SELAMAT TAHUN BARU 2012
Oleh: Andre Vincent Wenas
“What is the hardest task in the world? To think.” (Ralph Waldo Emerson)
***
  Tatkala krismon (krisis moneter) bermetamorfosis jadi Kristal (krisis total), 
kita tidak bisa lagi berhenti pada analisis ekonomi. Refleksi mesti terus 
menukik ke kedalaman yang hakiki, manusia itu sendiri. 
  Tentang kondisi hutang dunia ketiga, Pat Robertson (The New World Order, 1991) 
menyindir para pengutang sekaligus menohok si pemberi hutang (kreditor Barat), 
“…and it is a dagger pointing at the financial heart of the Western banking 
system. Most of these loans are jokes. The attitude of the newly enriched 
leaders is simple, ‘If you were stupid enough to loan us the money, why do you 
think we are stupid enough to pay it back?’”. Situasinya jadi lingkaran setan.
  Kebanyakan negara dunia ketiga telah terperangkap dalam, “…constant cycle of 
runaway inflation, degradation, despair, and rapidly compounding debt.” 
Celakanya, “…in these Third World countries there are not only unavoidable 
problems, but overtly oppression of these people by their own leaders.” Tragis 
memang, para pemimpin yang seyogianya mengentas bangsanya dari keterpurukkan 
malah menjadi drakula penghisap kesejahteraan rakyat. 
  Terhadap kenyataan ini, para profesional hendaknya tidak ikut terpuruk dalam 
keputusasaan dan tinggal diam. Faktisitas adalah juga panggilan hidup yang mesti 
dijawab.
***
  Dalam alam pikir mitis, kita terkagum-kagum dengan ‘kedahsyatan’ negara maju, 
juga dengan kedigdayaan masa lalu kita sendiri. Banyak mitos mengenai bangsa 
superpower tersebut, seperti juga mitos tentang makmur dan suburnya tanah air 
Nusantara. Namun hendaknya alam pikir kita terus bergerak masuk ke tahap 
ontologis, di mana kita mengatur distansi demi melakukan analisis rasional. 
Sehingga kemudian, berdasarkan itu bisa bergerak ke tahap alam pikir fungsional, 
untuk mengambil manfaat praktis dan menentukan bagaimana seharusnya kita 
bertindak. Peta strategi kebudayaan seperti yang dijelaskan Prof.Dr. C.A. van 
Peursen (Strategi Kebudayaan, 1976), seyogianya bisa membantu korporasi serta 
bangsa kita mentas agar mandiri dalam berpikir dan bertindak, sedemikian 
sehingga globalisasi lebih terlihat sebagai platform kesempatan ketimbang 
ancaman.
  Para pemimpin yang de facto telah menempuh The Machiavelian-Way sebagai 
metodologi menuju kekuasaan kerap disebut demonik lantaran melihat kekuasaan 
sebagai tujuan bukannya sebagai sarana membangun negara kesejahteraan. Niccolo 
Machiaveli menulis, “…that by his parsimony he has increased his revenue to a 
condition of defending himself against invasion and of engaging in enterprises 
upon other people without oppressing his subjects; so that he shall be accounted 
noble to all from whom he takes nothing away, which are an infinite number, and 
near and parsimonious only to such few as he gives nothing to.” (The Prince, 
1513). Cara apapun boleh ditempuh, khas Machiavelian-Way.  Adalah tanggungjawab 
Anda para leaders untuk tidak ikut berpartisipasi dalam proses pembodohan 
bangsa. Mengasah daya kritis adalah salah satu fondasi dalam membangun karakter 
bangsa.
***
  Pertanyaan yang mengganggu kita di abad terakhir ini adalah: mengapa sebagian 
negara berhasil dan sebagian lagi gagal dalam kancah persaingan global? Daya 
saing (competitiveness) menjadi tema sentral perhatian para pelaku industri 
maupun pemerintah di setiap negara.
  Daya saing suatu bangsa (Michael Porter dengan diamond theory-nya, dalam: The 
Competitive Advantage of Nations, 1990) mengandung empat determinan:  1) Factor 
conditions, yang merupakan posisi bangsa dalam faktor produksi, seperti tenaga 
kerja terampil atau infrastruktur yang dibutuhkan untuk berkompetisi di dalam 
suatu industri. Di sini ada lima prasyarat pendukung, yakni: sumber daya 
manusia, sumber daya material/alam, sumber pengetahuan, sumber modal dan 
infrastruktur. 2) Demand conditions. 3) Related and supporting industries. 4) 
Firm strategy, structure, and rivalry. Di sini kita hanya ingin menekankan 
determinan pertama, khususnya yang berbicara tentang profesionalisme para 
profesionalnya.
***
  Menarik apa yang diungkap oleh  John Micklethwait & Adrian Wooldridge (A 
Future Perfect, The Challenge and Hidden Promise of Globalization) tentang lima 
mitos dalam globalisasi: mitos bahwa ukuran mengalahkan segala; Mitos 
kedigdayaan produk universal; Mitos bahwa ekonomika harus dirombak; Mitos 
globalisasi sebagai permainan kalah menang; dan Mitos lenyapnya geografi. 
Sehingga kalau direnungkan baik-baik, sebetulnyalah kita punya kesempatan besar. 
Persoalannya, jangan kita hanya berhenti pada alam pikir mitis dan terjebak 
dengan mitos. Terlalu mengagung-agungkan bahkan mendewa-dewakan sesuatu 
(seseorang) sehingga gerak kebudayaan kita macet di tahap mitis. Daya kritis, 
keberanian, kejujuran dan antusiasme adalah daya pendorong untuk lepas landas, 
pertama-tama alam pikirnya (mind-set) lalu sebagai bangsa. Selamat tahun baru 
2012.Majulah Indonesia!
(Catatan:  artikel ini telah dikontribusikan oleh Kontributor di   Majalah MARKETING. Segala hal yang menyangkut sengketa Hak Cipta menjadi  tanggung jawab Kontributor)
Sabtu, 31 Desember, 2011 21:35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar