Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala:  ”Orang yang menjadikan uang sebagai alat ukur utama keberhasilan sering  terkecoh oleh tampak luar sehingga gampang menyerah atau lupa diri.”
Kita  sering menjadikan uang sebagai ukuran utama keberhasilan seseorang. Jika  uangnya banyak, maka seseorang layak dinilai sukses. Jika uangnya  sedikit, maka tak ada cukup alasan untuk menyebutnya sebagai pribadi  yang berhasil. Demikian pula halnya dengan pertumbuhan pribadi kita yang  sering diukur dengan takaran yang sama, yaitu; berapa banyak uang yang  berhasil kita kumpulkan. Tidak heran jika kita sering merasa gagal kala  melihat betapa sedikitnya uang yang kita miliki. Anda tidak perlu  khawatir kalau-kalau saya menganjurkan hidup sederhana. Anda juga tidak  usah takut saya akan mempengaruhi Anda untuk menjadi orang miskin.  Tidak. Bahkan, saya pribadi pun ingin sekali menjadi orang kaya raya  dengan kepemilikan melimpah, kok. Kita punya keinginan yang sama.  Tetapi, ketika sedang berproses untuk mewujudkan cita-cita itu, kita  sering  disiksa oleh perasaan negatif, hanya karena melihat kenyataan bahwa  setelah semua jerih payah ini – uang kita tidak kunjung banyak.  Percayalah, ada alat ukur lain yang dapat menentukan apakah usaha Anda  sudah membuahkan hasil atau tidak. Dan Anda, tidak perlu menyiksa diri  dengan pertanyaan; mana hasil jerih payah inih? 
Setelah  pensiun dari profesinya sebagai guru, Ayah saya menjadi petani  sepenuhnya. Ketika pulang kampung bulan lalu, Ayah menunjukkan kebun  mentimun yang baru saja ditanamnya. Dua helai daun mungil muncul dari  biji benihnya. Pekan lalu, Ibu saya bertanya kapan saya pulang.  Mentimunnya sudah dipanen, katanya. Bagi saya, pertani merupakan salah  satu guru terbaik untuk belajar tentang kehidupan. Dari para petani,  kita bisa belajar bagaimana proses menghasilkan sesuatu berlangsung.  Orang-orang ‘kota’ seperti kita sering diburu oleh keinginan untuk  menghasilkan segala sesuatu secara instan. Hari ini berusaha, hari ini  harus ada hasilnya. Jika hari ini tidak mendapatkan apa yang kita  inginkan maka kita buru-buru mengambil kesimpulan bahwa kita sudah  gagal. Lalu kita tinggalkan semua yang sudah kita mulai itu dengan  perasaan kesal. Para  petani tidak begitu. Semua petani tahu, bahwa untuk menghasilkan  sesuatu yang diinginkan tidak ada cara instan. Ada serangkaian proses  yang harus dilalui, yaitu; menanam, memelihara, dan barulah memanen.  Para petani membantu saya menyadari betapa banyaknya prinsip hidup  modern kita yang keliru sehingga hari-hari kita dipenuhi dengan tekanan  batin yang bisa membuat depresi. Bagi Anda yang tertarik menemani saya  belajar memahami makna hidup dari para petani, saya ajak memulainya  dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™)  berikut ini: 
1.      Mengatur fokus perhatian.  Diantara system nilai petani yang layak kita tiru adalah mereka percaya  bahwa; buah adalah ekses dari kualitas tetumbuhan yang ditanamnya. Saya  ulang; ‘Buah adalah ekses dari kualitas tetumbuhan yang ditanamnya.”  Jika ingin mendapatkan buah yang banyak, maka para petani sadar bahwa  yang harus mereka lakukan adalah menanam benih yang baik, dan merawatnya  dengan cara yang baik. Dengan prinsip yang sama, kita bisa  mengembangkan kepercayaan bahwa;  ”uang adalah ekses dari kinerja yang kita berikan”. Saya ulang; ”uang  adalah ekses dari kinerja yang kita berikan”. Hasil akhir yang  diharapkan petani adalah buah. Tetapi mereka tidak mengejar buah,  melainkan membaguskan tanaman yang dirawatnya. Begitu pula halnya dengan  kita. Uang adalah hasil akhir yang kita ingin dapatkan. Maka berguru  kepada petani itu; seyogyanya kita tidak mengejar uang. Melainkan  membaguskan kinerja dan kontribusi yang bisa kita berikan. Petani paham  betul bahwa terlampau memfokuskan diri kepada buah bisa membuat mereka  lupa untuk merawat tanamannya. Sebaliknya, memfokuskan diri kepada  tanaman, justru bisa memberinya buah dengan kualitas terbaik, dan  kuantitas yang melimpah. Maka, meskipun tujuan kita adalah untuk  mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, mari kita arahkan fokus kita kepada  yang seharusnya. Fokuslah pada upaya merawat pohonnya, maka buahnya  akan kita dapatkan.
2.      Pertumbuhan diri adalah ciri utama keberhasilan.  Sejak pertama kali menanam bibit mentimun itu, Ayah membutuhkan waktu  sekitar satu setengah bulan hingga buahnya bisa dipanen. Di hari ketiga  atau kesepuluh Ayah tidak pernah mengeluh; mengapa tanaman ini belum  juga menghasilkan buah? Karena seorang petani sadar bahwa keberhasilan  usahanya tidak diukur dari buah semata. Melainkan dari pertumbuhan yang  diperlihatkan oleh tanamannya. Kita mengeluh jika belum juga  menghasilkan uang. Padalah wujud keberhasilan usaha kita  tidak semata diukur oleh uang. Lihatlah apakah pengetahuan Anda  meningkat? Periksalah apakah keterampilan Anda bertambah? Jika ya, maka  Anda tidak boleh berkecil hati. Usaha Anda sudah berhasil. Tapi mengapa  tidak juga datang uangnya? Hey, lihatlah para petani itu. Mereka tahu  bahwa saatnya panen belum lagi tiba. Sekarang adalah saat untuk  menumbuhkan. Membesarkan. Dan membaguskan. Kita juga harus faham bahwa  saat ‘memetik hasil’ dari segala jerih payah kita belum tiba. Bahkan  ketika mentimun itu sudah mulai berbuah. Ayah tidak tergesa-gesa  memetiknya. Ditunggunya beberapa hari lagi. Sampai buahnya matang  sempurna. Kita sering terburu-buru ingin sesegera mungkin mendapatkan  keuntungan dan uang melimpah. Para petani itu mengingatkan kita bahwa; ada saat yang tepat untuk memetik hasil terbaik.  Lebih  dari itu, mereka mengingatkan kita bahwa keberhasilan tidak  semata-mata ditandai dengan bertambahnya jumlah uang yang kita miliki,  melainkan pada kualitas diri kita yang bertambah tinggi. Itulah makna  dari pertumbuhan diri. Dan pertumbuhan itulah yang menjadi indikasi  utama, apakah kita berhasil atau tidak.
3.      Memberi kontribusi kepada lingkungan.  Fokus kepada penanaman dan perawatan untuk menghasilkan pertumbuhan  yang baik; itulah yang dilakukan oleh para petani. Pertanyaan saya,  pernahkan Anda memperhatikan bagaimana petani memberi pupuk kepada  tanaman agar bisa tumbuh dengan subur? Unik sekali. Petani tidak pernah  menyuapi tanamannya dengan pupuk itu. Pakai sendok. Lalu memasukkannya  kedalam mulut. Tidak. Alih-alih memberikan pupuk itu kepada tanamannya,  para petani justru menebarkan pupuk itu ke permukaan tanah disekeliling  tanaman itu. Lho, siapa sesungguhnya yang diberi ‘pakan’ oleh sang  petani?  Anda benar. Petani itu memberikan ‘pakan’ kepada tanah hingga  menjadikannya gembur dan subur. Tidakkah ini isyarat yang demikian jelas  bahwa; jika Anda ingin ‘tanaman’ milik Anda itu tumbuh baik maka Anda  harus berkontribusi kepada lingkungan tempat tumbuhnya tanaman itu? Jika  Anda ingin mendapatkan buah yang banyak, berilah pupuk kepada  lingkungan sekitar pohon itu. Jika Anda ingin menghasilkan uang banyak,  berilah kontribusi lebih banyak kepada lingkungan atau tempat kerja  Anda. Kira-kira begitulah maknanya. Kita ingin sekali untuk menghasilkan  uang yang banyak. Gaji yang besar. Bonus yang melimpah. Tapi, kita  enggan untuk memberikan ‘pupuk’ terbaik agar perusahaan bisa ‘subur dan  gembur’. Itu ibarat petani yang ingin tanamannya berbuah banyak tetapi  tidak mau menebarkan pupuk kepada tanah disekitarnya. Mana mungkin pohon  itu akan berbuah banyak jika tanah disekitarnya dibiarkan merana? Mana  mungkin menghasilkan uang banyak jika  kontribusi kita kepada lingkungan sangat rendah? Mana mungkin  mendapatkan imbalan banyak jika kinerja yang kita persembahkan kepada  perusahaan hanya sekedar alakadarnya? Berilah pupuk kepada tanah. Maka  tanaman Anda akan berbuah melimpah. Berilah kontribusi kepada  lingkungan. Maka Anda akan mendapatkan keberlimpahan.
4.      Terus menebarkan benih yang baru. Sebelum  menanam ketimun itu, saya tahu persis jika kebun Ayah ditanami buah  pare. Sebelumnya ada terong. Atau kacang panjang. Para petani sadar  bahwa tidak ada tanaman penghasil buah yang akan abadi. Maka sebelum  tanaman yang satu berhenti berbuah, mereka sudah bersiap-siap untuk  menebar bibit benih tanaman yang lainnya. Kita sering mengira bahwa apa  yang menghasilkan hari ini, akan menghasilkan selamanya. Makanya, kita  terus saja berkutat dengan apa yang biasanya kita lakukan. Tidak begitu  cara para petani bersikap. Tindakan, standard kerja, kualifikasi  keahlian atau  apapun yang hari ini bisa menempatkan Anda sebegai pribadi yang unggul –  mungkin sudah tidak akan bisa lagi bersaing beberapa tahun kemudian.  Oleh karena itulah makanya kita butuh terus menerus ‘menanam’ benih  baru. Apakah benih pengetahuan yang baru. Keterampilan baru. Perilaku  baru. Atau apapun yang bisa membantu kita untuk selalu berada digaris  terdepan. Karena hanya dengan cara terus menerus menanam bibit yang baru  itulah, kita akan selalu menghasilkan sesuai dengan yang kita inginkan.  Para petani, mengajarkan untuk tidak pernah berhenti berkarya dan  berbuat. Tidak ada kata berakhir. Makanya, kita tidak pernah mendengar  ada petani yang pensiun. Orang modern seperti kita sering dihantui oleh  kata ‘pensiun’. Di usia 55, kita mendapatkan uang banyak sekaligus.  Setelah itu kita bingung mau ngapain. Petani, tidak pernah mengalami  itu. Karena mereka tahu, bahwa roda kehidupan tidak pernah sedetik pun  berhenti. Sehingga kita, wajib untuk terus  bergerak. Berbuat. Dan berkarya. Kakek saya – ayahnya ayah saya – wafat  di tengah sawah. Ketika beliau sedang bekerja merawat  tanaman-tanamannya. Kakek saya telah memberi teladan kepada cucunya,  bahwa selama hayat dikandung badan; tidak ada kata berhenti dari  menghasilkan karya-karya terbaru. Sampai kapan? Sampai sang pemilik  hidup memanggil kita.
5.      Cara terhormat untuk mendapatkan buah.  Kebun Ayah hanya dipisahkan pematang sawah selebar 20 centimeter dari  kebun milik petani lain. Tidak ada pagar pemisah. Apalagi tembok yang  membatasi kebun-kebun itu. Ayah bisa melihat buah dari tanaman petani  lain. Bisa menjangkaunya dengan mudah. Begitu pula sebaliknya.  ‘Mendapatkan buah sebanyak-banyaknya adalah GOAL para petani. Tetapi,  mereka tidak memetiknya dari pohon di kebun tetangganya. Mendapatkan  uang sebanyak-banyaknya adalah tujuan utama kita. Pertanyaannya adalah;  jika Anda memiliki akses kepada uang orang lain. Yang bisa dijangkau  dengan mudah.  Tidak dilindungi dinding tebal. Tidak dikunci dalam brangkas.  Sanggupkah Anda untuk hanya ‘memetik’ uang yang tumbuh dari ‘pohon’ yang  ada di ‘wilayah’ Anda sendiri? Para petani mengajarkan lebih dari  sekedar cara mencapai tujuan. Mereka menunjukkan makna integritas yang  sesungguhnya. Mudah untuk ‘tidak mencuri’, jika buah dipohon orang lain  dikelilingi oleh pagar tinggi. Tetapi, ‘membiarkan’ buah milik orang  lain yang tidak dilindungi tetap ditempatnya merupakan tantangan  tersendiri. Gampang untuk ‘tidak mengambil’ uang yang bukan hak kita  jika uang itu dijaga ketat. Tapi, jika uang itu ada didepan mata. Dan  tujuan hidup kita adalah memperoleh sebanyak mungkin uang, bisakah kita  menjaga kehormatan ini? Para petani mengajarkan bahwa ada banyak cara  mendapatkan buah. Namun hanya ada satu cara yang terhormat, yaitu;  memetiknya dari pohon dilahan mereka sendiri. Ada banyak cara untuk  mendapatkan uang yang banyak. Namun hanya ada  satu cara terhormat, yaitu; mengambilnya dari kepemilikan kita sendiri.
Kita  percaya bahwa Tuhan akan mencukupkan rezeki setiap mahluknya. Itulah  sebabnya kita jarang sekali menemukan ada yang kelaparan. Jika itu  terjadi, maka bisa dipastikan adanya intervensi. Baik dari dalam dirinya  sendiri, maupun dari luar. Intervensi dari dalam diri bisa berarti  orang itu yang tidak mau berusaha melakukan tindakan yang memungkinkan  rezeki yang sudah Tuhan siapkan itu sampai kepada dirinya. Intervensi  dari luar bisa berarti orang-orang yang lebih kuat merebut dan menguasai  jatahnya. Jika Anda bisa membaca artikel saya, maka itu menunjukkan  fakta bahwa – seperti halnya saya – Anda jauh lebih beruntung dari  kebanyakan orang yang lainnya. Kita memiliki kekuatan, kemampuan dan  kesanggupan untuk melakukan lebih banyak hal daripada orang kebanyakan.  Situasi aman disekitar kita juga menjamin minimalnya intervensi dari  luar. Bukankah kita  jarang sekali menemukan orang yang memeras kita? Mengambil hak kita  secara paksa? Atau memotong gaji kita secara semena-mena? Masalahnya  adalah; apakah kita sudah bisa membebaskan diri dari intervensi yang  datang salam diri kita sendiri? Yaitu intervensi yang memaksa kita untuk  tidak melakukan tindakan yang perlu kita lakukan agar semua rezeki yang  Tuhan berikan untuk kita itu benar-benar berhasil kita dapatkan. Para  petani itu sudah menunjukkan pelajaran terpentingnya. 
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 9 JaNEWary 2012
Trainer of Natural Intelligence Leadership Training
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Baru selesai cetak di penerbit)
Catatan Kaki:
Keberhasilan kita diukur dari pertumbuhan yang berhasil kita raih setiap hari, bukan dari uang yang berhasil kita kumpulkan.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Minggu, 8 Januari, 2012 22:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar