Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala: ”Mudah untuk melihat kearah orang lain. Tapi untuk melihat diri sendiri, kita membutuhkan alat bantu bernama cermin diri.” 
Salah  satu benda berharga yang sulit kita cari adalah sesuatu yang kita sebut  sebagai ‘keteladanan’. Banyak guru yang bisa kita ikut ajarannya. Banyak  orator yang bisa kita dengar mimbarnya. Banyak penulis yang bisa kita  baca buah penanya. Tapi, sedikit orang yang bisa kita jadikan sebagai  teladan. Mengapa? Karena keteladanan bukanlah kata-kata. Keteladanan  bukanlah ajakan. Dan keteladanan bukan seruan. Keteladanan adalah apa  dilakukan oleh seseorang yang antara kata dan perbuatannya sejalan. Ini  yang masih sulit kita temukan. Sulit tidak berarti tidak ada. Diantara  hanya sedikit orang yang layak dijadikan teladan itu, saya menemukan  sebuah kesamaan, yaitu; mereka lebih banyak melihat kedalam dirinya  sendiri. Karena mereka percaya bahwa untuk bisa menjadi pribadi yang  layak dicontoh itu, kita membutuhkan alat bantu bernama cermin  diri.  
Kami  sempat panik ketika malam itu anak lelaki kecil kami belum juga pulang.  Diluar hujan disertai petir tidak berhenti sejak sore. Setelah telepon  kesana kemari tidak memberikan hasil, kami segera mengeluarkan mobil  menerobos tumpahan air dari langit. Rumah demi rumah kami datangi, namun  hasilnya nihil. Ditengah kegalauan itu istri saya teringat jika anak  kami pernah mengenalkan teman barunya yang sama-sama suka bermain  futsal. Setelah bersusah payah mencari rumah teman barunya itu, ternyata  memang anak kami berada disana. Dia tidak bisa pulang karena terhalang  hujan dan halilintar. “Kenapa Abang nggak telepon ke rumah?” ibunya  bilang. “Aku nggak tahu nomor telepon rumah kita,” katanya. “Aku tahunya  cuma nomor telepon teman-temanku saja….” Saya sungguh tersentak  mendengar ucapannya. Dia tahu nomor telepon semua  temannya. Tapi tak tahu nomor telepon rumahnya sendiri. “Gue banget!”  begitu saya berguman dalam hati. Saya serasa diingatkan bahwa; ini  adalah saatnya untuk lebih banyak mengenal diri sendiri. Hidup kita  lebih banyak digunakan untuk memperhatikan orang lain. Sedangkan diri  kita sendiri kurang mendapatkan perhatian. Bagi Anda yang tertarik  menemani saya belajar menjadi lebih banyak melihat kedalam diri, saya  ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini: 
1.      Kita sama berpotensinya dengan orang lain.  Nomor  telepon di kompleks kami itu mirip-mirip. Hanya beda beberapa angka  belakangnya saja. Tapi, anak saya tidak mengingat nomor telepon rumahnya  sendiri. Begitu juga kita. Potensi diri kita ini tidak jauh berbeda  dengan orang lain. Tetapi, mudah bagi kita untuk mengatakan “Beruntung  ya, dia berbakat dalam berbahasa Inggris.” “Hebat ya dia, berpotensi  sekali untuk menjadi orang sukses.” Lha, kita sendiri punya bakat apa?  Anda sendiri punya potensi apa? Bingung kan? Bisa jadi sebenarnya bakat  kita untuk bisa bahasa Inggris itu sama dengan orang lain. Tapi, kita  tidak mau berusaha untuk belajar dan mempraktekannya. Malu jika kulit  coklat ini cas-cis-cus dengan bahasa Inggris logat daerah. Wagu. Takut  ditertawakan orang lain. Maka, biarpun kita berbakat; ya tidak bakalan  jadi terampil. Boleh jadi sebenarnya kita sama berpotensinya untuk  menjadi karyawan sukses seperti teman kita itu. Hanya saja, kita masih  hitung-hitungan gaji dan waktu kerja. Kita masih menggerutu saat diberi  tugas tambahan. Kita masih enggan untuk membangun hubungan baik dengan  teman dan atasan. Kita masih berpikir untuk berkontribusi lebih banyak  NANTI kalau sudah naik jabatan. Walhasil, biarpun kita sudah dikasih  potensi untuk sukses; ya ndak bakalan sukses toh Mas. Potensi kita sama  dengan orang lain. Hanya saja, kita perlu mengenalinya lebih dalam, dan  mengambil sikap yang tepat untuk mewujudkannya.  
2.      Kita perlu lebih sering bercermin.  Saya punya cermin kecil di kamar. Tapi, saya jarang melihatnya. Diluar  rumah, saya punya banyak pemandangan indah. Tetangga saya berganti-ganti  mobil. Teman saya mendapat kenaikan jabatan. Kawan satu angkatan saya  sudah menjadi direktur. Panas rasanya hati ketika melihat itu. Mungkin  bukan hanya saya yang sering begitu. Makanya kita sering merasa diri  kurang beruntung. Padahal, semua yang mereka dapatkan bukan sekedar  keberuntungan. Mereka telah melakukan sesuatu yang cukup berharga  sehingga sekarang bisa memetik hasilnya. Kita? Apakah sudah bekerja  sekeras dan  secerdas mereka? Jika belum, mengapa kita menuntut hasil yang sama  baiknya? Ada orang yang termotivasi untuk bekerja lebih giat,  berkontribusi lebih banyak, berbuat lebih berbobot; ketika melihat teman  atau tetangganya lebih berhasil dari dirinya. Ada juga yang semakin  panas hati. Anda termasuk jenis yang mana? Pasti akan panas hati jika  pemadangan sehari-hari itu tidak diimbangi dengan kesediaan untuk  bercermin kepada apa yang sudah kita lakukan. Perhatikanlah, bukankah  didalam diri kita masih sering timbul rasa iri? Bukankah kita masih  lebih mudah ikut arus yang mau enaknya saja? Teman sekantor kita malas,  kita ikut malas. Atasan kita sedang nyebelin, kita kehilangan mood.  Padahal, tak seorang pun mengambil kendali atas hidup kita selain diri  kita sendiri. Maka bercerminlah, dan lihatlah; betapa kita terlalu  banyak melihat ke arah orang lain, namun sangat jarang menengok kedalam  diri sendiri. Kenyataannya, kita perlu lebih banyak bercermin.
3.      Kita tidak kurang suatu apapun. Ketika  melihat kedalam diri, kita sering melakukan kesalahan dengan memberi  penilaian seolah orang lain lebih beruntung dari kita. Bukan hanya Anda,  saya pun begitu. Tetapi, setelah saya renungkan, ternyata semua itu  disebabkan karena kita terlalu banyak memandang dari aspek material  saja. Faktanya, rasa bahagia tidak langsung berkorelasi dengan materi.  Keutuhan rumah tangga tidak hanya dimiliki oleh mereka yang  berkelimpahan harta. Kesehatan jasmani bukanlah monopoli orang-orang  yang  banyak uang. Kita hanya melihat yang lebihnya saja dari orang lain.  Tapi kita tidak melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Kemarin saya  mendengar seorang pejabat perusahaan besar yang terserang stroke lalu  batok kepalanya dibuka diruang operasi. Membayangkan cerita suster itu  saya sudah berkeringat panas dan dingin. Oh, saya merasa beruntung  karena dikasih Tuhan jasmani yang sehat. Di lorong Rumah Sakit saya  bertemu seorang mantan perwira penerbang. Beliau bercerita jika anaknya  mengalami kecelakaan sehingga kakinya patah. Oh, betapa beruntungnya  saya hingga hari ini. Disamping saya terbaring seorang pemuda belia.  Badannya tegap tinggi besar. Namun sekarang, setetes air putih pun hanya  bisa masuk melalui selang yang disambungkan ke lubang hidung. Setiap  kali tetes air itu masuk, setiap kali itu juga dia terbatuk. Belum lagi  ketika selang itu lepas karena ditariknya. Bisakah Anda membayangkan  bagaimana rasanya sebuah selang yang dimasukkan kembali ke  lubang hidung hingga tembus ke kerongkongan? Kita? Sungguh, tidak  kurang suatu apapun. 
4.      Kita perlu lebih sering bersyukur.  Anda orang yang serba kekurangan? Saya tidak. Hanya satu kekurangan  yang saya miliki. Tahukah Anda apa yang kurang dalam diri saya? Rasa  syukur. Hanya itu. Yang lainnya sudah cukup. Namun karena kurangnya rasa  syukur itu, saya sering merasa semuanya menjadi serba kurang. Sudah  punya rumah, tapi merasa rumah saya lebih kecil dibandingkan rumah orang  lain. Sudah ada mobil, tapi mobil orang lain lebih baru dan lebih  keren. Sudah punya penghasilan, tetapi pengeluaran kok selalu lebih  besar dari pada yang dihasilkan. Apakah Anda merasakan hal yang sama?  Jika ya, mungkin  kita punya masalah yang sama, yaitu; kurang memiliki rasa syukur.  Padahal, saat hati saya dengan tulus berbisik; Tuhan, terimakasih hari  ini Engkau memberi kami nafkah yang baik… nikmaaaaat rasanya. Meski  nafkah itu mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Tuhan, terimakasih hari ini Engkau telah menjadikan aku sehat…., lezaaat  sekali rasanya. Tuhan terimakasih Engkau telah mengenalkan saya pada  orang sukses yang bisa menginspirasi, semangaaat sekali hati ini. Apapun  yang kita syukuri, memberikan nikmat yang nilainya berkali-kali lipat.  Sebaliknya, apapun yang tidak kita syukuri; selalu menimbulkan perasaan  kesal. Oleh sebab itu, kita perlu lebih sering bersyukur. Karena kita,  tidak kekurangan apapun kecuali rasa syukur itu.
5.      Kita butuh bertindak secara tepat.  Tindakan. Itulah satu-satunya cara yang bisa menyampaikan kita kepada  suatu tujuan. Tapi tidak semua tindakan bisa begitu lho. Hanya tindakan  yang tepat. Semua yang kita lakukan – diam atau bergerak misalnya –  adalah tindakan. Apapun pilihan kita, adalah tindakan. Tetapi ada  tindakan yang sesuai dengan keinginan atau tujuan yang hendak kita  capai, dan ada pula tindakan yang bertolak belakang. Saat bertanding  diatas ring tinju, Anda harus memukul dan menangkis. Tetapi ketika  tukang cukur memotong janggut Anda, tindakan paling tepat untuk Anda  ambil adalah diam – bukan menonjok. Jadi, kita boleh diam atau bergerak.  Boleh menyerang atau bertahan. Boleh menyerah atau melawan, bergantung  kepada tujuan atau hasil akhir yang ingin kita capai. Masalahnya, kita  sering melakukan sesuatu yang tidak mendukung terwujudnya hasil akhir  itu. Jika tujuan kita ingin dinilai buruk oleh atasan, maka silakan  bermalas-malasan. Jika tujuan kita ingin disebut karyawan sulit; silakan  bikin masalah. Tetapi jika tujuan kita adalah ‘ingin meraih  kredibilitas dan reputasi sebagai karyawan teladan’ misalnya, maka  tindakan yang tepat adalah bekerja giat, penuh dedikasi,  mengkotribusikan hasil kerja terbaik, selalu datang dengan solusi,  bekerjasama dengan rekan, terus menempa diri, tidak pernah mengeluh,  proaktif terhadap penugasan, menawarkan bantuan kepada teman, selalu ada  kapan saja atasan membutuhkan, dan tindak-tindakan pendukung lainnya.  Apapun tindakan Anda, memiliki konsekuensinya masing-masing. So,  dukunglah tujuan yang ingin Anda wujudkan dengan bertindak secara tepat.  
Sekarang,  kami berusaha untuk mengajari anak lelaki mungil kami agar bisa  mengingat nomor telepon rumahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, saya  mengajari diri saya sendiri agar bisa mengenali diri sendiri lebih baik  lagi. Selama ini, kita lebih banyak berfokus kepada orang lain. Dan  sering melupakan diri sendiri. Padahal, kita tidak akan pernah dimintai  pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan oleh orang lain.  Pertanggungjawaban kita hanyalah seputar apa yang telah dilakukan oleh  diri kita sendiri. Selama ini, kita terlampau sibuk menyuruh orang lain  berbuat lebih baik bagi dirinya sendiri. Kita mudah menunjukkan  kekurangan orang lain. Namun sulit menemukan hal-hal yang harus  diperbaiki oleh diri sendiri. Padahal, guru kehidupan saya pernah  mengingatkan bahwa Tuhan sangat marah kepada orang yang menyuruh orang  lain berbuat  baik, padahal dirinya sendiri terus menerus berkubang dalam keburukan.  So, teman-teman, mungkin inilah saatnya untuk lebih banyak melihat  kedalam diri sendiri. Dengan begitu, semoga kita bisa menjadi pribadi  yang lebih baik, dari hari ke hari.
Mari Berbagi Semangat!
Trainer Bidang Leadership & Personnel Development
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap dummy di penerbit)
Catatan Kaki:
Pribadi  yang layak ditiru itu bukanlah orang yang pandai memberi nasihat,  melainkan seseorang yang bisa menjadikan dirinya sendiri pribadi yang  baik.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Kamis, 1 Desember, 2011 22:01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar