Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala:  ”Tidak ada tempat sembunyi dari serbuan pengaruh buruk lingkungan.  Namun kita bisa membendungnya agar tidak mencemari kepribadian kita.”
Beberapa  tahun lalu, lingkup interaksi kita dengan orang lain relative masih  sangat terbatas. Makanya, pengaruh dari pergaulan pun tidak semasif  seperti saat ini. Sekarang, nyaris tidak ada lagi sekat yang memisahkan  kita dengan orang lain. Seseorang dari seberang benua pun bisa menelusup  masuk hingga ke wilayah paling pribadi di rumah kita. Lalu menanamkan  pengaruhnya kedalam relung hati kita. Bagus? Bisa bagus jika pengaruh  yang ditebarkannya positif. Namun jika kita bersedia jujur, berapa  persen dari pesan-pesan yang kita terima berisi nilai-nilai konstruktif?  Mungkin tidak semuanya negatif. Tetapi secara tidak sadar, jiwa kita  terus diserbu system nilai yang tidak memberi nilai tambah kebaikan  apapun. Emangnya kenapa? Biasa aja lagi! Begitukah? 
Ada 2  email aneh yang menerobos account pribadi saya. Email pertama menawari  saya ijazah palsu. Cukup dengan Rp. 6,000,000.- katanya, saya bisa  mendapatkan ijazah Doktor yang dilegalisir lembaga resmi terkait.  Orang ini mengira jika saya kepingin banget mengoleksi ijazah. Padahal,  sampai sekarang pun saya tidak ingat dimana saya simpan ijazah yang  saya dapat melalui pahit getirnya kuliah di ITB. Pagi ini saya mendapat  email lagi. Kali ini menggunakan bahasa Inggris. Menawari saya untuk  membuat passport palsu. Orang ini mengira bahwa saya malu dengan  identitas sendiri sehingga harus menyamar dan pergi ke negeri orang.  Padahal, semua orang bisa menemukan saya melalui www.dadangkadarusman.com  atau  buku-buku yang  saya tulis. Saya harus berterimakasih pada orang-orang ini. Mereka  telah membuka mata saya bahwa keutuhan pribadi kita sedang diserbu oleh  beragam system nilai yang buruk. Dan mereka mengingatkan, betapa  berharganya integritas diri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya  belajar membendung pengaruh buruk lingkungan, saya ajak memulainya  dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini: 
1.      Bentengilah diri dari pengaruh buruk.  Selama berinteraksi dengan orang lain, kita tidak bisa menghindari  pengaruh yang datang dari luar. Dikantor misalnya. Jika Anda mempunyai  kolega yang kurang profesional, maka disadari atau tidak kehadirannya  akan memberi pengaruh buruk kepada Anda. Tetangga yang ‘nyebelin’ juga  begitu. Jika tidak mampu membentengi diri, maka bisa dipastikan kita  akan ikut terpengaruh. Mudah mengikuti ajakan negatif. Gampang terhasut.  Dan akhirnya kita jadi ikut-ikutan melakukan sesuatu yang  tidak patut. Hati-hati lho, karena orang-orang yang sekedar ikut-ikutan  sering kali paling duluan menjadi korban. Tahu kenapa? Karena mereka  yang sekedar ikut-ikutan itu tidak memahami ‘grand design’nya. Mereka  tidak lebih dari boneka yang dikendalikan oleh kekuatan lain. Dan jika  keadaan memburuk, mereka tidak mempunya exit strategy seperti halnya  para pembisik yang menjadi designernya. So, bentengilah diri Anda dari  pengaruh buruk lingkungan. Sehingga Anda bisa terhindar dari kemungkinan  dijadikan pion. Dan yang lebih penting lagi; Anda bisa tetap menjadi  orang baik.
2.      Berdekatanlah dengan sumber nilai positif.  Sudah menjadi fitrah bahwa alam ini memiliki kemampuan untuk  menyeimbangkan diri. Jika ada pengaruh buruk, kemungkinan besar disana  juga ada pengaruh baik. Yin dan Yang. Baik dan buruk. Positif dan negatif.  Jika  di lingkungan Anda ada orang yang gemar menebarkan nilai-nilai buruk,  menghasut, memprovokasi, memanas-manasi, maka bisa dipastikan jika  disana ada orang-orang yang mampu  menebarkan pengaruh positif. Mungkin orang-orang seperti ini tidak  banyak. Tetapi itu cukup untuk menjadi penyeimbang. Kita hanya butuh  lebih dekat kepada orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai sumber  nilai positif. Temukan orang-orang seperti itu, karena bersama mereka  Anda bisa menetralisir setiap pengaruh buruk yang mencemari amosfir  sekitar Anda.
3.      Perbanyaklah kontribusinya bukan mengejar gelarnya.  Kita mungkin tidak tergoda untuk mengejar gelar akademis. Tetapi, boleh  jadi kita termasuk orang yang menggilai gelar lain yaitu ‘gelar’ atau  ‘titel’ jabatan. Rasanya kurang afdol kalau belum disebut ‘Manager’.  Padahal pekerjaannya mungkin sama saja dengan supervisor atau  coordinator. Nggak top deh kalau belum disebut ‘direktur’. Padahal,  perannya ya nggak jauh beda dengan manager. Tapi karena terlihat lebih  mentereng, maka kita berlomba-lomba dalam sebuah arena bernama ‘the rat  race’. Di arena itu orang bisa berdarah-darah. Baik  dalam pengertian metaforis, maupun dalam makna sebenarnya. Padahal, ada  cara lain yang lebih elegan, yaitu memberikan kotribusi melampaui yang  orang lain bisa berikan. Soal ini tidak pernah gagal. Tidak menyakiti  pihak lain. Dan tidak mengalahkan siapapun. Tetapi hasilnya bisa  merupakan sebuah kemenangan yang sangat besar. Jika Anda mengejar gelar,  maka Anda harus bertarung dalam arena yang belum tentu Anda menangkan.  Namun jika Anda mengerahkan semua daya diri itu untuk berkontribusi,  maka bisa dipastikan jika podium itu diperuntukkan bagi orang-orang  seperti Anda. So, perbanyaklah kontribusi Anda.
4.      Raihlah berkahnya, bukan sekedar jumlahnya. “The  more, the better”, begitulah tata nilai yang kita terapkan. Lebih  banyak, lebih baik. Tidak selamanya salah. Namun juga tidak selalu  betul. ‘Lebih banyak’ itu hanya akan baik jika cara mendapatkannya juga  baik. Halah, nyari dengan cara ‘gini’ aja susah. Apa lagi dengan cara  ‘gitu’. Mungkin kita berkilah demikian. Betulkah begitu? Coba jawab  pertanyaan ini; “Apakah Anda sudah mengerahkan seluruh kemampuan dan  kesungguhan ketika melakukannya dengan cara ‘gitu’ ini sama gigihnya  dengan ketika Anda melakukannya dengan cara ‘gini’  itu?”. Ingatlah selalu bahwa kita tidak memerlukan lebih banyak dari  yang kita butuhkan. Dengan mengingat itu, semoga kita sadar bahwa ‘the  more’ itu tidak selalu the better. Sehingga kita tidak semata-mata hanya  mengejar banyaknya, melainkan juga berkahnya. Bayangkan, kita hanya  butuh 100. Meskipun kita berhasil mendapatkan 1,000 kita hanya akan  menggunakan yang 100 itu. Jika kita mendapatkan yang 1,000 itu dengan  melakukan hal-hal yang tidak semestinya, maka kita telah menodai hidup  kita sendiri untuk sesuatu yang tidak kita butuhkan. Maka mulai  sekarang, fahamilah apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Dan penuhilah  kebutuhan itu dengan cara meraih berkahnya. Bukan sekedar banyaknya. 
5.      Lihatlah kedalam diri lebih cermat lagi.  Kita sering mengira bahwa semua pengaruh buruk itu datang dari  orang-orang ‘gak bener’ disekitar kita. Sekarang, saatnya untuk  bertanya; “Apakah kita sendiri sudah menjadi orang yang ‘bener’?” Boleh  jadi sumber pengaruh buruk itu bukanlah orang lain, lho. Melainkan diri  kita sendiri. Mudah untuk menunjuk hidung orang lain, kan? Paling rugi  deh kalau kita merasa sudah bener sendiri. Soalnya, hikmah apapun yang  disampaikan orang lain nggak bakal bisa masuk kedalam hati sanubari  kita. Ego  kita bakal mengunci mati pintu hati kita sehingga tanpa disadari, kita  menjadi pribadi yang bebal. Tidak heran jika kita sangat susah untuk  diajak ‘bener’. Bukan berarti kita harus menerima saja setiap masukan  dari orang lain. Soal cara mengerjakan sesuatu misalnya. Kita bisa  bilang ‘banyak jalan menuju ke Roma’. Tetapi soal akhlak atau etika?  Tidak bisa cuek bebek saja. Karena akhlak dan etika merupakan cermin  dari integritas diri kita. Maka sering-seringlah melihat kedalam diri.  Apakah kita mengindahkan etika kerja? Dan, apakah akhlak kita sudah  sesuai dengan tuntunan mulia insan-insan pilihan? 
Idealnya,  kita bisa memilih untuk tinggal di lingkungan manapun yang paling kita  inginkan. Faktanya, kita tidak selalu mampu mewujudkan hal itu. Ditengah  lebatnya hujan pengaruh dari segala penjuru, pindah dan berlari kian  kemari jelas bukan pilihan.  Maka kemampuan untuk  membendung pengaruh buruk lingkungan merupakan sebuah jawaban. Pantaslah  kiranya jika guru kehidupan saya menceritakan kisah Rasulullah yang  menyatakan bahwa;”Pribadi-pribadi agung itu adalah mereka yang tidak  pernah bertemu dengan Rasul, namun memiliki akhlak mulia seperti  beliau.” Kita semua, tidak pernah bertemu dengan rasul-rasul utusan  Tuhan.  Artinya, kita memiliki peluang untuk menjadi  pribadi agung berakhlak mulia itu. Karena seperti sabda rasul; “Aku  diutus untuk menyempurnakan  akhlak.” Selama memiliki akhlak yang baik, maka ditengah serbuan system  nilai buruk yang datang dari segala penjuru ini, kita bisa tetap  menjaga nilai-nilai baik dalam diri kita. Insya Allah.
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 19 JaNEWary 2012
Author, Trainer, & Public Speaker of Natural Intelligence
Catatan Kaki:
Kita tidak bisa menghindari datangnya pengaruh buruk. Namun kita bisa membentengi diri dengan akhlak yang baik.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar