Jumat, 23 Desember 2011

Opini & Diskusi: Menikmati Proses

1.  Opini dari William Wiguna:


Dimana kita berdiri tidak penting, yang penting kemana kita akan melangkah ...

Siapa diri kita sekarang tidak penting, yang penting kita mau menjadi siapa dengan pribadi yang bagaimana ...

Siapa orang tua kita tidak penting, yang penting kita mau menjadi anak yang bagaimana ...

Masa lalu tidak penting, yang penting hari ini dan esok ...

Bagaimana orang memandang kita tidak penting, yang penting bagaimana kita memandang orang, dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri ...

Berapa besar kepercayaan orang ditentukan oleh berapa besar kejujuran dan kredibilitas kita ...

Buah yang bagaimana yang akan kita petik ditentukan oleh bagaimana kita menanam ...

Bagaimana sekarang kita berproses inilah yang akan menentukan hasil akhir dari semuanya ...

Seorang pria bijak memasuki sebuah cafe dan mulai menceritakan sebuah lelucon dan membuat semua orang dalam cafe itu tertawa.
Beberapa saat kemudian pria itu mengulangi leluconnya, namun kali ini hanya beberapa orang saja yang tertawa.

5 menit kemudian pria itu kembali menceritakan lelucon yang sama, dan ternyata gak ada yang tertawa.

Pria inipun tersenyum lebar, sambil berkata:
"Bila kamu gak bisa tertawa berulang-ulang pada lelucon yang sama,
lalu mengapa kamu terus menangis berulang-ulang pada masalah yang sama?"

Note: Kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini ..
Tuhan selalu ada.

SELAMAT MENIKMATI PROSES ANDA!

Sumber: BBM

Salam Karakter,
William Wiguna
Tue, 22 Nov 2011 23:59:27
========== =========

2.  Ratmaya Urip:


Dear Pak William,

Maaf, beberapa di antara kata2 mutiara yang Bapak copas ke milis ini, menggelitik saya untuk mengkajinya dari perspektif Manajemen Stratejik dan Quality Management System (QMS). Supaya balance antara Praktek dan Teori.

Copas BBM alinea pertama tertulis: "Dimana kita berdiri tidak penting, yang penting kemana kita akan melangkah..."

Untuk aktifitas individual statement ini sah-sah saja. Karena tanggung jawabnya ada pada pribadi.Mau jungkir balik asal tidak mengganggu lingkungan sah-sah saja untuk dilakukan. Namun jika itu adalah aktifitas institusional, perlu saya kaji sbb:

Dari kajian Manajemen Stratejik atau QMS, kita wajib untuk benar-benar memahami dimana dan sedang dalam kondisi yang bagaimana institusi kita. Sebelum melangkah kita wajib "mapping" atau "capturing", untuk mengidentifikasi kondisi riil institusi kita. Supaya kita dapat merencanakan langkah2 kita menuju goal/objective yg diinginkan.
Dengan kata lain, "mengetahui kita berdiri" itu penting, karena itu adalah "initial step" untuk langkah atau kebijakan yang akan kita lakukan.

Tanpa mengetahui "dimana kita berdiri" kita tidak dapat melakukan aktifitas manajerial secara benar, baik via Input-Proses-Output(IPO), POAC, PDCA, maupun sistem manajemen yang "branded".

Justru itu adalah awal dari proses untuk Planning.
Untuk pengukuran "kuantitatif" dengan mengetahui dimana kita berdiri (sebagai titik NOL), akan dengan mudah mengetahui jarak yang kita tempuh, dan waktu tempuh. Jika tanpa mengetahui titik NOL, apa yang dapat dijadikan dasar sebagai pengukuran kinerja, dan pasti sulit dalam Evaluasi (CHECK), apalagi untuk aplikasi Continual Improvement.

Dalam pengambilan keputusan, beberapa kali saya sempat menulis, bahwa pengambilan keputusan itu terdiri dari 2 (dua) kutub, yaitu: ANALITIS dan INTUITIF.

Dengan mengetahui dimana kita berdiri, akan lebih mudah kita melakukan pengambilan keputusan, terlebih2 jika kita memilih pengambilan keputusan secara ANALITIK.

Sementara pengambilan keputusan secara INTUITIF pun biasanya dilakukan oleh mereka yg punya experiences panjang dalam keputusan ANALITIK. Mereka sebenarnya melakukan pengambilan keputusan secara ANALITIK, namun dilakukan dengan sangat cepat analisisnya, karena mereka sudah benar2 tacit.
Ingat kasus pedagang besi tua dari Madura, yang diminta bantuan oleh pengusaha Jepang untuk menaksir harga pabrik tua dari baja yg akan dirobohkan, karena mau didirikan pabrik baru. Pedagang besi tua dari Madura tersebut, seolah melakukan pengambilan keputusan secara INTUITIF, karena seolah tanpa dipikir, memberikan harga dengan cepat, yg setelah dicocokkan dengan hitungan para engineer dari Jepang yg menghitungnya secara ANALITIK, ternyata hasilnya hampir sama. Si pedagang besi tua, sebenarnya melakukan ANALISIS, namun krn cepat sekali, yg didasarkan pada pengalaman panjangnya, seolah dia melakukan pengambilan keputusan secara INTUITIF.

Kembali ke masalah statement: "dimana kita berdiri tidak penting". Saya akan sampaikan contohnya sbb:

Pak Dahlan Iskan sebagai pejabat baru Menteri BUMN atau Dirut PLN dulu, ketika masuk di awal, tentu akan "mapping" atau "capturing" dulu tentang kondisi institusi barunya. Mempelajari visi-misi-strategi-RJP-RKAP, sistem-proses, dll. Tdk mungkin langsung menggapai goal/objective, tanpa mempelajari kondisi saat beliau masuk. Baru setelah orientasi beberapa saat di titik NOL, kemudian melakukan langkah2 kebijakan. Dengan kata lain beliau memandang penting dimana institusi saat itu sedang berdiri.

Untuk statement lainnya akan saya ulas kemudian.

Salam Manajemen.

(Bersambung)

Ratmaya Urip
Jumat, 2 Desember, 2011 01:34
============ =========

3.  Surjo Sulaksono:


Dear Pak Urip,

Saya juga mendukung pendapat Bapak. Sebab di mana kita berdiri juga penting. Kalo berdiri di lantai yang licin ya kepleset. Kalo yang berpaku dan bertelanjang kaki ya ke tubles. Kalo tempat pijakannya labil bisa terguling atau kejeblos, hehehe. Jadi kalimatnya mungkin menjadi: Di mana kita berdiri akan dapat mempermudah atau mempersulit langkah kita selanjutnya  Sebab itu berdirilah di tempat yang aman (jangan di tempat berbahaya - banyak godaan). Tetapi jangan terlalu nyaman, sebab akan membuat kita malas melangkah (sudah berada di zona nyaman).
Hukum Fisika, benda yang diam akan terus diam - benda bergerak akan terus bergerak jika tidak ada gaya dari luar yang mempengaruhinya. Kalau tidak ada yang mendorong (menarik) kita akan sulit melangkah atau berpindah.  Halaaaah sebetulnya saya mau nulis apa sih?

Surjo Sulaksono
Jumat, 2 Desember, 2011 03:22
=========== ===========

4.  Louisa Sidodana:


Mungkin yg dimaksud berdir adalah kondisi finansial atau kehidupan kita saat ini tdk penting
Lbh penting melangkah keluar dr kondisi saat ini untuk lbh baik

Maaf sy blm bisa menulis panjang spt Pak R. Urip at Pak Surjo
Louisa Sidodana
Jumat, 2 Desember, 2011 04:41
=============== ======

5.  Ratmaya Urip:


Bu Louisa,

Setiap saat dari hidup (termasuk bisnis) ini adalah waktu atau masa yg masing-masing memiliki maknanya masing-masing.

Masa lalu dan saat ini berguna untuk menganalisis "trend". Juga dengan masa lalu dan keberadaan masa kini, kita dapat melakukan refleksi dan analisis, kekurangan dan kelebihan kita selama ini. Apalagi jika saat ini kondisi sedang terpuruk. Dengan mengetahui kesalahan kita masa lalu, maka pasti kita akan selalu menghindarinya di waktu yang akan datang. Apalagi perubahan cepat selalu berlangsung dengan turbulensi yang amat tinggi.
Sehingga perlu kehati-hatian yg prima.

Titik Nol (apakah itu memang benar-benar baru mulai atau "cut off" dari suatu "activity") memerlukan pencerahan dari lingkungan sekitar. Baik lingkungan fisik maupun sosial. Untuk itu diperlukan "Planning", dan "Planning" memerlukan masa lalu dan saat ini untuk memahami "trend", sekaligus, evaluasi diri.
Jarang sekali, bisnis yang tidak menengok "trend" sebagai pijakan "planning".

Dalam Serial Filosofi Manajemen saya, dalam hal ini FILOSOFI BENANG KUSUT (Tousled-yarn Phylosophy) yang pernah saya sampaikan di milis ini, ada 12-M sebagai Faktor Kelola. "M" yang pertama adalah lingkungan (fisik dan sosial-antropologis, dll), atau saya menyebutnya sebagai MILIEU.

Jika kita tidak dapat memahami "trend" lingkungan atau "buta" atas kondisi masa lalu dan saat ini, kita tidak dapat melakukan perencanaan.

Jika mau dan risiko ditanggung sendiri, silakan melangkah tanpa menengok titik NOL. Atau Ibaratnya melakukan perjalanan GO SHOW, atau BONEK. Melakukan perjalanan apalagi dalam kondisi "unusual" bukan "as usual" yang "unpredictable", "uncountable" dan "hopelessness". Memerlukan tingkat derajad "planning" yang lebih tinggi di awal perjalanan atau masa sebelumnya.

GO SHOW atau BONEK, lebih sering menanggung risiko, apalagi jika traffic sedang "high season". Banyak orang yang lebih mementingkan merencanakan perjalanannya di awal (di titik NOL).

Menentukan kapan berangkat, naik moda angkutan apa, membawa apa dan siapa, berapa bekal yang harus dibawa, lewat mana,apa saja programnya ketika di tempat tujuan, dan kapan harus kembali (jika harus kembali) sekecil apapun sering direncanakan lebih dahulu. Dan itu dilakukan pada titik NOL atau bahkan sebelumnya.

Yang pasti dengan memperhitungkan TITIK NOL, membuat kita memudahkan evaluasi di kemudian hari. Apalagi jika ingin dicapai adanya CONTINUAL IMPROVEMENT.

Dalam artikel saya, Serial Filosofi Manajemen 29: FILOSOFI ANAK PANAH, saya menulis yang esensinya: "tak ada anak panah yang dapat melesat cepat, tanpa busurnya", dan "busur" adalah salah satu dari TITIK NOL.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip
Sabtu, 3 Desember, 2011 19:38
========= ===========

6.  Louisa Sidodana:


Makasih Pak R urip atas kupasan dan penjelasan managemennya dimana sy baru belajar dr tulisan2 Bp

Yg sy maksud jk postingan Pak william tdk dipotong2 akan tetapi menjadi satu kesatuan

Analogi berdiri itu kondisi. Suasana hati. Tdk perlu di tangisi atau disimpan dan dibawa kemana2. Coba keluar dari suasana hati yg galau atau sedih itu diluar sana ada banyak sekai yg bisa disyukuri

Itu menurut saya
Memang dlm hal bisnis atau managemen sy bukan type yg suka kebut2an krn akan banyak kelewatnya

Saya lbh pilih direncanakan dg 2 alternatif shg jk menthok tdk langsung mundhur atau diam ditempat.tp sy msh punya jalan lain.
At jika terpeleset dan baju basah kuyup sy sdh bawa baju ganti shg tdk perlu sy pulang terlebih dahulu hanya untuk ganti baju dan berangkat lg

Detailnya sy blm bisa mengupas dg bahasa managemen

Makasih
Louisa Sidodana
Sabtu, 3 Desember, 2011 22:28
================ =====

7. Edward Djojonegoro:


Ulasan anda bagus, Mr. Ratmaya.
Dalam pendekatan management seringkali orang selalu menikmati proses.... Tapi saya paling gak pernah urus proses. Proses boleh indah atau berantakan. End of the day...terpenting result.


Ed
Minggu, 4 Desember, 2011 01:49
============= =========

8.  Ratmaya Urip:


Pak Edward,

He.he.he.. PROSES VS RESULT adalah issue klasik.
Saya sebenarnya tidak begitu nyaman dengan judul thread "menikmati proses". Karena saya menikmati baik "input/raw/resource" , "process" maupun "output/result", secara balance.

Dari experiences saya yang panjang, akhirnya saya cenderung balancing atau, dengan menarik matriks dari PROSES dan RESULT sekaligus INPUT/RAW/RESOURCES.
Dengan kata lain, tiga-tiganya penting, namun dapat memilih salah satu yg dipentingkan case by case.

Mendahulukan Proses, sering "wasting time" sehingga kurang efektif dan tidak efisien.

Mementingkan Result juga tidak efisien. Karena sering terjadi 4R (rework, repair, reject, recall). Sehingga "cost of quality" menjadi besar.

Kasus penarikan (recall)puluhan ribu produk otomotif TOYOTA, VW, General Motor, yg sudah beredar di customer beberapa tahun yg lalu misalnya, adalah contoh recall yg riil.
Keruntuhan jembatan Mahakam juga menurut saya karena kurangnya perhatian pada Proses.

Sementara OM Management di BUMN dan pelayanan publik oleh government terlalu berat ke Proses.
Sehingga sering tidak efektif maupun tidak efisien.

Pilihan "Result Oriented" ataukah "Process Oriented" tergantung dari:

1. Dengan siapa kita berbisnis,
2. Skala bisnis,
3.Sistem atau management style,
4. Jenis bisnis, dan
5. Posisi seseorang dalam manajemen.

Coba kita amati satu per satu;

1. Dengan Siapa Kita Berbisnis.

Bisnis dengan orang Jepang dan Amerika atau Eropa kita dituntut dengan urusan Proses yang memusingkan. Perlu banyak requirement seperti ISO Series, lolos FDA, dll. Juga sering terjadi assessment atau audit atas Proses.
Contoh riil:
Mataram Garment di Yogya yang 100% produknya impor ke USA utk supply ke Walmart, audit proses sangat ketat. Bahkan jumlah WC yang ada di pabrik saja mesti sesuai dengan rasio kecukupunnya. 1 WC utk 25 orang. Maka untuk pabrik dengan 2 ribu karyawan hitung saja berapa WC yg harus disediakan. Kalau tidak dipenuhi, maka mereka akan menolak barang. Belum lagi urusan PROSES yang lain.
Karena mementingkan Proses dan lebih "quality oriented", baik quality of management maupun quality of process, faktor "cost" sering tidak penting bagi mereka. Result bagi mereka adalah nomor dua.

Contoh lain: product CPO, dan olahan kelapa sawit, saat ini mengalami kendala berat, karena negara tujuan ekspor memberlakukan ecolabelling yang ketat. Banyak resistensi dari mereka. Karena produk CPO dan derivative-nya yang dari Indonesia, oleh mereka dianggap membahayakan lingkungan. Kelapa sawit ditanam dengan membakar hutan, sehingga emisi karbonnya membahayakan lingkungan. Juga, perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dianggap merusak keanekaragaman hayati. Karena membakar hutan yang penuh dengan keanekaragaman hayati, mebjadi monokultur (satu jenis kehidupan), yaitu hanya kelapa sawit saja. Belum lagi pembantaian orangutan karena dianggap hama bagi perkebunan kelapa sawit. Maka boikot CPO dari Indonesia menjadi issue besar. Ini karena Proses dan bahkan INPUT-nya dipermasalahkan. Mereka tidak mengutik-utik Result-nya sama sekali.

Sementara di BUMN, dan pelayanan publik oleh government, sering tidak efektif dan efisien, karena terlalu berorientasi ke Proses.

Contoh terakhir, ketika Pak Dahlan Iskan masih sebagai Dirut PLN, terpaksa mengambil alih tanggung jawab bawahannya di Nusa Tenggara Barat, karena bawahannya tidak berani mengambil keputusan untuk menyewa pembangkit listrik swasta (generator) dari swasta, karena harganya jauh di atas yang ditetapkan oleh pemerintah per kwh-nya. Padahal Visi Pak Dahlan Iskan adalah memenuhi target agar setiap wilayah di Indonesia secara bertahap harus bebas mati listrik. Dengan kata lain Pak Dahlan berani mengambil risiko untuk berhadapan dengan sistem yg ditetapkan regulator, demi mengamankan visi-nya. Dan seperti diketahui pelanggaran prosedur sebagai bagian dari sistem/proses di BUMN, akan berhadapan dengan KPK. Meski murni "kebijakan" bukan korupsi, ini sering menjadi dilema di BUMN. Pejabat lain mungkin tidak berani.

2. Perspektif Skala Bisnis Bisnis dengan skala yg besar dengan kompleksitas yang tinggi memerlukan OM Management dengan pendekatan Proses, untuk self-manage. Skala bisnis kecil lebih baik dengan orientasi Result, meskipun untuk ekspor, sering diwajibkan adanya Ecolabelling.

Di Jepang dengan TQC/TQM Toyota Way, Lean Manufacturing, dll menunjukkan mereka concern ke Proses. Itupun masih terjadi ada 4 R (rework,repair,reject,recall).

Bagaimana dengan China? Mereka itu cerdik dan luwes. Ke negara dengan tujuan ekspor yg "Process Oriented" seperti negara2 Barat, mereka bisa melakukan dengan baik. Sehingga produk mereka bisa masuk dengan kemampuan daya saing tinggi yg tanpa mengabaikan Proses. Sementara ke negara2 dengan orientasi Result, seperti Indonesia dan negara dunia ketiga, lebih mudah.
Saya sebut China melakukan balancing atau matriks atas Result and Process. Maka mereka dapat menggurita di seluruh dunia.

3. Sistem atau Management Style

Japanese style, maupun Western Style lebih ke Process-oriented. TQC/TQM with 7-Tools, 4S, Lean Manufacturing, Toyota Way, yg dikenal sebagai Japan Styles, jelas berbasis Proses.
Sementara ISO Series, MBNQA, GCG, ABM, Six-Sigma, dll, yg dikenal sebagai Western Style juga berbasis Proses.

Faktanya selama puluhan dasawarsa, bisnis mereka menguasai bisnis global. Yang tercermin dalam Fortune 500 Global Annual Report, sebelum diganyang China yang menganut balancing atau matriks antara Result Process.

4. Jenis Bisnis

Bisnis dengan risiko tinggi, seperti Oil Gas, Engineering-Procurement-Construction-Commissioning, Power Plant, Transportation (Sea, Air, Land), lebih berorientasi Proses.

Sedang bisnis dengan risiko rendah sering berorientasi Result.

Kalau Finance Business, seperti Banking, Stock Obligation, Insurance, kira2 dengan orientasi Result atau Proses ya?

Sementara untuk Bisnis Hukum (pengacara, notaris) saya kira berorientasi pada Process dan Result sekaligus. He.he.he.. Untuk yg ini, Bro Iming bisa menambahkan atau mengoreksinya jika saya salah.

5. Posisi seseorang dalam Manajemen

Seorang Owner atau CEO atau Top Management lebih ke Result-based. Sementara Middle Management lebih balance. Sedang Front Liner sering dituntut untuk Process oriented.

Dalam manajemen dikenal ada proses yg saya sebut sebagai 3 I (Implementation, Improvement, Innovation).

Level FrontLiner, berkutat dengan "Implementation", dan wajib bekerja sesuai standar, atau Process. Middle Manager dituntut untuk melakukan lebih banyak "Improvement". Sehingga orientasinya sering balance antara Result and Process. Sedang Top Manager, sebaiknya berkutat pada "Innovation" yg lebih berorientasi pada Result.

Demikian, sharing saya.

Terima kasih.
Salam Manajemen.

Ratmaya Urip
Minggu, 4 Desember, 2011 05:00
=============== ========

9. Hery Marijanto:


Terima kasih Pak Ratmaya atas penjelasannya.

Mohon dari pak Ratmaya dan yang lainnya ytang dibawah ini :

Kalau Finance Business, seperti Banking, Stock Obligation, Insurance, kira2 dengan orientasi Result atau Proses ya?

Salam,
Hery M
Minggu, 4 Desember, 2011 07:24
============= =========

10.  Iming Tesalonika:


Seorang Owner atau CEO atau Top Management lebih ke Result-based. Sementara Middle Management lebih balance. Sedang Front Liner sering dituntut untuk Process oriented.Dalam manajemen dikenal ada proses yg saya sebut sebagai 3 I (Implementation, Improvement, Innovation).Level FrontLiner, berkutat dengan "Implementation", dan wajib bekerja sesuai standar, atau Process. Middle Manager dituntut untuk melakukan lebih banyak "Improvement". Sehingga orientasinya sering balance antara Result and Process. Sedang Top Manager, sebaiknya berkutat pada "Innovation" yg lebih berorientasi pada Result.

Komentar imt:
Uraian diatas akurat krn pelbagai alasan logis:
A. Obyek pengendalian memang hrs dikendalikan dan dikelola resikonya dgn membangun menetapkan aturan ttg proses;
B. pekerja otot (yg kreatifitas otaknya gak dibutuhkan) adalah frontliner yg beresiko (resiko celaka, paparan api or benda keras, strike krn ketidakpahaman konsep utuh proyek or organisasi dan karenanya menjadi obyek pengendalian.
C. Profesi or industri yg beresiko tinggi juga menjadi obyek pengendalian. Banking finance industry adalah high risk bagi system ekonomi, tunduk pd aturan perbankan yg process oriented. Sanksi sudah diterapkan saat ada breach of process.
D. System hukum dan penegakannya adalah beresiko tinggi juga, dan tunduk pd sistem kendali dari pimpinan puncak. Pelanggaran proses akan akibatkan abuse of power, lahan cari duit staf. Meski dmkn, polisi or jaksa or hakim yg melanggar proses hukum HAMPIR tidak pernah ditindak. Akibatnya, seni pembelaan klien yg diterapkan advokat hampir selalu diarahkan pd penyimpangan proses hukum, gunakan tangan polisi, jaksa hakim untuk langgar aturan proses. Polisi jaksa hakim juga selalu cari duit extra informal dari pencari keadilan dgn menghitung konsekuensi pelanggaran aturan proses.

Bolehkah polisi jaksa hakim cari duit extra informal (diluar gaji resmi) ? Bukankah ini masih lazim? Usahawan sering bukan memberi angpau ke penegak hukum? Bolehkah polisi banyak duit jadi miliarder?

Salam,

Iming
Minggu, 4 Desember, 2011 13:24
======== ==============

11.  BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar