Kamis, 26 Januari 2012

Membendung Pengaruh Buruk Lingkungan

Oleh:  Dadang  Kadarusman


Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Catatan Kepala: ”Tidak ada tempat sembunyi dari serbuan pengaruh buruk lingkungan. Namun kita bisa membendungnya agar tidak mencemari kepribadian kita.”
 
Beberapa tahun lalu, lingkup interaksi kita dengan orang lain relative masih sangat terbatas. Makanya, pengaruh dari pergaulan pun tidak semasif seperti saat ini. Sekarang, nyaris tidak ada lagi sekat yang memisahkan kita dengan orang lain. Seseorang dari seberang benua pun bisa menelusup masuk hingga ke wilayah paling pribadi di rumah kita. Lalu menanamkan pengaruhnya kedalam relung hati kita. Bagus? Bisa bagus jika pengaruh yang ditebarkannya positif. Namun jika kita bersedia jujur, berapa persen dari pesan-pesan yang kita terima berisi nilai-nilai konstruktif? Mungkin tidak semuanya negatif. Tetapi secara tidak sadar, jiwa kita terus diserbu system nilai yang tidak memberi nilai tambah kebaikan apapun. Emangnya kenapa? Biasa aja lagi! Begitukah?
 
Ada 2 email aneh yang menerobos account pribadi saya. Email pertama menawari saya ijazah palsu. Cukup dengan Rp. 6,000,000.- katanya, saya bisa mendapatkan ijazah Doktor yang dilegalisir lembaga resmi terkait. Orang ini mengira jika saya kepingin banget mengoleksi ijazah. Padahal, sampai sekarang pun saya tidak ingat dimana saya simpan ijazah yang saya dapat melalui pahit getirnya kuliah di ITB. Pagi ini saya mendapat email lagi. Kali ini menggunakan bahasa Inggris. Menawari saya untuk membuat passport palsu. Orang ini mengira bahwa saya malu dengan identitas sendiri sehingga harus menyamar dan pergi ke negeri orang. Padahal, semua orang bisa menemukan saya melalui www.dadangkadarusman.com  atau buku-buku yang saya tulis. Saya harus berterimakasih pada orang-orang ini. Mereka telah membuka mata saya bahwa keutuhan pribadi kita sedang diserbu oleh beragam system nilai yang buruk. Dan mereka mengingatkan, betapa berharganya integritas diri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar membendung pengaruh buruk lingkungan, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:
 
 
1.      Bentengilah diri dari pengaruh buruk. Selama berinteraksi dengan orang lain, kita tidak bisa menghindari pengaruh yang datang dari luar. Dikantor misalnya. Jika Anda mempunyai kolega yang kurang profesional, maka disadari atau tidak kehadirannya akan memberi pengaruh buruk kepada Anda. Tetangga yang ‘nyebelin’ juga begitu. Jika tidak mampu membentengi diri, maka bisa dipastikan kita akan ikut terpengaruh. Mudah mengikuti ajakan negatif. Gampang terhasut. Dan akhirnya kita jadi ikut-ikutan melakukan sesuatu yang tidak patut. Hati-hati lho, karena orang-orang yang sekedar ikut-ikutan sering kali paling duluan menjadi korban. Tahu kenapa? Karena mereka yang sekedar ikut-ikutan itu tidak memahami ‘grand design’nya. Mereka tidak lebih dari boneka yang dikendalikan oleh kekuatan lain. Dan jika keadaan memburuk, mereka tidak mempunya exit strategy seperti halnya para pembisik yang menjadi designernya. So, bentengilah diri Anda dari pengaruh buruk lingkungan. Sehingga Anda bisa terhindar dari kemungkinan dijadikan pion. Dan yang lebih penting lagi; Anda bisa tetap menjadi orang baik.
 
2.      Berdekatanlah dengan sumber nilai positif. Sudah menjadi fitrah bahwa alam ini memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan diri. Jika ada pengaruh buruk, kemungkinan besar disana juga ada pengaruh baik. Yin dan Yang. Baik dan buruk. Positif dan negatif.  Jika di lingkungan Anda ada orang yang gemar menebarkan nilai-nilai buruk, menghasut, memprovokasi, memanas-manasi, maka bisa dipastikan jika disana ada orang-orang yang mampu menebarkan pengaruh positif. Mungkin orang-orang seperti ini tidak banyak. Tetapi itu cukup untuk menjadi penyeimbang. Kita hanya butuh lebih dekat kepada orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai sumber nilai positif. Temukan orang-orang seperti itu, karena bersama mereka Anda bisa menetralisir setiap pengaruh buruk yang mencemari amosfir sekitar Anda.
 
3.      Perbanyaklah kontribusinya bukan mengejar gelarnya. Kita mungkin tidak tergoda untuk mengejar gelar akademis. Tetapi, boleh jadi kita termasuk orang yang menggilai gelar lain yaitu ‘gelar’ atau ‘titel’ jabatan. Rasanya kurang afdol kalau belum disebut ‘Manager’. Padahal pekerjaannya mungkin sama saja dengan supervisor atau coordinator. Nggak top deh kalau belum disebut ‘direktur’. Padahal, perannya ya nggak jauh beda dengan manager. Tapi karena terlihat lebih mentereng, maka kita berlomba-lomba dalam sebuah arena bernama ‘the rat race’. Di arena itu orang bisa berdarah-darah. Baik dalam pengertian metaforis, maupun dalam makna sebenarnya. Padahal, ada cara lain yang lebih elegan, yaitu memberikan kotribusi melampaui yang orang lain bisa berikan. Soal ini tidak pernah gagal. Tidak menyakiti pihak lain. Dan tidak mengalahkan siapapun. Tetapi hasilnya bisa merupakan sebuah kemenangan yang sangat besar. Jika Anda mengejar gelar, maka Anda harus bertarung dalam arena yang belum tentu Anda menangkan. Namun jika Anda mengerahkan semua daya diri itu untuk berkontribusi, maka bisa dipastikan jika podium itu diperuntukkan bagi orang-orang seperti Anda. So, perbanyaklah kontribusi Anda.
 
4.      Raihlah berkahnya, bukan sekedar jumlahnya. “The more, the better”, begitulah tata nilai yang kita terapkan. Lebih banyak, lebih baik. Tidak selamanya salah. Namun juga tidak selalu betul. ‘Lebih banyak’ itu hanya akan baik jika cara mendapatkannya juga baik. Halah, nyari dengan cara ‘gini’ aja susah. Apa lagi dengan cara ‘gitu’. Mungkin kita berkilah demikian. Betulkah begitu? Coba jawab pertanyaan ini; “Apakah Anda sudah mengerahkan seluruh kemampuan dan kesungguhan ketika melakukannya dengan cara ‘gitu’ ini sama gigihnya dengan ketika Anda melakukannya dengan cara ‘gini’ itu?”. Ingatlah selalu bahwa kita tidak memerlukan lebih banyak dari yang kita butuhkan. Dengan mengingat itu, semoga kita sadar bahwa ‘the more’ itu tidak selalu the better. Sehingga kita tidak semata-mata hanya mengejar banyaknya, melainkan juga berkahnya. Bayangkan, kita hanya butuh 100. Meskipun kita berhasil mendapatkan 1,000 kita hanya akan menggunakan yang 100 itu. Jika kita mendapatkan yang 1,000 itu dengan melakukan hal-hal yang tidak semestinya, maka kita telah menodai hidup kita sendiri untuk sesuatu yang tidak kita butuhkan. Maka mulai sekarang, fahamilah apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Dan penuhilah kebutuhan itu dengan cara meraih berkahnya. Bukan sekedar banyaknya.
 
5.      Lihatlah kedalam diri lebih cermat lagi. Kita sering mengira bahwa semua pengaruh buruk itu datang dari orang-orang ‘gak bener’ disekitar kita. Sekarang, saatnya untuk bertanya; “Apakah kita sendiri sudah menjadi orang yang ‘bener’?” Boleh jadi sumber pengaruh buruk itu bukanlah orang lain, lho. Melainkan diri kita sendiri. Mudah untuk menunjuk hidung orang lain, kan? Paling rugi deh kalau kita merasa sudah bener sendiri. Soalnya, hikmah apapun yang disampaikan orang lain nggak bakal bisa masuk kedalam hati sanubari kita. Ego kita bakal mengunci mati pintu hati kita sehingga tanpa disadari, kita menjadi pribadi yang bebal. Tidak heran jika kita sangat susah untuk diajak ‘bener’. Bukan berarti kita harus menerima saja setiap masukan dari orang lain. Soal cara mengerjakan sesuatu misalnya. Kita bisa bilang ‘banyak jalan menuju ke Roma’. Tetapi soal akhlak atau etika? Tidak bisa cuek bebek saja. Karena akhlak dan etika merupakan cermin dari integritas diri kita. Maka sering-seringlah melihat kedalam diri. Apakah kita mengindahkan etika kerja? Dan, apakah akhlak kita sudah sesuai dengan tuntunan mulia insan-insan pilihan?
 
Idealnya, kita bisa memilih untuk tinggal di lingkungan manapun yang paling kita inginkan. Faktanya, kita tidak selalu mampu mewujudkan hal itu. Ditengah lebatnya hujan pengaruh dari segala penjuru, pindah dan berlari kian kemari jelas bukan pilihan.  Maka kemampuan untuk membendung pengaruh buruk lingkungan merupakan sebuah jawaban. Pantaslah kiranya jika guru kehidupan saya menceritakan kisah Rasulullah yang menyatakan bahwa;”Pribadi-pribadi agung itu adalah mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasul, namun memiliki akhlak mulia seperti beliau.” Kita semua, tidak pernah bertemu dengan rasul-rasul utusan Tuhan.  Artinya, kita memiliki peluang untuk menjadi pribadi agung berakhlak mulia itu. Karena seperti sabda rasul; “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Selama memiliki akhlak yang baik, maka ditengah serbuan system nilai buruk yang datang dari segala penjuru ini, kita bisa tetap menjaga nilai-nilai baik dalam diri kita. Insya Allah.
 
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman 19 JaNEWary 2012
Author, Trainer, & Public Speaker of Natural Intelligence
 
Catatan Kaki:
Kita tidak bisa menghindari datangnya pengaruh buruk. Namun kita bisa membentengi diri dengan akhlak yang baik.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
 
Rabu, 18 Januari, 2012 20:03
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar