Sabtu, 24 Desember 2011

Virtualitas Liminoid

Oleh:Andre Vincent Wenas

“The global economy is just that: global. It belongs to the whole world. Trade and industry is more intertwined and interdependent than any other point in
history, and pretending otherwise is simply not an option. So we must engage with this reality – and the best way for ASEAN’s member to tackle the current
crisis and put ourselves in the strongest possible position for the years ahead is not to pull apart but to come closer together.”– Najib Razak, Prime Minister of Malaysia, Jakarta Post Nov 18, 2011.

***

     Kalau realitas dipahami senantiasa dalam keadaan mengalir (in a state of flux) ala Heraklitos, maka konsekuensinya kita juga senantiasa berada dalam ruang antara. Dan hidup di dalam era digital macam sekarang ini, kita terasa semakin ditarik (terhisap) dari realitas yang konkret ke dalam realitas yang virtual. Mengalir dalam dunia pencitraan menjadi realitas atau fenomena keseharian.

     Tentang yang virtual, Rob Shields (bukunya: Virtual, Sebuah Pengantar Komprehensif, Penerbit Jalasutra, 2011) menulis: “Seperti halnya Janus, dewa gerbang dan jalan masuk bermuka dua; perbatasan antara kehidupan sehari-hari dan suci, ruang ritual yang menghadap baik ke dalam dan ke luar, menciptakan wilayah samar-samar dan ambigu – sebuah zona yang tidak hanya berupa baris, tapi ruang yang ditandai dengan sangat kuat; sebuah ruang kosong. ‘Limen’ adalah ruang “antara”, sehingga seseorang tidak berada ‘di dalam’ atau pun ‘di luar’ (Turner, 1974).”

     Lebih lanjut ditekankan, “Bagian penting dari transformasi adalah penekanan norma sosial sehari-hari yang memungkinkan penyusunan kembali tatanan
status sosial, merundingkan status baru, dan membolehkan masyarakat untuk mengakui dan mengenali identitas baru dari mereka yang menjadi fokus dalam ritual. Dengan demikian, liminalitas menawarkan sebuah momen utopian dimana bobot pembatasan peraturan sosial terangkat. Liminalitas sangat penting bagi kekuasaan adaptif sebuah kebudayaan.”

***

     Baru-baru ini beberapa kepala pemerintahan bekumpul di Bali dalam rangka 19th ASEAN Summit. Pertemuan puncak ASEAN yang juga dibarengi dengan morat-maritnya perekonomian di beberapa bagian zona Eropa telah ikut mewarnai arus pemberitaan akhir-akhir ini. Ada bailout ekonomi sampai rontoknya administrasi pemerintahan suatu negara. Fenomena ini tentunya membuat para pemimpin di zona Eropa dan juga di seluruh dunia dengan cermat dan grogi terus mengamati sambil berharap dirinya terhindar dari bencana ekonomi (yang juga berdampak politis) semacam itu.

     Di dalam kancah perekonomian global abad ke-21 yang semakin (bahkan telah) saling tergantung (interdependent) dimana proses produksi sudah menyebar melintasi batas antar negara dan samudera maka kepentingan-kepentingan ekonomi (juga pada gilirannya: kepentingan politik) semakin menjadi kepentingan yang bersifat kolektif. Perziarahan yang juga proses transformasi antar-bangsa inilah yang menjadi tema besar mondial. Parag Khanna, seorang analis hubungan internasional, menyebutnya dengan “multi-alignment” yang “forging a criss-crossed network of alliances right across the board that reflects the geopolitical realities we face today.” Seluruh penghuni bumi sedang bergerak dan oleh karena itu sedang berada dalam ruang antara. Paradoksnya, di dalam tentativitas seperti ini kita toh tetap mesti punya sikap (dan ini adalah suatu ketetapan).

     Negara jiran Malaysia, seperti dikatakan oleh PM Najib Razak, mengambil posisi pragmatis dengan berkata, “That is why, in Malaysia, we have rejected the outdated notion of ‘taking sides’, opting instead for a new multilateralism that works both for Malaysia and for our partners overseas.” Dan kita di Indonesia sebetulnya telah jauh-jauh hari punya kebijakan non-blok, seperti pidato Bung Hatta dulu yang berjudul ‘Mendayung di antara dua karang’. Karena sebelum robohnya tembok berlin dan Uni Soviet, selama hampir setengah abad dunia terkungkung dalam bipolaritas blok NATO dan Pakta Warsawa. Dunia sekarang telah lepas dari borgol hitam-putih semacam itu sehingga bisa melihat realitas hubungan internasional yang ternyata jauh lebih berwana-warni.

***

     Setelah terbebas dari kungkungan bipolaritas mondial, kita malah sekarang semakin terhisap ke dalam virtualitas global. Utamanya dengan di drive oleh digitalisasi informasi (teks dan gambar) yang telah mengangkat ‘yang konkret’ menjadi sesuatu yang tidak-konkret (virtual). Konteks virtualitas seperti inilah yang saat ini menjadi semacam latar belakang dan bahkan panggung di mana setiap kita sebagai aktor sedang mempertunjukkan performance-nya masing-masing maupun secara kolektif.

     Kesadaran bahwa kita sedang berada dalam ruang antara, yang diiringi dengan makin banyak tampilnya realitas non-konkret (virtual) dihadapan kita telah memaksa kita untuk semakin kritis lagi dalam kemampuan cerebral maupun instingtif untuk mencerna dan mencerap pelbagai fenomena serta keterkaitannya satu sama lain demi memahami dunia sekitar. Yang virtual bukanlah sesuatu yang otomatis jelek (negatif), ia hanya ada sebagai suatu kenyataan yang memang ada (sebagai bawaan dari perkembangan teknologi).

      Di penghujung tahun ini kita berhadapan dengan muka dewa Janus tua yang menatap ke belakang, dan sebentar lagi kita melewatinya untuk dipandang oleh muka dewa Janus muda yang tajam mengarahkan wajahnya ke masa depan. Retrospeksi dan introspeksi yang jujur insyaallah memampukan kita melangkah jauh kemuka. Terima kasih tahun 2011 yang sarat dengan kenangan dan selamat datang tahun yang baru 2012 yang penuh harapan. Juga selamat Natal bagi yang merayakannya.

======= =====


Artikel ini telah dipublikasikan di  Majalah MARKETING edisi Desember 2011, oleh Kontributor. Segala hal yang berkenaan dengan sengketa Hak Cipta, menjadi tanggung jawab Kontributor

Minggu, 4 Desember, 2011 20:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar