Kamis, 26 Januari 2012

Banalitas Dalam Arus Globalisasi

Oleh: Andre Vincent Wenas

“Da spatium tenuemque moram, male cuncta ministrant impetus.” (berilah ruang,
kelapangan, dan jeda; yang serba tergesa-gesa menyebabkan semuanya menjadi
buruk) – pepatah Latin.

***

  Di jaman serba instan di mana dunia nampak tergopoh-gopoh, melatih kebiasaan
berpikir secara mendasar dan menghargai proses malah terlihat renta, tidak
relevan dan ketinggalan jaman. Kiat-kiat praktis marak dipasarkan (supply)
lantaran itu yang diminta orang (demand), walau tanpa disadari hidup yang
digantungkan hanya pada kiat-kiat praktis pada gilirannya bakalan menjadi tidak
praktis lagi nantinya. Banalitas adalah realitas kontemporer.

  Metode pemecahan masalah yang hanya menyisir tepian masalah (periferal) tanpa
pernah menukik ke kedalaman (hakekat) segala sesuatu, pada galibnya tidaklah
memahami masalah yang sesungguhnya alih-alih menyelesaikannya. Ia cuma
menghilangkan symptom sakit kepala, tanpa sadar bahwa akar masalahnya ada di
kanker yang perlu dibedah tuntas.

  Obyek pemikiran memang tidak pernah sederhana, maka “Dalam rangka untuk
mengenal benar-benar obyek semacam itu, seseorang harus dengan rajin
memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya,
dan selalu melihat serta menganalisis obyek tersebut dari berbagai-bagai
pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir.” (J.M. Bochenski, 1972).

***

  “Ekonomi-global” adalah realitas sosial kontemporer, sedangkan
“globalisasi-ekonomi” adalah programa sistematis gerakan neoliberal. Dua konsep
yang kedengarannya mirip tapi hakekatnya berbeda. Para pemasar yang berasal dari
perusahaan nasional dan yang tergabung dalam perusahaan multinasional tentu
punya paradigma berbeda meski keduanya sama-sama orang Indonesia. Struktur
sosial di mana kedua agensi itu beroperasi berbeda, meskipun keduanya berada di
satu negara yang sama. Globalisasi telah mengikis batas demarkasi teritori
bangsa.

  Baiklah disadari bahwa ketika sistem perekonomian suatu bangsa terintegrasi
dengan pasar global, maka ia tidak lagi steril terhadap pengaruh  maupun
kepentingan politik dan ekonomi eksternal. Prof. Dr. Budi Winarno (bukunya:
Globalisasi, Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, 2008) dengan mengutip Geofrey
Garret (Global Markets and National Politics, 2000) menyebutkan tiga mekanisme
bagaimana pengaruh eksternal itu berdampak pada ekonomi nasional, yakni: 1)
tekanan perdagangan yang semakin kompetitif, 2) multinasionalisasi produksi, dan
3) integrasi pasar keuangan.

  Mekanisme pertama, intensitas kompetisi perdagangan yang semakin meningkat
adalah unsur pokok dari tesis globalisasi konvensional. Meskipun tesis
meningginya intensitas perdagangan ini sudah diterima umum, sesungguhnya
kompetisi global yang terjadi bukan hanya isu perdagangan, tapi juga soal
memperebutkan investasi. MNC (multi-national corporations) dan global investment
capital hanya akan mengalir ke wilayah yang menguntungkan (buat mereka) dan
menawarkan (kepada mereka) insentif terbaik.

  Kedua, multinasionalisasi produksi. Termasuk di dalamnya resiko (ancaman) MNC
yang dengan mudah bisa memindahkan lokasi produksi dari satu negara ke negara
lain (dalam rangka optimalisasi profitabilitas, return on investment). Dalam
konteks ekonomi global ini, pembedaan antara “kita” dan “mereka” tidak lagi
terjadi antar-negara, tetapi lebih bersifat antar-warganegara dan MNC yang
beroperasi di dalamnya, terlepas dari/di negara mana mereka berdiri. Konsekuensi
bagi pemerintah adalah aplikasi kebijakan pasar bebas, sebagai prasyarat
memenangkan kompetisi menggaet investasi MNC demi membuka lapangan kerja.

  Ketiga, integrasi pasar finansial global. Pasar dunia semakin terkoneksi dan
terintegrasi satu sama lain. Akibatnya – seperti kita ketahui dan alami bersama
– gejolak mata uang (dan ekonomi) di suatu negara akan mengimbas ke lain
wilayah. Bencana sub-prime mortgage di AS sampai terjadinya krisis ekonomi dunia
saat ini adalah verifikasi interdependensi ekonomi global.

  Akhirnya disimpulkan bahwa globalisasi berwajah plural dan tidak bisa dilihat
secara fragmentaris. Sebagai sebuah fenomena sosial, ekonomi dan politik,
globalisasi membawa hal positif sekaligus negatif, peluang sekaligus ancaman.

  Untuk menyikapi globalisasi secara adekuat niscaya dibutuhkan daya kritis yang
tidak menggampangkan persoalan hanya dengan kiat-kiat manajemen praktis semata.
Dibutuhkan reformasi cara berpikir dan cara bertindak. Yang jelas, banalitas
bukanlah rutenya.
 ------------------------------------------------
(Artikel ini telah dikontribusikan ke Majalah MARKETING oleh Kontributor. Segala hal yang menyangkut sengketa atas Hak Kekayaan Intelektual, menjadi tanggung jawab sepenuhnya pada Kontributor)
Selasa, 24 Januari, 2012 12:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar