Rabu, 28 Desember 2011

Anak Dari Surga, Sebuah Catatan Perjalanan

Oleh:  Rky Refrinal Patiradjawane
Hari ini, selasa tanggal delapan, bulan juni tahun 2010
Ini adalah sebuah catatan kejadian yang menjadi catatan perjalanan hidup saya dan sangat bermakna. Kejadian ini terjadi tiga bulan lalu ketika kunjungan kerja ke Kota Makassar.
Selayaknya manager sebuah perusahaan konsultan swasta maka saya selalu kebagian tiket ekonomi armada Garuda Indonesia yang sangat terkenal dengan keramahan layanan dan satu-satunya maskapai yang sangat humanis, memperlakukan penumpang layaknya pelanggan bukan penumpang.
Sebagaimana penumpang kpada umumnya maka saya termasuk yang mengincar tempat duduk deket jendela karena keinginan tak pernah bosan menikmati indahnya pulau, laut, danau, gunung dan awan, sembari menghubungkannya dengan teori-teori perkuliahan tentang mekanika dan mekanisme pembentukan awan, petir dan halilintar. itulah perilaku saya sepanjang hayat kehidupan perjalan di pesawat pergi pulang selalu berjuang duduk di dekat jendela.
Tanpa saya sadari sesaat sebelum keberangkatan pesawat, tiba-tiba tanpa saya sadari ada seorang Ibu yang terisak dan mencucurkan air mata tanpa henti, tak henti-hentinya telepon genggamnya berbunyi berdering-dering hingga ada permintaan lembut sang pramugari yang meminta kesediaan sang ibu untuk mematikan telepon tersebut karena dapat mengganggu navigasi pesawat dan Alhamdulillah beliau menurut.
Di barisan bangku itu hanya kami berdua dan saya rasakan kesedihannya yang teramat dalam, yang telah mengoyak perasaan dan naluri keibuannya, dan sebagai orang yang bersebelahan tentunya saya agak terpukau tanpa bisa berbuat banyak.
Hampir empat puluh menit perjalanan kala tangisnya terhenti saya beranikan bertanya pada Ibu muda berusia paling banyak tiga puluh lima tahun itu tentang kesedihan yang dialaminya, dan tanpa sempat mengujarkan tanya, entah mungkin beliau sadar akan tatapan, maka keluarlah tuturannya yang mengalir diantara air mata dan tangis yang beriring. tanpa sadar saya genggam tanggannya seraya berharap ada kekuatan menopang yang mengalir dalam tubuhnya yang seakan rapuh.
Beliau bercerita tentang anak satu-satunya yang saat ini kuliah di salah satu universitas di makassar yang kini sedang berada dalam perawatan intensif di salah satu rumah sakit karena sakit yang mendera dan sakitnya bukan sakit sembarang penyakit, Leukimia!
Sang anak laki-laki itu berumur 18 tahun hasil perkawinannya dengan seorang laki-laki berkebangsaan Italia yang dikemudian hari meninggal karena kecelakaan helikopter di malaysia, sejak itu dia memutuskan untuk menjadi Ibu sekaligus ayah untuk anaknya, dan tetap bekerja sebagai salah satu manager di sebuah bank asing di Jakarta.
Mungkin karena tau tentang kesedihan Ibu dan beban yang ditanggung, sejak SD, sebutlah namanya Aditia Putra Pratama tidak pernah menyusahkan sang Ibu, segala sesuatunya dilakukan secara sendiri dan mandiri dan sepanjang waktu dia selalu meyakinkan Ibunya agar jangan khawatirkan dirinya. Dang putra selalu berusaha menyenangkan hati sang Ibu, tak pernah terlihat gagal, tak pernah berteriak dan tak pernah membuat sang Ibu sedih. Prestasinya yang paling diingat sang inu adalah sang putra selalu meenjadi juara kelas dan lulusan terbaik disekolahnya dari SD hingga SMA, dan bercita-cita ingin menjadi orang yang mandiri dan membanggakan sang Ibu, karena itulah cita-citanya yang tertinggi.
Ketika sang anak memutuskan untuk kuliah di Makassar inilah hal terberat bagi sang Ibu, berpisah dari sang putra yang selama ini menjadi pelipur lara dan penguat hidupnya, namun karena keyakinan dan masa depan beliau ikhlaskan segalanya, dans ejak itu mereka selalu berkomunikasi via email, sms, dan chatting. Aditia selalu menyapa Ibunya pagi hari, menanyakan apakah sudah makan atau belum dan selalu meyakinkan Ibunya agar jangan pernah khawatirkan dia, karena jaminan selama ini adalah Aditia tidak pernah mengecewakan Ibunya.
Setahun berselang tiba-tiba sang Ibu beroleh khabar bahwa anaknya terbaring dirumah sakit karena Leukimia, dan inilah yang mengancurkan perasaannya. dan ternyata gejala leukimia ini telah terasa sejak kelas II SMA namun dirahasiakan sang anak serapat mungkin dan tak ingin Ibunya tau, dan ternyata keputusan untuk kuliah ke Makasar hanyalah salah satu alasan agar sang Ibu tidak melihat penderitaan sang anak yang kian hari kian parah dan menuju stadium akhir.
Saya dengan segala keterbatasan hanya bisa menyarankan sang Ibu agar kuat, dan saya sampaikan bahwa Aditia anak yang mulia dan menjadi anugerah terindah bagi sang Ibu juga umat lainnya dan saya berusaha meyakinkan sang ibu bahwa kalaupun terjadi sesuatu maka itu yang terbaik bagi Allah untuk keluarga ini, kelak di surga lah tempat mereka kembali berkumpul.
Ketika berpisah di Bandara Hasanuddin, kami sempat bertukar kartu nama dan saya meminta sang Ibu memberi khabar dan saya akan selalu menjadi pendengar yang baik.
Waktu terus berlalu dan karena kesibukan saya hampir tak sempat menanyakan khabar sang Ibu juga sang anak, namun saya selalu berdoa disepanjang waktu kiranya ALLAh memberi keajaiban.
Siang tadi saya membuka email yang karena kesibukan saya koneksikan ke Blackberry, dan pada hari ini ada email duka yang masuk bahwa pada Hari ini Rabu 24 Maret 2010 telah Berpulang keharibaan Allah Aditia Putra Pratama dlama Usia 18 Tahun.
Dalam ketermangguan dan kemasgulan, tanpa terasa tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir, dan terbayang betapa Allah begitu menyayanginya dan memeluknya tenang ke haribanNYA. Begitu banyak makna yang tertangkap dan akan menjadi ingatan tentang sebuah cinta, kasih sayang dan kemuliaan.
Selamat jalan Aditia, Teruslah buat Ibumu terseyum dari langit, temanilah dia dan semarakkan hatinya dan mintalah pada Tuhan agar selalu buat Ibunda selalu kuat dan tegar, dan disurgalah kelak kalian berkumpul.
Dengan sepuluh jari mendekap di dada, saya nyatakan duka cita yang mendalam atas perginya seorang anak yang akan selalu menjadi Inspirasi dalam kehidupan saya, dan semoga juga anda semua..
Barakallah
Senin, 12 Desember, 2011 01:15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar