain di sekitarnya yg tdk subur yg didiami etnis Welsh ( Wales ), Scottish ( Scotland ), Cornish ( Cornwall ). Pdhal masih sama2 lingkup British ( Great Britain / United Kingdom ). Yang terakhir ini kemudian banyak merantau ke Amerika Serikat dan berhasil. Namun jika dibandingkan dengan etnis lain yg serumpun yaitu Irish (Irlandia) yang tdk tergabung sbg British, yg tanahnya gersang, sehingga ditinggalkan penduduknya, seluruh etnis yg tergabung sebagai etnis British (English, Scottish, Welsh, Cornish) tdk dapat menandingi dlm hal etos antropologi bisnisnya.

Etnis Irish banyak yang berdiaspora ke negara lain yg jumlahnya 8 kali lebih besar jika dibandingkan dengan yg tetap tinggal di negaranya. Mereka relatif berhasil di negara tujuan emigrasinya. Di Amerika Serikat malah menguasai birokrasi. Shg separo dr jabatan Presiden yg jumlahnya 44 direbutnya. Kemudian juga senator, anggota Konggres, Gubernur Negara Bagian, County)

Ada yg menarik ketika saya meneliti etnis Dayak. Suku Dayak Maanyan mirip dengan etnis Jawa dalam hal etos kerjanya. Sementara suku Dayak Bakumpai mirip dengan suku Minang.

Sementara Dayak Kenyah, Dayak Putuq, Dayak Punan, Dayak Tidung, Dayak Kanayatn, dll, lain lagi etos bisnisnya.

Yang pasti ada bbrp catatan yg dapat digarisbawahi dlm hal etos bisnisnya ttg etnis Sunda, Batak, Bugis, Ambon/Maluku, Banjar, Toraja, Minahasa, Minang, Bali, Sasak, Melayu, Betawi, Rote, dll.

Tentang etnis Tionghoa di Indonesia-pun kajian etos bisnisnya berbeda meskipun sama2 dari China Daratan bagian selatan. Antara
yg Hokkien (berasal dr Fujian Selatan dan dominan di Jateng, Jatim dan Pantai Barat Sumatra), Tiociu atau Teochews (berasal dari lokasi lebih selatan lagi dr Fujian yg di Indonesia dominan di Pantai Timur Sumatra, Kepulauan Riau serta Kalimantan Barat), Hakka (yg berasal dr wilayah pegunungan Guangdong dan dominan di Kalbar dan Bangka Belitung, sebagian Jakarta dan Jawa Barat) serta Cantonese (yg menyebar di Pantai Timur Sumatra dan Jawa.

(BERSAMBUNG)

Kredo:
Teori tanpa Praktek adalah Omong Kosong, sedang Praktek tanpa Teori adalah Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek

Salam Manajemen

Ratmaya Urip
Rabu, 27 Juli, 2011 12:22
====== ============

BAGIAN 4:

(Sekaligus sbg response utk Pak Andre);

He.he.he..Pak Andre, utk antropologi bisnis khas Indonesia saat ini sedang saya susun.
Justru itulah Bpk, dari antropologi bisnis di ranah global kemudian muncul ide utk menggalinya pada tataran nasional, regional dan lokal.
Di tingkat tsb nampaknya belum ada yg tertarik utk meneliti kemudian mengaplikasikannya dalam praktek.  Referensi pustaka juga sedikit, sehingga semuanya berbasis kajian empirik lapangan.

Yang pasti seluruh data dan informasi sudah terkumpul, yg kebetulan saya kumpulkan dari lapangan. Berupa  stereotip antropologis dari sebagian besar etnis di Indonesia , dan tinggal mengolahnya dalam suatu kajian, yg segera dituangkan dalam kajian populer maupun kajian ilmiah. Sebenarnya jika kajiannya adalah kajian populer lebih mudah utk segera selesai, hanya saya lebih suka utk mengolahnya menjadi kajian ilmiah, kalau perlu dapat menjadi textbook. (Mimpi punya textbook kan boleh kan ? He.he.he...) Hanya jk kajiannya ilmiah,  perlu kaidah2 ilmiah yg wajib diikuti. Misalnya referensi2 berupa textbook lain atau jurnal pilihan yg terakreditasi, yg kebetulan itu sulit dicari.
Bukunya sendiri sudah sampai halaman 275 dari rencana 600 halaman yg direncanakan. Sebagai Pengantar, Pak Andre bisa menyimak sekelumit tulisan saya di Blog "The Managers Indonesia" dengan membuka laman:

themanagers.org

Kemudian KLIK nama saya pada kolom KONTRIBUTOR. Kebetulan Pengantar tsb adalah sebagai artikel pertama saya di Blog sekaligus artikel pertama dr Blog. Coba simak artikel saya yg berjudul: "Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis"

Seperti diketahui, di Indonesia ini terdapat lebih dari 300 kelompok etnis, yang masih terbagi lagi menjadi sekitar 1700 sub-etnik/dialek. Masing2 memiliki stereotip antropologis yg berbeda yg jika kita jeli dapat dimanfaatkan utk dpt memberikan kontribusi pada pencapaian keunggulan bersaing (competitive advantages).
Seperti halnya dengan Amerika Serikat dan China , kita sdh memiliki "comparative advantages"(keunggulan komparatif)  krn memiliki banyak natural resources dan human resources (sayangnya belum menjadi "human capital"). Juga  sayangnya lagi "competitive advantage" (keunggulan kompetitif) kita  masih payah. Belum merata dan kuantitasnya belum memadai, atau belum massal.

Utk selanjutnya Bpk dpt membaca BAGIAN 3 dr thread ini yg sdh saya luncurkan ke milis sebelum ini.

Jika Bpk belum puas, saya akan tuangkan dalam buku, smg cepat selesai.
Semoga saja dengan sedikit pengantar saya,  yg ada di Blog themanagers.org spt tsb di atas, Bpk dapat menarik sarinya.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip
Rabu, 27 Juli, 2011 12:36
========== =========

10.  Bpk.  Simon Sibarani:

Bpk Ratmajaya Urip,
Tergelitik dengan komen Bpk, Di tingkat tsb nampaknya belum ada yg tertarik utk meneliti kemudian mengaplikasikannya dalam praktek.  Referensi pustaka juga sedikit, sehingga semuanya berbasis kajian empirik lapangan. bukankah sudah ada buku buku karya Bpk. Koentjaraningrat (alm)?
Saya pernah baca buku beliau tentang manusia Indonesia dan kewirausahaan, beliau mengatakan bahwa manusia Indonesia tidak suka / tidak berani dengan hal hal yang bersifat spekulatif, sehingga kebanyakan tidak berani terjun ke dunia wirausaha, walau sebenarnya pada beberapa daerah tertentu suka bermain judi.
Kalau buku yang bapak maksudkan sudah terbit, saya pasti ikut beli, karena memang dari dulu saya suka mempelajari literatur tentang manusia Indonesia , apalagi yang berkaitan dengan perilaku bisnis. Tapi tentu akan lebih baik bila nyambung dengan buku buku yang sudah terbit lebih dulu, seperti bukunya Bpk. Koentjaraningrat.
Saya menunggu terbitnya buku bapak. 
Simon J. Sibarani
www.yosibara.com
yosibara

Rabu, 27 Juli, 2011 19:53
========= ============

11.  Response dari Ratmaya Urip:

Yth Bpk Simon Sibarani yg jeli,

Prof Koetjaraningrat adalah Begawan Antropologi Indonesia . Saya kan menyampaikan "sedikit". Yang sedikit itu adalah beliau sbg akademisi di samping Mochtar Lubis sebagai praktisinya. Kalau saya tidak salah beliau dalam bukunya lebih banyak konsentrasi ke Antropologi Nusantara, sementara saya krn berangkat dr relation dengan etnis Global, maka itulah yg saya kuasai. Baru kemudian mulai "ngeh" dengan Antropologi Nusantara. Khususnya Antropologi Terapan, dalam hal ini Antropologi Bisnis-nya. Antropologi Bisnis masih terbuka lebar utk penelitian lebih rinci menjadi Antropologi Industri, Antropologi Pertanian, Antropologi Produksi, Antropologi Marketing, Antropologi Keuangan, dll.

Di samping Antropologi Bisnis/Ekonomi, saya sedang meneliti tentang Antropologi Politik, baik Nusantara maupun Global.

Siapa tahu dpt memberikan jalan bagi tercapainya keunggulan bersaing bangsa, sehingga dapat lepas dr keterpurukan, mengingat kondisi kita yg seperti "ayam mati di lumbung padi" saat ini.

Sebagai catatan awal saya yg merupakan Pengantar buku saya, mohon diintip tulisan saya di Blog:

themanagers.org

Kemudian KLIK nama saya di kolom "Kontributor". Mhn dicari yg berjudul:
"Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis"

Trm kasih Bpk.

Salam selalu

Kredo: Teori tanpa Praktek itu omong kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Praktek dan Teori.

Ratmaya Urip
Rabu, 27 Juli, 2011 20:45
============== ========

12.  Ibu  Emmy Kasim:

Dear Manager,
Wah saya merasa antusias juga membaca tuliasan dan rencana Pak Ratmaya membagi ilmu dan gagasannya tentang Antropoligi Bisnis yang menarik dituangkan dalam kurikulum di perguruan tinggi . Dengan demikian ilmu ini bisa lebih menarik dipelari dan dikembangkan serta dapat dipraktekkan dalam bisnis. Sangat menarik.
Saya ingin mendengarnya....
Salam hangat
Emmy Iriani Kasim
Rabu, 27 Juli, 2011 21:10
============= =======

13. Bpk.  Simon Sibarani:

Terima kasih Bpk. Urip.
Saya sangat menunggu kemunculan buku Bapak.
Sebagai praktisi HR, saya memang sangat berminat pada diskusi dan literatur yang bertujuan membangun manusia Indonesia , khususnya yang berkaitan dengan perilaku kerja.
Mengenai pemikiran Mohtar Lubis sebagaimana dalam bukunya Manusia Indonesia , lebih fokus pada masalah antropologi politik, dan saya sudah merasa jenuh dengan masalah perilaku politik di negeri kita ini.
Lebih baik kita fokus pada antropologi bisnis saja Pak, sebagaimana yang dilakukan oleh Jepang sejak masa Restorasi Meiji, yaitu pemberdayaan intelektualitas / paradigma bisnis pada SDM.
Selamat berkarya Pak Urip. Masa depan bangsa ini menantikan karya karya pemikir seperti Bapak.
Salam
Simon Sibarani
Rabu, 27 Juli, 2011 21:11
=  ====================

 

14.   Bpk.  Surjo  Sulaksono:

Pak Ratmaya yang multi talenta,
Pernahkan Bapak meneliti, paling tidak memikirkan: kalau begitu siapa (dari suku apa) yang mengisi profesi2 yang tidak ditekuni oleh native di daerah Mataram. Misalnya di daerah nopol AB, petani dan ndoronya 'pasti' native, lalu yang jadi dokter, lawyer, sopir, pedagang, dll itu dari etnis apa? Lalu untuk kota yang mayoritas penduduknya memiliki profesi tertentu bisnis apa yang cocok untuk dijalankan di sana ?
Di daerah AB ( Yogyakarta , Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul)  saya agak paham (sebab ayah saya dari Kulon Progo). Jogja itu kota pelajar tetapi  Kulon Progo daerah pertanian dan ada sedikit daerah nelayan (di daerah pesisir Laut Selatan). Gunung Kidul, dulu tandus, sekarang kabarnya banyak yang sukses jadi pengusaha bakso (?) Di Jogja mungkin bisnis edukasi (bimbingan tes, foto-kopi, wartel, kos-kosan, sego kucing, wartel, warnet) atau pariwisata (hotel, losmen, kaos, batik, rental mobil, ticketing) akan maju, tetapi bila buka di Bantul bisa jadi kurang laku. Tetapi di sekitar Jogja memang ada sentra produk kerajinan (perak, keramik, kulit, dll)
Mestinya pejabat pemerintah juga belajar antropologi ya Pak Urip? Agar mereka dapat mengembangkan daerah sesuai dengan etos kerja, keterampilan, bakat dan minat lokal. Saya dengar Sragen sudah maju pesat sebagaimana Gorontalo juga maju gara-gara Jagungnya. Daerah-daerah lain semoga menyusul dengan kisah2 sukses lainnya.
Surjo Sulaksono,
tinggal di Serpong
Rabu, 27 Juli, 2011 21:30
============ =======

15.  Response  Ratmaya Urip:

BAGIAN 5

(Sekaligus response utk Ibu Ietje S. Guntur,  Bpk. Nugraha Amijaya, Bpk Simon Sibarani):

Terima kasih atas apresiasi dari Bpk2 dan Ibu.

@Ibu Ietje S. Guntur:

Ibu benar, memang apa yg Ibu sampaikan itu ada. Peta Antropologi sangat membantu dalam menganalisis dan memberi solusi masalah antropologi. Baik untuk keperluan pendekatan Antropologi Bisnis/Ekonomi, Antropologi Sosial/Budaya, Antropologi Politik/Pertahanan/Keamanan, Antropologi Publik, dll. Khusus untuk Antropologi Bisnis/Ekonomi dapat diperdalam menjadi Antropologi Marketing, Antropologi Keuangan, Antropologi "Human Capital", Antropologi Produksi, dll.

Masalahnya sampai saat ini belum banyak dari kita yg memanfaatkan peta antropologi tsb utk keperluan bisnis. Dan juga perlu disesuaikan secara terus menerus.
Ada lagi buku wajib dr Clifford J.  Geertz yg berjudul: "Santri, Priyayi , dan Abangan", yang kita dapat mendalaminya dari perspektif Antropologi Bisnis. Bukan hanya yg berkutub pada Antropologi Sosial/Budaya.

Tentang diskusi masalah Antropologi, silakan saja. Ilmu Antropologi selama ini memang Ilmu pinggiran bahkan Ilmu yg tdk diperhitungkan. Padahal negara2 Maju menggunakan Ilmu ini utk strategi dalam memenangkan persaingan global. Di pergururuan tinggi di Indonesia jadi program studi pinggiran, itupun konotasinya tdk dpt dimanfaatkan utk keperluan bisnis. Juga hanya ada di bbrp PTN terkemuka di Indonesia , seperti UI, UGM, Unair.  Di PTS mana ada yg mau membuka program studi ini.

Pdhal saya sangat terbantu dlm marketing, produksi dan Human Capital dg ilmu ini.
Salah satu contoh kecil adalah sbb:

Suatu saat, institusi saya harus berkolaborasi dengan perusahaan konstruksi asing dari Amerika Serikat. Kebetulan saya ditunjuk untuk menjadi Leader dlm negosiasi.
Saya kebetulan tahu bahwa di perusahaan asing tersebut banyak petingginya yg dr etnis Bavarian, Jerman Selatan.

Kebanyakan etnis Jerman dikenal kaku, ada kesan sombong, angkuh, perfeksionis, quality-oriented, standar hidup tinggi, dan profesional. Ingat sejarah Perang Dunia yg triggernya adalah krn mereka mengganggap dirinya sbg bangsa Arya yg superior, dan menganggap etnis lain inferior. Sehingga muncul kredo: "Deutsche uber alles".
Ketika mau rapat pertama, saya agak keder juga, krn waktu itu saya masih muda dan minim experience.

Ketika kemudian  bertemu dengan Leader dr calon partner, saya mendapat kartu nama yg dari nama fam/marganya saya tahu bahwa dia dari Bavaria , di lereng pegunungan Alpen.

Karena saya tahu persis tentang Bavaria , di lereng utara pegunungan Alpen yg sangat indah, maka sebelum rapat dimulai saya berbasa-basi tentang tanah leluhurnya tersebut. Saya katakan tentang panen anggur yg meriah, dengan gadis2 cantik Bavaria yang sintal2 atau Teji2 kalau dalam Bahasa Jawa, kayak kuda sembrani karena medannya bergunung2 shg olah raganya alami naik turun gunung (saya sampaikan sambil bercanda),  yang sering berpakaian tradisional, saling berceloteh dan bercanda sambil menggunjingkan jejaka pujaannya. Eh, dari cerita saya yg detail dan panjang lebar tersebut, wajah angkernya berubah jadi ramah dan bersahabat. Bahkan ketika dia mengatakan bahwa dia bukan lahir di Bavaria meski menyandang nama Jerman, karena dia lahir dan dibesarkan di Denver , Colorado , USA , dia tetap semakin bersahabat dan intimation kemudian tercipta.

Apalagi setelah secara fasih saya kemudian cerita tentang kota Denver, negara bagian Colorado, di lereng Pegunungan Rocky Mountains, kota kelahirannya, yg dikenal sebagai atap USA krn tempatnya yg sangat tinggi. Yg sekilas mirip Bavaria , meski di Denver perkebunan anggur tidak dijumpai,karena perkebunan anggur di Amerika Serikat banyak di California. Saya kemudian  cerita tentang Puncak Pike, juga tentang Colorado Springs, tempat USAFA (United State Air Force Academy), kawah candradimuka-nya kadet2 Angkatan Udara Amerika Serikat yg megah, di dekat hulu Sungai Arkansas yg kemudian meliuk2 melewati negara bagian Kansas, Oklahoma, Arkansas dan bersatu dengan Sungai Mississippi menuju Teluk Mexico.

Juga saya cerita tentang Danau Granby, dan Cripple Creek , tempat tambang emas dan perak yg terkenal.  Juga pesta ski yg meriah dan arsitektur airport Denver yg indah.
Dia terkejut atas pengetahuan saya, dan memberi apresiasi tinggi. Sehingga urusan bisnis menjadi lebih lancar dan mudah karena diawali dengan intimation yang pas, lewat sentuhan antropologis.

Cerita lainnya masih banyak. Namun untuk Ibu Ietje,  sementara sekian dulu.
Salam ya, Bu.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷

@Bpk Nugraha Amijaya:


Sekali lagi terima kasih banyak atas response positipnya. Semoga di Bagian 5 ini masih ada yg dapat bermanfaat.
Salam selalu.
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

@Bpk Simon Sibarani:

Tentang Antropologi Politik yg disinggung Bpk Simon Sibarani:
Jangan kita memandang Antropologi Politik semata2 krn perilaku politisi kita yg orientasinya pd uang atau kekuasaan semata, seperti yg terjadi  pada saat ini. Kalau demikian memang kita jadi jengkel dan muak. Pandanglah ilmu Antropologi Politik secara science and knowledge, baik teori maupun terapan.

Ilmu antropologi lahir karena kepentingan politik di abad ke 19. Dalam hal ini kepentingan kolonisasi bagi penjajah untuk "menjinakkan" daerah jajahannya.
Politik "devide et impera" adalah kebijakan yg muncul krn penguasaan mereka atas ilmu antropologi. Buku Raffles tentang "The History of Java" bukan semata2 history, namun juga ada kajian antropologisnya. Jadi di awal penemuan ilmunya, antropologi lebih bermakna dan bertujuan "politis" bagi penjajah, terutama Inggris, Belanda, Spanyol, dan Perancis.

Amerika Serikat dapat menyingkap tirai bambu China shg Deng Xiaoping muncul ke permukaan juga menggunakan Antropologi Politik via agen2nya yg menginfiltrasi China sehingga berubah orientasi ekonominya dari ekonomi tertutup menjadi pro-pasar yg terbuka. Juga Amerika Serikat mendekati Jepang abad 19 shg pelabuhannya dapt menerima kapal2 asing dengan antropologi politik.

Sampai saat inipun Antropologi Politik, dapat dipergunakan untuk memprediksi siapa pemenang pemilihan gubernur suatu wilayah di Indonesia .

Untuk kajian Antropologi Politik, kebetulan saya sempat memprediksi pemilihan beberapa gubernur di Indonesia . Dari 12 pemilihan, hanya 2 event pemilihan Gubernur  yg tdk sesuai dg prediksi saya pemenangnya.

Bahkan saya pernah diminta utk mengkaji prediksi pemilihan gubernur suatu wilayah oleh Tim Pemenangan, utk menentukan strategi pemenangan berbasis Antropologi Politik.

Meskipun waktu itu saya bukan pendukung mereka krn saya netral, namun saya memberikan masukan2 demi mengasah kemampuan ilmu Antropologi Politik saya.

Contoh Analisis Antropologi Politik:

1. Pemilihan Gubernur Kalbar.

Tahun 2007, ada 4 pasang kandidat yang bertarung. 3 pasang kandidat mengusung Gubernur dr etnis Melayu dengan Wakil Gubernur dr etnis Dayak. Salah satunya adalah incumbent yg didukung Partai Besar. Yg lain adalah tokoh yg berpengaruh di sana . Semua memiliki nama besar. Sehingga sangat dijagokan.

Kandidat ke-4, calon Gubernur adalah dr suku Dayak, yg tdk dijagokan meski mantan Bupati di wilayah tsb, yg mencoba peruntungan utk promosi sbg gubernur melawan atasannya yg sudah Gubernur krn incumbent.

Calon Gubernur dengan etnis Dayak disandingkan dengan etnis Tionghoa.
Kalimantan Barat didominasi oleh etnis Melayu dan etnis Dayak. Kemudian etnis Tionghoa, dr sub-etnis HAKKA yg berbahasa Khek dan sub etnis  Tiociu/Teochews.
Tentu saja yang menang adalah calon Gubernur dr etnis Dayak secara mutlak. Karena orang2 Melayu suaranya terpecah jadi tiga, sementara orang Dayak bersatu. Apalagi wakil Gubernur dari etnis Tionghoa mengundang pemilih Tionghoa yg jumlahnya signifikan di Kalbar.

Contoh lain ketika pertarungan perebutan Gubernur Jatim antara Pakde Karwo dengan Ibu Khofifah Indarparawansa.
Kebetulan Pakde Karwo adalah Jawa Mataraman, Ibu Khofifah adalah Jawa Arek.

Di Jatim terdapat 6 sub etnis utama, yaitu:

1.  Jawa-Mataraman, di daerah Plat No Polisi AE (Madiun dan sekitarnya), dan AG ( Kediri dan sekitarnya). Daerah ini basis Nasionalis atau kalau Islam adalah Islam Modernis. Sehingga partai2 Nasionalis (PDIP, Demokrat, Golkar) dan Partai Islam Modernis (PAN, PKS), cukup kuat.  Maka Eko Patrio dapat melenggang menjadi anggota DPR ketika memilih daerah pemilihan di sini dengan membawa bendera PAN, di tunjang pula oleh popularitasnya sbg komedian.

2. Jawa-Arek, yang terdiri dari

2.a.  Arek Pesisir ( Surabaya , Sidoarjo, Gresik, Lamongan Bag. Timur, Mojokerto , Jombang, sebagian Jember, sebagian Lumajang). Orientasi politiknya kalau di kota2 besar adalah partai berhaluan nasionalis, sedang di luar kota besar adalah Partai Islam tradisional. Kecuali pesisir pantai utara Lamongan yg orientasi politiknya adalah Islam Modernis.

2.b. Arek Pedalaman ( Malang , Pasuruan Selatan, Lumajang bag. Barat, dan sekitarnya)

Orientasi politiknya adalah Nasionalis, Islam Modernis, dan sedikit Islam Tradisional

3. Madura-Pedalungan (meliputi daerah tapal kuda: Madura, Pasuruan Utara, Probolinggo, Bondowoso, Sebagian Jember, sebagian Lumajang).
Orientasi politiknya adalah Islam tradisional.

4. Jawa Kulonan (Eks Karesidenan Bojonegoro)

Orientasi politiknya heterogin, meski Islam Tradisional dan Nasionalis bersaing ketat.

5. Jawa-Osing (Banyuwangi)

Orientasi politiknya heterogen

6. Jawa-Tengger (Lereng Gunung Bromo)

Orientasi politiknya Nasionalis

Di samping itu ada etnis Tionghoa. Yg orientasi politiknya lebih ke Nasionalis atau partai2 agama non Muslim.
Dari kalkulasi antropologi politik yg diramu dengan demografi sebenarnya sudah bisa dihitung suaranya. Dan siapa pemenangnya.
Namun utk kalkulasi politiknya hanya dapat saya sampaikan secara tatap muka krn off the record.
Perlu diketahui untuk pemilihan Gubernur masih dapat dianalisis secara antropologi politik, karena cakupannya lebih luas. Meskipun ada politik uang,namun  secara antropologi politik lebih kuat sentimen etnisnya, bukan karena aliran politiknya. Dalam pemilihan langsung prestasi atau pesona individual lebih mudah dijual, apalagi ditambah asal etnisnya. Krn secara umum etnis2 di Indonesia , mayoritas memiliki emosi melo-dramatis dibanding rasional. Sedang utk pemilihan Bupati sulit dianalisis dengan antropologi politik.

Bagaimana dengan Pemilihan Presiden dari Perspektif Antropologi Politik?
Untuk Pemilihan Presiden apalagi secara langsung, meski ada Partai Politik yg mengusung, tetap saja sentimen etnis sulit dihilangkan selama tingkat pendidikan rata2 masih rendah. Meski juga sekarang lebih cenderung pragmatis.

Dari 6 Presiden selama ini , 4 Presiden dr etnis Jawa-Mataraman, 1 Presiden  etnis dari Jawa Arek yang ada Jawa Mataramannya, 1

Presiden lagi dari Sulawesi . Itupun  jadi Presiden krn kebetulan Pak Harto lengser, shg sebagai Wakil Presiden mewarisi jabatan Presiden utk mengembang amanat Undang2 Dasar.

Dari calon yg dijagokan bbrp pihak  saat ini muncul nama: 1. Sri Mulyani (Jawa Semarangan).  2. Prabowo Subianto (Jawa- Mataraman).  3. Ibu Ani Yudhoyono (Jawa Mataraman), 4. Anas Ubaningrum (Jawa-Mataraman), 5. Surya Paloh (Manado-Minahasa). 6. Aburizal Bakrie (Lampung) 7. Pramono Edie Wibowo, adik Ibu Negara yg KSAD ( Jawa Mataraman). Nama2 lain belum muncul.
Terlepas dari fenomena Golput yg semakin membesar, tetap saja sentimen etnis yg mengemuka, meski tidak ditunjukkan secara vulgar.

Nah saya tetap memegang pilihan bahwa etnis Jawa masih memegangnya krn alasan sentimen etnis dan sifat melo-dramatis yg ada.

Kecuali suara etnis Jawa terpecah2 menjadi beberapa pilihan krn calon Presidennya banyak yg dr etnis Jawa. Nah di sini baru calon Presiden dari etnis non-Jawa bisa tampil.

Tapi saya pesimis juga, karena ada teorema, bahwa etnis non-Jawa selalu saling berebut posisi kedua di bawah etnis Jawa, mengingat anggapan, bahwa mengatasi etnis Jawa sangat sulit. Apakah 2014 lain situasinya? Kita tunggu saja. Semoga ada calon dari non-Jawa yang kuat. Saya akan analisis secara antropologi politik setelah calon2nya jelas dan ditetapkan.

Perlu diketahui, data terakhir jumlah etnis di Indonesia sebelum Sensus Penduduk 2010 adalah (saya belum mendapat data terbaru):

1. Jawa: 86 juta atau 41,7%
2. Sunda: 31,765 juta,15,4%
3. Melayu: 8,789 juta, 4,1%
4. Tionghoa: 7,776 juta 3,7% dr sub-etnis Cantonese, Hakka/Khek, Tiociu/Teochews, Hokkien
5. Madura 6,807 juta, 3,3%
6. Batak 6,188 juta, 3%
7. Bugis 6 juta7n 2,9%
8. Minang 5,569 juta, 2,7%
9. Betawi 5,157 juta, 2,5%
10.Arab 5 juta,
11. Dilanjut Banjar, Banten, Aceh, Bali, Dayak, Sasak, Makassar, Cirebon , Ambon , dst.

Salam,
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 12:41
=============== ========

Untuk Ibu Emmy Kasim:

Trm kasih Ibu atas apresiasinya. Semoga harapan Ibu terpenuhi. Saya lebih bersemangat untuk nulis jadinya. Ada tambahan dorongan utk menyelesaikan buku, krn antusiasme Ibu dan kawan2 member milis yg lain

Salam Manajemen

Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 14:08
=========== ========

Pak Suryo,

Ilmu Antropologi membahas stereotip atau kecenderungan. Sehingga anomali atau yg tdk termasuk mainstream pasti ada, namun tdk sampai mengalahkan mainstreamnya.
Saya belum pernah meneliti dan memikirkan secara detail seperti yg Bpk tulis. Mungkin jika ada sponsor penelitian dan waktunya ada Insya Allah dapat saya lakukan. Penelitian saya selama ini dilakukan krn saya kebetulan sedang melakukan pekerjaan utama di suatu lokasi, sehingga penelitiaan antropologi bisnis yg saya lakukan adalah side-visit. Tidak secara khusus melakukan penelitian antropologi bisnis. Jika kebetulan saya sedang survey yg berkaitan dengan pekerjaan utama yaitu engineering (geoteknik, geokimia, mekanika tanah, geometri, mineralogi, kristalografi, hidrologi, konstruksi, dll), di suatu wilayah, saya sekaligus melakukan penelitian antropologi bisnis, di sela2 kesibukan utama. Tujuannya utk menghemat biaya.

Sedikit tentang Yogyakarta , dapat saya sampaikan, bahwa Pemda Propinsi sudah on the right track.

Mereka menetapkan core competecy daerah. Tidak semua bidang dikerjakan. Selama ini saya lihat banyak Pemda yg rakus dengan menggarap banyak bidang garapan, sehingga tidak fokus. APBD terpecah jadi kecil2, dunia bisnis juga bingung jadinya. Dari core competency yg hanya 3 tsb kemudian terjadi efek domino ke yang non-core secara otomatis, sehingga tanpa biaya. Krn biaya datang secara otomatis dari partisipasi warga dan juga wisatawan secara tdk langsung.

Core competency utk Yogyakarta adalah: 1. Pariwisata. 2. Pendidikan 3. Pertanian Holtikultura terutama yg mendukung Pariwisata (salak pondoh dll). Di luar core competency diserahkan ke swasta.

Dari setiap core/inti tsb di atas, kemudian masing2 menciptakan Plasma yg luar biasa mengguritanya yang independent, sekaligus dependent dan interdependent.

1. Pariwisata

Etos kerjanya luar biasa, dengan bekerja secara all-out, mulai dengan destinasi yg menarik, baik wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, wisata belanja, wisata kuliner, wisata pendidikan, dll. Hanya wisata konvensi (MICE) yang kalah dari Bali dan Jakarta .

Infrastrukturnya memang disiapkan utk 3 core competency tsb. Ingat, sejak saya kecil, Yogyakarta adalah kota yg sibuk 24 jam. Khususnya Malioboro.

Semua seolah terintegrasi dan terpadu, sehingga menarik bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara. Berbagai souvenir/kerajinan, dan oleh2 yg bermacam2 yang khas Yogya sudah disiapkan. Mulai Dagadu, Bakpia Pathook, Gerabah Kasongan, Gudeg Wijilan, batik Mirota dan kaki lima Malioboro, dll.

Semuanya saling mendukung

2. Pendidikan

Yogyakarta adalah Pusat Pendidikan. Core competency yg ini benar2 disiapkan secara matang. Core-nya memang pendidikan, tapi Plasma-nya jauh lebih menggurita. Karena menghidupi pemilik2 rumah kost, warung makan,tempat fotokopi dll.

Yogyakarta bukan daerah industri manufaktur. Industrinya bisa dihitung dengan jari, yaitu Sarihusada, industri lampu pijar, Industri Garment Mataram Garment, dan beberapa industri manufaktur lainnya yg sedikit sekali jumlahnya.

Yang banyak adalah industri kecil kerajinan utk pendukung pariwisata, Kasongan dan desa2 wisata lainnya. Juga industri kuliner pendukung pariwisata dan pendidikan. Yang semuanya sesuai dengan stereotip antropologi bisnisnya.

3. Pertanian Holtikultura Pendukung Pariwisata.

Salak pondoh, adalah contohnya. Satu2nya buah lokal Yogya yg mampu bersaing dengan buah impor yg dengan bangga nampang di supermarket, hypermarket, dan wholesaler besar. Thailand yang terkenal dengan banyak buah unggulan mencoba membudidayakan salak pondoh, namun tdk berhasil.

Jadi sebaiknya Pemda itu jangan rakus untuk menggarap seluruh bidang aktifitas. Supaya fokus, pilih core competency maka akan muncul plasma2. Arahkan semuanya sesuai dengan stereotip antropologis native nya.

Demikian, sementara sekian dulu.

Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 14:09
========== =============

16.  Bpk.  Shaladin:

Pak urip,
Thank atas informasi yg bermanfaat ini. Semoga bapak terus berkarya dan bukunya bisa diselesaikan. Klo ngga salah, di pertambangan besar, ilmu antropolgi digunakan dalam memetakan stakeholder di daerah kerjanya.
Tx
shaladins,CSRS
Kamis, 28 Juli, 2011 18:34
======== ==========

17.  Ratmaya Urip:

Pak Shaladin,

Memang di pertambangan besar sering dilakukan kajian antropologi. Khususnya pertambangan besar dengan manajemen Asing/Barat. Untuk yg manajemen Native Indonesia tdk selalu demikian.

Tujuannya utk memprediksi dan meredam gejolak sosial, untuk mengetahui potensi antropologis yg dapat dimanfaatkan, untuk memudahkan KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Sinergi), jika terjadi masalah, dll.

Apalagi situasi bisnis yg turbulent spt saat ini yg running unusual bukan lagi running as usual, penuh ketidakpastian, yg uncountable dan unpredictable.

Mengendalikan bisnis sudah bukan lagi hanya dengan berbekal cara kuno dengan berbekal "Faktor Produksi/Production Factors" atau 5M (Money, Material, Machine, Method and Manpower), tapi wajib berbekal senjata yg saya create dan kemudian saya sebut: "Faktor Kelola/Managing Factors" atau 12-M (lihat artikel saya di Blog themanagers.org)

Salah satu dari 12-M yg secara hierarki merupakan peringkat pertama adalah MILIEU. Nah dalam MILIEU inilah peran Ilmu Antropologi sangat diperlukan, jika ingin "winning the battle or the wars in business".

Terima Bpk atas apresiasinya.

Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 20:35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar