Sabtu, 07 Januari 2012

Paradigma Baru untuk Tata Dunia Baru

SELAMAT TAHUN BARU 2012


Oleh: Andre Vincent Wenas


“What is the hardest task in the world? To think.” (Ralph Waldo Emerson)

***

  Tatkala krismon (krisis moneter) bermetamorfosis jadi Kristal (krisis total),
kita tidak bisa lagi berhenti pada analisis ekonomi. Refleksi mesti terus
menukik ke kedalaman yang hakiki, manusia itu sendiri.

  Tentang kondisi hutang dunia ketiga, Pat Robertson (The New World Order, 1991)
menyindir para pengutang sekaligus menohok si pemberi hutang (kreditor Barat),
“…and it is a dagger pointing at the financial heart of the Western banking
system. Most of these loans are jokes. The attitude of the newly enriched
leaders is simple, ‘If you were stupid enough to loan us the money, why do you
think we are stupid enough to pay it back?’”. Situasinya jadi lingkaran setan.

  Kebanyakan negara dunia ketiga telah terperangkap dalam, “…constant cycle of
runaway inflation, degradation, despair, and rapidly compounding debt.”
Celakanya, “…in these Third World countries there are not only unavoidable
problems, but overtly oppression of these people by their own leaders.” Tragis
memang, para pemimpin yang seyogianya mengentas bangsanya dari keterpurukkan
malah menjadi drakula penghisap kesejahteraan rakyat.

  Terhadap kenyataan ini, para profesional hendaknya tidak ikut terpuruk dalam
keputusasaan dan tinggal diam. Faktisitas adalah juga panggilan hidup yang mesti
dijawab.

***

  Dalam alam pikir mitis, kita terkagum-kagum dengan ‘kedahsyatan’ negara maju,
juga dengan kedigdayaan masa lalu kita sendiri. Banyak mitos mengenai bangsa
superpower tersebut, seperti juga mitos tentang makmur dan suburnya tanah air
Nusantara. Namun hendaknya alam pikir kita terus bergerak masuk ke tahap
ontologis, di mana kita mengatur distansi demi melakukan analisis rasional.
Sehingga kemudian, berdasarkan itu bisa bergerak ke tahap alam pikir fungsional,
untuk mengambil manfaat praktis dan menentukan bagaimana seharusnya kita
bertindak. Peta strategi kebudayaan seperti yang dijelaskan Prof.Dr. C.A. van
Peursen (Strategi Kebudayaan, 1976), seyogianya bisa membantu korporasi serta
bangsa kita mentas agar mandiri dalam berpikir dan bertindak, sedemikian
sehingga globalisasi lebih terlihat sebagai platform kesempatan ketimbang
ancaman.

  Para pemimpin yang de facto telah menempuh The Machiavelian-Way sebagai
metodologi menuju kekuasaan kerap disebut demonik lantaran melihat kekuasaan
sebagai tujuan bukannya sebagai sarana membangun negara kesejahteraan. Niccolo
Machiaveli menulis, “…that by his parsimony he has increased his revenue to a
condition of defending himself against invasion and of engaging in enterprises
upon other people without oppressing his subjects; so that he shall be accounted
noble to all from whom he takes nothing away, which are an infinite number, and
near and parsimonious only to such few as he gives nothing to.” (The Prince,
1513). Cara apapun boleh ditempuh, khas Machiavelian-Way.  Adalah tanggungjawab
Anda para leaders untuk tidak ikut berpartisipasi dalam proses pembodohan
bangsa. Mengasah daya kritis adalah salah satu fondasi dalam membangun karakter
bangsa.

***

  Pertanyaan yang mengganggu kita di abad terakhir ini adalah: mengapa sebagian
negara berhasil dan sebagian lagi gagal dalam kancah persaingan global? Daya
saing (competitiveness) menjadi tema sentral perhatian para pelaku industri
maupun pemerintah di setiap negara.

  Daya saing suatu bangsa (Michael Porter dengan diamond theory-nya, dalam: The
Competitive Advantage of Nations, 1990) mengandung empat determinan:  1) Factor
conditions, yang merupakan posisi bangsa dalam faktor produksi, seperti tenaga
kerja terampil atau infrastruktur yang dibutuhkan untuk berkompetisi di dalam
suatu industri. Di sini ada lima prasyarat pendukung, yakni: sumber daya
manusia, sumber daya material/alam, sumber pengetahuan, sumber modal dan
infrastruktur. 2) Demand conditions. 3) Related and supporting industries. 4)
Firm strategy, structure, and rivalry. Di sini kita hanya ingin menekankan
determinan pertama, khususnya yang berbicara tentang profesionalisme para
profesionalnya.

***

  Menarik apa yang diungkap oleh  John Micklethwait & Adrian Wooldridge (A
Future Perfect, The Challenge and Hidden Promise of Globalization) tentang lima
mitos dalam globalisasi: mitos bahwa ukuran mengalahkan segala; Mitos
kedigdayaan produk universal; Mitos bahwa ekonomika harus dirombak; Mitos
globalisasi sebagai permainan kalah menang; dan Mitos lenyapnya geografi.
Sehingga kalau direnungkan baik-baik, sebetulnyalah kita punya kesempatan besar.
Persoalannya, jangan kita hanya berhenti pada alam pikir mitis dan terjebak
dengan mitos. Terlalu mengagung-agungkan bahkan mendewa-dewakan sesuatu
(seseorang) sehingga gerak kebudayaan kita macet di tahap mitis. Daya kritis,
keberanian, kejujuran dan antusiasme adalah daya pendorong untuk lepas landas,
pertama-tama alam pikirnya (mind-set) lalu sebagai bangsa. Selamat tahun baru
2012.Majulah Indonesia!



(Catatan:  artikel ini telah dikontribusikan oleh Kontributor di  Majalah MARKETING. Segala hal yang menyangkut sengketa Hak Cipta menjadi tanggung jawab Kontributor)

Sabtu, 31 Desember, 2011 21:35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar