Sabtu, 24 Desember 2011

Serial Filosofi Manajemen 8:

FILOSOFI  PANCAINDRA

Oleh:  Ratmaya Urip*)

Kita dianugerahi 2 (dua) "telinga" dan 2 (dua) "mata", sementara untuk "mulut/lidah" kita "hanya" dibekali 1 (satu) saja. Dengan kata lain, untuk "mendengar" dan untuk "melihat" kita telah diberi kapasitas yang lebih, jika dibandingkan dengan untuk berucap atau bertutur atau berkomunikasi, ataupun melakukan aktifitas lain yang menggunakan "mulut/lidah" kita. Itu apa maknanya?

Yang pasti kapabilitas kita seharusnya berkembang dengan mengacu pada kapasitas berbasis kuantitas yang telah tersirat, tersurat, dan termaknai dari jumlah, jenis dan fungsi pancaindra tersebut.

Saya yakin, jika benak kita tidak terlalu banyak terjejali atau terdistorsi oleh gejolak onak dan seruak "ego" yang beranak pinak, yang sering membuat kita terhentak dan berteriak, maka kapabilitas kita akan sejalan atau bahkan lebih besar dari kapasitas kita. Kapasitas, adalah yang kita miliki atau modal dasar kita. Sementara kapabilitas selalu bertambah seiring dengan usia kita, yang diperoleh dari self development dengan dasar "basic education", "training/development", "experiences" dan lain-lain.

Juga jika nurani dan hati serta naluri kita sudah mengendap, meski bermula dari terjerembab atau kita mengendap-endap, bahkan sampai kehilangan harap, meski akhirnya dapat berdiri tegap, dan juga "libido" dari "ego" kita yang tidak mau mengaso bahkan sering mendahulukan "aku" kita, dapat dipasung atau dipancung untuk tidak selalu membusung, maka analisisnya seperti di bawah ini:

Jumlah telinga 2 (dua), dan mata 2 (dua), lebih banyak daripada mulut/lidah kita, itu berarti kita sudah dititahkan untuk lebih banyak "mendengar" dan "melihat" daripada "mengobral kata" dengan mulut/lidah kita. Dengan kata lain, apa yang kita sampaikan, akan lebih bermakna jika berbasis dari apa yang telah kita lihat dan kita dengar, sebagai masukan dan menjadi experiences/references kita.

Dengan mendahulukan "mendengar" dan "melihat" sebelum berbicara apalagi ditambah penggunaan benak dan hati, akan meredam emosi yang sering mengatasnamakan harga diri. Juga akan membuat mati perilaku tirani. Dengan menggunakan "telinga" dan "mata" terlebih dahulu, sebagai dasar penggunaan "mulut/lidah", akan menghapus predikat "hanya memiliki kapabilitas yang sangat dini". Sehingga tercapai tataran kearifan dan kepekaan duniawi dan surgawi.

Perilaku antagonis, psikopat, paranoid, kadang adalah muara bagi ketiadaan dan ketidakmauan untuk "mendengar" dan "melihat", dengan lebih memanjakan "mulut/lidah" kita, tanpa mau memahami realitas kebersamaan dalam heterogenitas lingkungan, yang kebak aneka kehendak, ragam pemikiran, dan belantara kepentingan.

Sampai di sini sebenarnya kita baru menganalisis 3 (tiga) di antara 5 (lima) pancaindra kita, yaitu "telinga", "mata", dan "mulut/lidah". Bagaimana dengan 2 (dua) indra lainnya, yaitu indra perasa/peraba yang dalam hal ini direpresentasikan oleh "kulit" dan penciuman yang diwakili oleh "hidung"?

"Kulit" sebagai "pangejawantahan" dari indra "perasa/peraba" adalah antena kita, yang secara kuantitatif adalah indra dengan luasan permukaan paling besar. Karena melumuri seluruh tubuh kita. Itu maknanya, kapasitas kita dalam mendeteksi lingkungan luar kita dengan tingkat heterogenitas yang tinggi ini diharapkan dapat menjangkau sampai yang paling dalam atau paling hakiki atau dapat mencapai esensi. Sehingga dapat dicapai suatu kearifan dan kebijakan yang universal, holistik dan komprehensif, sebelum kita menggunakan "mulut/lidah" kita. Ibarat suatu sistem audio-visual, "loudspeaker" dan layar visualisasi, tidak akan ada arti dan maknanya, atau tak ada suara gambar dan suara, jika tanpa sistem pendukung sebelumnya seperti microfon, kabel, amplifier, modulator, dan lain-lain.

Kemudian, bagaimana dengan indra kita yang disebut "hidung" sebagai indra "penciuman"? Apa maknanya? Mengingat "hidung" adalah unik. Dimana meski jumlah "hidung" hanya 1 (satu), namun lubangnya ada 2 (dua). Nah, sebelum saya lanjutkan artikel ini, saya ingin mendapatkan pencerahan, kira-kira makna apa yang tersirat?

Salam Manajemen.
Ratmaya Urip
Rabu, 30 November, 2011 19:32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar